Mongabay.co.id

Indikasi Geografis Belum Berdampak pada Petani Kopi. Benarkah?

Bagi sebagian besar petani kopi di Indonesia, memperoleh status sebagai kopi dengan indikasi geografis menjadi kebanggaan tersendiri. Indikasi geografis dianggap tak hanya mampu mengangkat citra kopi daerah tersebut, tetapi juga berdampak terhadap taraf hidup petani kopi. Namun, benarkah demikian?

Menurut Jeffrey Neilson, peneliti kopi Indonesia dari Universitas Sydney, anggapan itu tak sepenuhnya benar. Berdasarkan risetnya di dua pusat produksi kopi dengan indikasi geografis yaitu Kintamani, Bali dan Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) tak banyak bukti yang mendukung anggapan bahwa indikasi geografis telah berdampak pada peningkatan taraf hidup petani kopi.

Jeffrey, panggilan akrabnya, sudah meneliti kopi Indonesia sejak sekitar 16 tahun lalu. Fokus risetnya adalah komoditas pertanian global Indonesia terutama kopi dan kakao. Dia menyampaikan hasil risetnya pada 2016 tersebut dalam lokakarya tentang Indikasi Geografis Kopi Arabika Indonesia di Sanur, Bali Selasa (17/4/2018) lalu.

baca : Mengkhawatirkan, Produksi Kopi Kebanggaan Bali Makin Turun. Ada Apa?

 

Jeffrey Neilson (kiri) peneliti kopi Indonesia dari Universitas Sydney saat menjelaskan hasil riset tentang dampak indikasi geografis terhadap petani kopi Indonesia. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Dalam lokakarya itu hadir berbagai pihak yang selama ini bekerja untuk kopi, seperti petani kopi dengan indikasi geografis dari berbagai daerah di Indonesia, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia, serta Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen KI Kemenkumham). Peserta membahas bagaimana dampak indikasi geografis terhadap taraf hidup petani.

Jeffrey menyampaikan empat kesimpulan risetnya. Pertama, belum ada tanda terjadinya peningkatan harga kopi akibat penggunaan indikasi geografis kopi Indonesia. Kedua, indikasi geografis belum digunakan sebagai tanda mutu di pasar karena belum dicari oleh pembeli.

Ketiga, indikasi geografis dianggap berhasil ketika petani sudah mendapatkan sertifikasi untuk kopinya sebagai produk dengan indikasi geografis dari pemerintah, dalam hal ini Ditjen KI Kemenkumham. Keempat, indikasi geografis di lokasi-lokasi produsen kopi sudah berhasil melindungi warisan budaya.

“Namun, perlu pendekatan khusus pada konsumen kopi agar mereka juga memahami nilai di balik predikat kopi dengan indikasi geografis,” katanya.

baca : Kopi Gunung Puntang, Potensinya Sungguh Menjanjikan

 

Sejumlah pelanggaran oleh produk kopi yang menggunakan merek merujuk pada indikasi geografis. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Jeffrey mengumpamakan logo indikasi geografis seperti jimat, sebuah nilai yang tak terlihat dan terukur. Namun, jika jimat itu tidak berisi kekuatan khusus, maka dia hanyalah batu biasa tanpa kekuatan. Menurut Jeffrey logo indikasi geografis pada komoditas kopi khas (specialty coffee) juga perlu mendapat tambahan perlakuan agar bisa lebih mendapatkan nilai ataupun penghargaan oleh pasar.

Kekuatan specialty coffee, menurut Jeffrey, adalah pada cerita di balik indikasi geografis itu sendiri. Namun, kekuatan ini belum sepenuhnya berdampak.

 

Teori Perubahan

Dalam risetnya, Jeffrey menggunakan teori perubahan sebagai dasar dengan metode pengumpulan informasi melalui wawancara dan diskusi kelompok terfokus. Kintamani menjadi lokasi penelitian karena Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kintamani adalah kelompok pertama yang mendapatkan sertifikasi indikasi geografis pada 5 Desember 2008. Adapun Bajawa dipilih karena dianggap sebagai MPIG paling berfungsi dengan baik saat ini.

Ada enam tahapan sebagai indikator perubahan kelompok tani kopi dengan indikasi geografis yaitu pendirian lembaga, pelibatan lembaga (institutional embedding), kendali mutu, pengakuan pasar, pemantauan penggunaan indikasi geografis, dan manfaat untuk anggota.

Tiap tahap memiliki indikator perkembangan. Dalam tahap kendali mutu, misalnya, ada pemantauan praktik pertanian anggota dan kualitas mutu kopi anggota. Adapun di tahap pengakuan pasar terhadap indikasi geografis ada penggunaan indikasi geografis dalam rantai nilai. Hasil keseluruhan, menurut riset Jeff dan timnya, perubahan hanya terjadi di tahap pertama: pendirian lembaga.

baca : Kopi Konservasi dari Jangkat, Seperti Apa?

 

Penggunaan indikasi geografis berdampak pada peningkatan harga kopi arabika kintamani. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Jika terjadi peningkatan harga kopi specialty, Jeff mengatakan itu terjadi karena memang naiknya harga kopi di pasar global. Jika dibandingkan dengan kopi yang tidak memiliki indikasi geografis, itu juga tidak bisa. “Harga kopi dengan indikasi geografis tidak bisa dibandingkan dengan tanpa indikasi geografis karena memiliki karakter berbeda,” kata Jeff.

