Mongabay.co.id

Kisruh Tambang Emas Rakyat Tak Berujung di Kalimantan Barat

Meski operasi serentak dilakukan, akan tetapi para pelaku tidak berada di lokasi penambangan tanpa izin tersebut. Foto: Dok. Polda Kalbar

Water Cannon Polres Kapuas Hulu menyemprotkan air tekanan tinggi. Tujuannya memecah konsentrasi massa di ruas Jalan Rahadi Usman, tepatnya di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 24 April 2018 lalu. Namun, massa terus merangsek ke gedung yang pagarnya dikunci dan dijaga ratusan petugas keamanan itu.

Di sudut berbeda, seorang pria mengenakan helm, berkemeja putih dengan ransel hitam, maju ke arah gedung DPRD. Tangannya mengapit Traffic Cone. Kerucut berwarna oranye yang digunakan untuk pembatas jalur lalu litas itu dilemparkannya ke arah gerbang besi. Teriakan di belakang pria ini pun makin ramai. Lainnya seolah terpicu. Seorang lagi di sisi lain coba maju, namun semprotan air keburu menghentikan aksinya.

Kayu, batu dan beberapa benda yang didapati massa di jalan dilempar ke agar gedung wakil rakyat itu. Beberapa petugas yang membaur dengan massa coba menghalau. Adu mulut terjadi. Situasi bertambah panas, teriakan demi teriakan terdengar. Isinya caci maki. Media massa setempat menyebutkan, jumlah pelaku unjuk rasa saat itu hampir seribuan. Baku hantam dengan petugas keamanan tak dapat dihindari, kaca jendela dan pintu gedung DPRD rusak. Namun, kericuhan bisa diatasi walau ada petugas yang terluka, begitu pun warga.

Massa berasal dari sembilan kecamatan di Kapuas Hulu. Di tempat mereka, baru saja digelar operasi penertiban pertambangan emas tanpa izin (PETI) oleh jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, melalui Kepolisian Resor Kapuas Hulu. Delapan orang ditahan, alat-alat disita. Kegiatan ini ditengarai penyebab rusaknya ekosistem Sungai Kapuas dan lingkungan sekitar. Merkuri yang digunakan, didapat melalui jalur tidak resmi.

Muhammad Dahar, didapuk sebagai koordinator aksi unjuk rasa. “Penertiban yang dilakukan pihak kepolisan membuat masyarakat resah. Selama ini masyarakat menggantungkan hidup dengan mencari emas,” ujar Dahar, saat mediasi. Dia minta dicarikan solusi, diberi izin untuk menambang. Tak lagi diburu dan dibui.

Perdebatan panjang pun terjadi. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan, setelah para pihak bertemu. Ada anggota DPRD, kepolisian, wakil masyarakat, dan pemerintah. Isinya, masyarakat dapat menambang seperti biasa tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Polisi tidak boleh melakukan penertiban sambil menunggu proses perizinan tambang rakyat. DPRD Kapuas Hulu pasang badan. Mereka akan memfasilitasi pembentukan tim untuk koordinasi dengan pemerintah provinsi dan pusat, terkait kekisruhan ini.

Baca: Operasi Serentak di Enam Lokasi PETI Dilakukan, Para Pelaku Kabur Lebih Dulu

 

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie/Mongabay Indonesia

 

Usut provokator

Demo tersebut tidak menyurutkan jajaran Polda Kalbar melakukan penertiban. Serangkaian operasi tetap dilakukan di daerah lain. Kepolisian Resor Sanggau mengamankan sembilan penambangan emas tanpa izin dari sejumlah lokasi berbeda. Operasi dilakukan di seluruh wilayah hukum Polres Sanggau selama 14 hari.

Di Kepolisian Resor Singkawang, 18 tersangka PETI ditangkap. Polisi menggrebek para pelaku di lokasi berbeda, di Jalan Wonosari, Kelurahan Roban, Kecamatan Singkawang Tengah; Jalan Sungai Pinang, Kelurahan Sagatani; dan di Embung, Kelurahan Pajintan, Kecamatan Singkawang Timur. Selain mengamankan barang bukti, polisi memusnahkan 12 mesin dompeng dengan membakarnya di lokasi.

Di Kabupaten Melawi, lima pelaku di Kecamatan Menukung ditangkap. Mereka dijerat pasal 158 UU RI Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batubara, Juncto pasal 55 KUHP, ancaman hukuman di atas sepuluh tahun penjara dan denda Rp10 miilar. Operasi dengan sandi ‘PETI Kapuas’ dilakukan di seluruh jajaran Polda Kalbar.

Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Inspektur Jenderal Polisi Didi Haryono, menolak kompromi. “Tambang tanpa izin berdampak rusaknya ekosistem, tak hanya di lokasi,” ujarnya kepada media di Markas Polda Kalbar, 25 April 2018. Merkuri atau air raksa mencemari ekosistem Sungai Kapuas, hingga ke hilirnya.

“Sudah dilarang Presiden dan Kapolri,” ungkapnya. Dia sependapat tambang emas rakyat ini dicarikan solusi. Para pekerja harus buka mata pada bahaya yang dihadapi, dampak racun merkuri akan terus menghantui bila terpapar setiap hari.

Baca juga: Kala Presiden Instruksikan Hapus Penggunaan Merkuri pada Tambang Emas Rakyat

 

Operasi penertiban tambang tanpa izin dilakukan Polda Kalbar untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih luas. Foto: Dok. Polda Kalbar

 

Polda Kalbar akan melakukan rapat koordinasi dengan seluruh pemerintah daerah terkait isu PETI ini. Termasuk, dengan anggota legislatif agar ada kesamaan persepsi. Sementara itu, penyidikan hasil operasi terus berjalan. Polisi akan membidik para penadah. Termasuk adanya kemungkinan pihak-pihak yang memprovokasi kegiatan penertiban tersebut. “Akan kita dalami dulu, jangan sampai ada yang melegalkan yang ilegal,” kata Didi.

