Mongabay.co.id

Miris.. Masih Banyak Nelayan Berburu Duyung di Bintan Riau. Begini Ceritanya..

Bagaikan bumi dan langit. Demikian perumpamaan yang tepat disematkan pada sebuah pulau yang masuk dalam Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau kecil yang merupakan bagian daratan Desa Air Glubi itu, kondisinya berbeda sekali dengan pulau Bintan berjarak tempuh 40 menit dari situ.

Di pulau Bintan, pembangunan berbagai sektor berlangsung sangat cepat di dua wilayah administrasi berbeda, yakni Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kondisi itu, membuat Bintan menjadi salah satu pulau dengan pembangunan tercepat di Indonesia.

Sayangnya, pembangunan di Bintan daratan tidak sampai ke pulau-pulau kecil di pesisir wilayah Bintan. Seperti dilihat di Desa Air Glubi –yang bisa diakses dari Kijang, bekas kota tambang di pulau Bintan– berbagai sarana dan prasana masih sangat terbatas.

Kepala Desa Air Glubi, Adi Suryanto kepada Mongabay-Indonesia saat berkunjung kesana akhir April 2018, menjelaskan pembangunan belum dirasakan di desanya. Padahal Desa Air Glubi telah ditetapkan oleh Badan Pengelolaan Perbatasan Republik Indonesia sebagai wilayah pengembangan Pusat Kawasan Strategis Nasional.

baca : Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Kondisi satu rumah di Desa Air Glubi, Kecamatan Bintan Pesisir, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Foto : tvkornews.com/Mongabay Indonesia

 

Meski berstatus kawasan strategis nasional, di Air Glubi sarana pendidikan dan listrik masih sangat terbatas. PLN belum mampu menyediakan listrik 24 jam di pulau tersebut. Hanya enam jam listrik menyala dari pukul 18.00 hingga 00.00 WIB saja.

Fakta tersebut, menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan akses informasi. “Untuk belajar saja jadi kesulitan karena keterbatasan listrik, begitu juga untuk ekonomi, jadi terbatas,” jelas Adi. Sehingga, sekitar 300 kepala keluarga (KK) warganya terpaksa menyeberang ke Bintan melalui kota Kijang untuk memenuhi kebutuhan harian.

 

Berburu Duyung

Ditengah keterbatasan itu, hampir semua warga Air Glubi bertahan hidup sebagai nelayan. