Mongabay.co.id

Ancaman Perubahan Iklim, Benahi Tata Kelola Alam Malut

Kondisi sekolah di Desa Lelei, Pulau Lelei terkena abrasi pantai, kini jarak dari bibir pantai sekitar tiga meter. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Berpasir putih, laut nan biru, pulau di bagian selatan Halmahera itu cukup menawan. Dengan panjang pantai hanya tiga kilometer kita bisa mengitari pulau ini dengan  berjalan kaki sekitar 45 menit. Lelei, begitu nama pulau yang masuk gugusan Kepulauan Gura Ici  itu.

Pulau ini sedang menghadapi persoalan serius. Abrasi  begitu nyata. Kalau terus berlanjut, bukan mustahil pulau ini akan hilang dari peta Maluku Utara dan Indonesia.

Dalam waktu 15 tahun terakhir garis pantai telah hilang hampir 15 meter.  Kala mengunjungi pulau ini awal Januari 2018, saya melihat abrasi sudah sangat memprihatinkan, bahkan sarana umum ikut rusak.

“Pantai Pulau Lelei  ini dulu jauh ke laut, kini sebagian besar sudah hilang. Dulu,  jarak pagar sekolah SMA Negeri 36  Lelei dengan pantai sekitar 15 meter. Sekarang sudah jatuh dihantam air,” kata Muin Abdullah,  warga Lelei. Tak hanya pagar sekolah terancam, tembok penahan ombak yang  dibangun juga hancur.

Kasus serupa tak hanya terjadi di Lelei juga pulau-pulau kecil lain di Malut, seperti Tabailenge (Morotai) dan  beberapa tempat lain.

Keterancaman pulau-pulau kecil ini, dari abrasi karena gelombang makin besar sampai air laut naik dampak perubahan iklim ini dibahas dalam diskusi terfokus difasilitasi Walhi Malut bersama sejumlah lembaga dua pekan lalu. Tema utama,”Mendorong Komitmen Pemerintah dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim  terutama di Pulau-pulau Kecil di Malut.”

Raisimin Laikota, Ketua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Oceanografi, Malut mengatakan, selama ini, bicara konservasi atau perlindungan orang lebih menitikberatkan pada energi dan kehutanan hingga isu kelautan kadang terabaikan.

Hutan dianggap sebagai paru-paru dunia. Padahal,  laut sangat berpotensi mencegah perubahan iklim.

Dia menjelaskan, sumber oksigen tak hanya dari tumbuhan. Kalau lihat muka bumi ini, porsi daratan hanya 29%, 71% laut.

Fitoplankton,  yang hidup di laut menghasilkan hampir 90% oksigen untuk kehidupan manusia. Meskipun tak bisa  terlihat mata telanjang, namun organisme ini melakukan fotosintesis seperti tumbuhan.

Jika tanaman pada 29% daratan sudah terjadi pengundulan,  oksigen sudah tak maksimal. Di laut,  sebagai penghasil oksigen  dari fitoplankton sangatlah besar ke udara.

Begitu pun  sebaran mangrove di Indonesia. Catatan LIPI dalam 25 km persegi hutan mangrove mampu menyerap 75.4 juta ton karbon. Belum lagi ikan yang terjaga baik dapat menyerap karbon 76.5 juta ton.

Fitoplankton,  misal dalam luas laut Indonesia ada 5.8 juta, kalau dimanfaatkan baik, dapat menyerap 40.4 juta ton  karbon dari perairan.

 

Pantai Lelei tampak indah dengan hamparan pasir putih. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Nah,  Indonesia menjadi dapur negara-negara besar di dunia dalam  mengantisipasi perubahan iklim. Tidak heran mereka sangat peduli dengan terumbu karang Indonesia termasuk di Malut.

“Kalau terumbu karang hancur mereka tidak bisa mengkonsumsi ikan. Saat ini,  Jepang sudah mulai memperhatikan jenis biota yang mampu menyerap racun di udara dengan teknik mereka sendiri. Amerika sudah mulai mengembangkan plastik hampa dengan bantuan gelombang supaya fitiplankton tumbuh, banyak menyerap karbon. Begitu juga  beberapa negara lain.”

Kala pemanasan global, es kutup utara dan selatan mencair, Indonesia bisa terdampak, wilayah dataran rendah atau pulau-pulau kecil akan tengelam.

“Mudah- mudahan saja  Malut tidak mendapatkan dampak ini, karena diprediksi pada 2080,   hilang sekitar 2.000-3.000 lebih pulau kecil,” katanya.

Dia mengatakan, contoh paling nyata di Ternate,    daratan makin mengecil. Gelombang makin besar menyebabkan abrasi dan makin mengikis daratan.

Meskipun begitu, katanya, Malut, dianggap sebagai daerah kontrol di Indonesia. “Kalau dianggap daerah kontrol  berarti Malut masih aman. Walaupun banyak  spot mangrove dan terumbu karang rusak, tapi kita masih aman,” katanya, seraya bilang, harus cari cara agar Malut tetap aman.

Dia khawatir,  setelah evaluasi ada pulau-pulau dalam kondisi mengkhawatirkan, seperti Pulau Hiri di Ternate, hanya ada dua pohon mangrove  hidup. Ada reboisasi guna memperbaiki kondisi tutupan tetapi kemungkinan sedikit yang hidup. Ada juga beberapa daerah sering pemboman ikan.

Dia mengingatkan, pendorong perubahan iklim tak hanya penggundulan hutan.  Terumbu karang rusak juga ikut berdampak  pada pelepasan karbon di udara.

Di Indonesia, khusus Malut,  tekanan terhadap pulau-pulau kecil cukup besar. Air laut naik ke darat makin tinggi. “Diprediksi, ke depan kita akan mengkonsumsi air payau. Alternatifnya,  mengambil air dari   Halmahera.”

Dia berharap, Malut tak akan terjadi bencana besar karena perubahan iklim. “Kita harus merawat sumber daya alam yang ada,” katanya.

Menurut dia, jangan lagi ada reklamasi di Ternate, karena sangat berdampak pada masyarakat di bagian selatan pulau. “Kalau terus terjadi,  daerah itu akan hilang.”

Perubahan iklim  juga berdampak pada gagal panen, baik tanaman pertanian maupun budidaya perikanan.

Kadri Laece,  Kepala Bidang Produksi Dinas Perikanan Malut menekankan, perlu pengelolaan lingkungan baik guna menekan  dampak perubahan iklim. Ketika lingkungan terpuruk, katanya,  sangat berdampak pada kehidupan manusia.

Dinas Perikanan, kata Kadri,  ada bagian tata ruang yang fokus membahas  konservasi. Ada juga perda penataan kawasan zonasi– yang keluar sesuai  eksploitasi wilayah laut– dengan koridor tata ruang laut yang merupakan komitmen nasional.

“Ini yang akan mengatur eksploitasi daerah dari wilayah 0-12 ml harus betul-betul dikendalikan dalam dokumen yang disebut rencana zonasi wilayah pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil.”

Saat ini, katanya,  Dinas Perikanan telah mengkonservasi lima pulau di Malut, yakni Pulau Guraici dan Pulau Widi di Halmahera Selatan, Pulau Rao di Morotai, Pulau Jiew di Halmahera Tengah dan Pulau Mare di Tidore Kepulauan dengan luas keseluruhan sekitar 17.000 hektar.

Dia juga menyinggung soal reklamasi di Ternate. Pengurukan laut jadi daratan ini mengorbankan, antara lain mangrove tepi laut. Biota laut yang biasa hidup di ekosistem mangrove pun hilang.

Kadri bilang, reklamasi sangat merugikan sektor perikanan.

“Kalau dilihat hamparan dari Pantai Tafure sampai Kalumata,  terus bergerak  menyebabkan  biota dan fitoplankton mati ditimbun tanah. Padahal komoditi laut terintigrasi dengan biota pantai.”

Di beberapa pulau di Malut, katanya, seperti Obi sudah ada pabrik smelter untuk tambang nikel, dan melepas karbon entah berapa banyak.

Obi,  berada di tengah-tengah Malut. Bagian selatan berbatasan dengan Maluku, Sula dan Taliabu, bagian timur dengan Papua, bagian utara berbatasan dengan Labuha dan Ternate.

Pabrik yang mengeluarkan karbon banyak, ke depan jadi payung hitam  bagi atmosfer.

Said Basalamah dari BLH Malut memberikan pandangan soal kondisi lingkungan daerah itu dan   kebijakan  pemerintah terkait  perubahan iklim.

Said bilang, pemerintah tak bisa bergerak sendiri dalam menekan laju perubahan iklim, perlu bersama-sama dengan para pihak, termasuk masyarakat.