Secara internal di MPIG, indikasi geografis pun belum terlalu dikenal anggotanya. Jeff memberikan contoh bahwa hampir 50 persen anggota MPIG di Kintamani dan Bajawa mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan kelompoknya. Hanya sekitar 10 persen anggota yang rajin berkomunikasi tiap minggu.

Jeff dan tim peneliti juga melihat bagaimana penggunaan logo indikasi geografis oleh pasar, terutama di Jakarta. Hasilnya, mereka hanya menemukan penggunaan sat label indikasi geografis dari total 31 produk kopi yang dijual. “Ini indikasi bahwa indikasi geografis belum diakui pasar. Nama daerah asal kopi memang ada nilainya tetapi indikasi geografis belum diakui,” kata Jeff.

baca : Kopi Konservasi dari Gunung Sindoro Sumbing

 

Warga memetik kopi yang telah matang di pohon. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Harga Naik

 Hasil riset Jeff bersama Josephine Wright dari Universitas Sydney dan Lya Aklimawati dari Puslitkoka Indonesia itu mendapat reaksi beragam. Sejumlah peserta menyatakan hasil itu bisa menjadi masukan dalam pengembangan indikasi geografis kopi Indonesia tetapi sebagian lain tidak sepenuhnya sepakat.

Ketut Jati, Ketua MPIG Kintamani mengatakan adanya predikat sebagai kopi dengan indikasi geografis membuat cita rasa dan harga kopi kintamani meningkat. Petani kopi di daerah tersebut jadi lebih termotivasi untuk membudidayakan. Apalagi harganya juga lebih tinggi dibandingkan kopi yang tidak masuk indikasi geografis.

Jati menyebutkan, harga kopi arabika kintamani sampai Rp90 ribu/kg dalam bentuk green bean atau Rp200 ribu/kg dalam bentuk disangrai. Adapun kopi biasa harganya hanya Rp27 ribu/kg dalam bentuk green bean atau Rp60 ribu dalam bentuk bubuk. “Ini menandakan kopi dengan indikasi geografis tetap dihargai lebih tinggi,” kata Jati.

Namun, Jati mengakui bahwa memang masih ada kelemahan yaitu di internal kelompok. Saat ini petani anggota MPIG Kintamani masih menjual biji kopi sendiri-sendiri meski sudah memiliki koperasi. “Perkembangan Koperasi MPIG jalan di tempat sehingga tidak bermanfaat untuk MPIG,” ujarnya.

baca : Foto: Kopi Arabika, Mutiara dari Tanah Gayo yang Mendunia

 

Memanggang (roasting) kopi dengan mesin oleh anak muda Bondowoso,Jatim, yang makin tertarik mengenal usaha hilir pertanian. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini Koperasi MPIG memiliki 110 anggota. Adapun unit pengolahan hasil (UPH) tinggal 10 dari dulunya 33. Hal tersebut, menurutnya, karena kurangnya modal koperasi untuk membeli kopi anggota. “Kami perlu bantuan pemerintah melalui Dinas Perkebunan Provinsi Bali untuk kembali membangkitkan koperasi,” katanya.

Adapun Surip Mawardi, Ketua Tim Ahli Indikasi Geografis Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum dan HAM mengatakan bahwa indikasi geografis pada awalnya memang lebih bertujuan untuk melindungi produk lokal secara hukum, bukan untuk tujuan ekonomi. Meskipun demikian, menurutnya, pemberian sertifikasi indikasi geografis kopi juga bisa berdampak terhadap peningkatan kualitas mutu ataupun nilai ekonomi.

Hingga April 2018 ini, terdapat 60 produk terdaftar sebagai produk indikasi geografis di Indonesia. Produk pertanian mendominasi dengan 50 produk, di mana 22 di antaranya adalah kopi sehingga komoditas ini menjadi produk paling banyak memiliki indikasi geografis. Sisanya adalah produk lain, seperti ubi Cilembu, salak pondoh Sleman, dan mebel ukir Jepara.

baca : Kopi Aroma Unik Ini Bersahabat dengan Lahan Gambut

 

Seorang wisatawan asing terlihat menikmati kop. Foto: Junadi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Surip adanya indikasi geografis terbukti mampu meningkatkan kualitas kopi specialty dari daerah tertentu. “Tidak ada indikasi geografis tanpa mutu yang baik,” katanya. Indikasi geografis, lanjut, adalah aset bersama, bukan pribadi, sehingga harus dijaga bersama. Ini mengakibatkan petani harus bekerja sama untuk mempertahankan kualitas indikasi geografis, bukan bekerja sendiri-sendiri.

Surip memberikan contoh kopi gayo di Aceh yang makin populer dan diburu pecinta kopi karena masuk sebagai kopi dengan indikasi geografis. Dari semula hanya berharga Rp60 ribu/kg roasted bean, kini menjadi Rp200 ribu/kg. “Harga bisa naik setelah enam tahun lalu kopi gayo terdaftar sebagai kopi dengan indikasi geografis,” katanya.

 

Exit mobile version