Persoalan ini bagai dejavu bagi Polda Kalbar. Tahun 2015 lalu, Arief Sulistyanto yang saat itu menjabat Kapolda Kalbar menghadapi masalah serupa. Kini Arief menjabat sebagai asisten Sumber Daya Manusia Kapolri, dua bintang tersemat dibahunya. Salah satu prestasinya di Kalimantan Barat adalah memberantas PETI dengan pasal berlapis. Lantaran persoalan PETI sangat komplek. Ada banyak kepala yang harus dinafkahi. Perut-perut yang harus diberi makan. Juga kebutuhan akan sandang dan papan.

“Ini bukti penegakan hukum di hilir, tidak akan pernah menjadi solusi. Ini soal perut. Selama belum selesai, akan terus terjadi,” cetus Arief saat itu. Arief pun mengusut para pemodal. Undang-undang pencucian uang diterapkan. Alur uang haram itu diikuti. Seorang pengusaha emas di kawasan Pontianak Utara dibekuk. Di kediamannya ditemukan alat-alat peleburan emas. Seorang rekannya pun dijerat. Konstruksi hukum yang dibangun Arief hingga kini masih diterapkan.

 

 

Cari solusi

Istilah PETI diberikan pada penambangan swadaya masyarakat yang tidak mengantongi izin pemerintah. Kegiatan ini seringkali tidak memerhatikan aspek kerusakan lingkungan dan kesehatan. Modus operandinya menyedot serta mengeruk dasar dan dinding sungai menggunakan mesin dompeng. Proses pemisahan emasnya, sebagian besar pelaku, menggunakan merkuri yang air bilasannya kembali ke sungai. Mesin-mesin penyedot pasir itu ditambat di rakit, perahu, atau di darat.

Pekerja tambang langsung menjual emasnya ke pengepul. Harga beli sesuai kesepakatan. Hasil yang didapat, tentu lebih besar dari pekerja bangunan atau buruh perkebunan kelapa sawit. Namun, risiko juga besar. Tak jarang tanah longsor akibat sedotan mesin, memakan korban jiwa.

Disisi lain, teknik ini menyebabkan banyak emas berkadar redah tertinggal. Pasalnya, mereka hanya memilih emas berkadar tinggi saja, tidak ada upaya pemulihan lokasi juga.

United Nations Environmental Program (UNEP) pada 2013, mengidentifikasi sektor pertambangan emas skala kecil (PESK) sebagai penyumbang utama emisi dari merkuri 37 persen, diikuti PLTU batubara 24 persen. Asia Timur dan Asia Tenggara menyumbang penyebaran merkuri mencapai 39,7 persen. Indonesia pun berada di zona merah peredaran dan pemanfaatan merkuri. Setiap tahunnya 200 ton merkuri dilepaskan (dirilis) ke udara, tanah dan perairan.

Pemerintah Provinsi Kalbar mengambil alih penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) sejak Undang-undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah berlaku Oktober 2016 lalu. Maka, solusi kasus ini ada di tingkat provinsi. Wakil Bupati Kapuas Hulu, Antonius Pamero mengatakan, penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) bisa jadi jalan keluarnya. “Tentunya, dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan. Misalnya, penggunaan merkuri tidak mencemari sungai,” tambahnya.

Pasal 26 PP 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan menyebutkan, kriteria penetapan WPR adalah; mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai, mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 meter, ada endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba.

Selain itu, luas maksimal WPR adalah 25 hektar. Wilayah tersebut juga harus sudah dikelola masyarakat setidaknya minimal 15 tahun. Dalam menetapkan WPR, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepda masyarakat secara terbuka.

Setelah penetapan WPR, tahap selanjutnya adalah bupati/wali kota memberikan izin pertambangan rakyat (IPR). Izin bisa diberikan kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat, atau koperasi.

Sebelum memberikan IPR, ada syarat teknisnya. Pengaju harus membuat surat pernyataan yang memuat aturan kedalaman sumur, penggunaan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 horse power untuk 1 IPR; dan tidak menggunakan alat berat atau bahan peledak.

 

Sejumlah barang bukti di lokasi penambangan emas tanpa izin disita. Foto: Dok. Polda Kalbar

 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menciptakan prototipe teknologi pengolahan emas tanpa merkuri untuk penambang emas skala kecil. Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Mineral BPPT Dadan Moh Nurjaman mengatakan, penggunaan tanpa merkuri membuat perbaikan lingkungan mencapai 80 hingga 90 persen,” katanya di Jakarta, tahun lalu. Bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pilot project pengolahan emas bebas merkuri dilakukan di Pacitan, Banyumas, Lebak, dan Pulau Buru. Alternatif teknologi yang ditawarkan BPPT adalah pemanfaatan reaktor yang bisa mensubstitusi penggunaan merkuri untuk PESK bahkan industri.

Direktur Indonesian Institute For Sustainable Mining (IISM) Rezki Syahrir mengatakan, kelemahan usaha pertambangan saat ini adalah cara pandang dari sisi hukum positif saja. “Kearifan lokal masyarakat yang harus dihargai, terkait sosial dan lingkungan mereka yang berurusan langsung dengan lingkungan sekitarnya,” katanya saat seminar nasional mengenai pertambangan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun lalu.

Dia mengatakan, pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal harus dilihat sebagai upaya pemenuhan aspek sosial masyarakat di sekitar areal penambangan. Regulasi yang ada tidak mengatur hal itu. “Pemerintah harus bisa menakar dalam membuat aturan, untuk siapa dan aturan yang mana,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version