Dia akui, progres percepatan pengelolaan dan pengendalian iklim masih rendah atau jauh dari harapan di daerah. Malut, katanya,  coba kembangkan desa-desa proklim.

“Kami mencoba berkolaborasi dengan kawan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jadikan Kota Tidore sebagai kampung iklim,” katanya.

 

Upaya penyelamatan dan menangkal abrasi pantai di Ternate dengan melakukan penanaman mangrove. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Iskandar Idrus, anggota Komisi II DPRD Malut yang membidangi kehutanan mengakui mereka kerja banyak urusi soal ekonomi keuangan dan investasi. Sektor  kehutanan  hanya dipandang sebagai salah satu sumber ekonomi.

Kalau berbicara mengenai komitmen pemerintah, katanya, harus masuk dalam kebijakan eksekutif dalam bentuk aksi. Peran legeslatif, katanya,  dalam bentuk peraturan daerah dan komitmen penganggaran.

Saat ini, di DPRD, ada beberapa dokumen berkaitan erat dengan perubahan iklim, seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW), rancangan perda zonasi di Komisi II.

Perda zonasi dalam pembahasan, kala debat dengan tim ahli soal rencana kabupaten dan kota yang mengisyaratkan reklamasi. “Harus tegas  di mana wilayah tak bisa direklamasi,  begitu juga  sanksi.”

Maluku Utara,  belum berani mengambil kebijakan. Di Ternate,  ada beberapa titik reklamasi, sepertidi land mark. Pemerintah Malut belum berani bertindak tegas membatalkan kalau lokasi itu tak boleh reklamasi meskipun hal itu kewenangan provinsi.

Dalam UU Pemerintahan Daerah ada beberapa kewenangan kabupaten dan kota pindah ke provinsi, seperti sektor perikanan, pertanian, dan pertambangan. Sayangnya,   di provinsi  belum berani  mengambil kebijakan, seperti reklamasi di Morotai dari Daruba Pante–Pandanga.

“Dalam Ranperda Zonasi kami sudah menegaskan masalah itu.  Ada beberapa pasal  pelarangan. Jangan sampai sebelum  disahkan, sudah dibuat reklamasi di kabupaten, kota.”

Begitu juga masalah kehutanan.  Saat pembahasan ranperda ini sempat perdebatan karena lokasi zonasi  terutama titik perusakan lingkungan tak masuk.  Padahal, DPR meminta ada satu peta yang mengambarkan titik-titik kerusakan  lingkungan.  Dengan begitu, dalam kebijakan  penyusunan APBD masing- masing satuan kerja, harus ada kebijakan  mencegah dan memperbaiki lingkungan.

Dari tim penyusun ranperda zonasi Dinas Perikanan ada standar operasi dari pusat, tak harus ada peta titik kerusakan lingkungan.

Titik-titik kerusakan ini penting dan jadi cacatan bersama, katanya, karena jadi penyaring kala berhadapan dengan izin, seperti izin pertambangan.

“Tujuan kita  proses pengawasan lingkungan sektor tambang adi lebih baik. Kalau tidak, dampak kerusakan lingkungan  akan makin besar.”

Maluku Utara,  sesuai dokumen APBD pendapatan  dari tambang dan hutan  pada 2016—sektor tambang Rp31 miliar  dan sumber daya hutan  Rp33 miliar, total Rp74 miliar lebih.

Kalau dibandingkan dampak lingkungan, seperti di Obi, kasus jembatan patah– meskipun  belum bisa disimpulkan penyebab kerusakan karena aktivitas perusahaan–, anggaran pembangunan hampir Rp20-Rp30 miliar. Tak sebanding dengan pendapatan tambang dan kehutanan.

“Ini catatan penting buat eksekutif maupun legislatif soal perusakan lingkungan. Harus dihitung berapa biaya dan manfaat dapatkan dari sektor pertambangan dan kehutanan.”

Komisi  II, katanya,  sudah memanggil Dinas Lingkungan dan Kehutanan karena sudah terjadi pengundulan hutan luar biasa di Obi. “Kita membutuhkan  kelompok juga masyarakat sipil bisa membantu.  “Posisi DPRD pasca UU Pemerintahan Daerah, kewenangan cukup kecil.”

 

Foto utama: Kondisi sekolah di Desa Lelei, Pulau Lelei terkena abrasi pantai, kini jarak dari bibir pantai sekitar tiga meter. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version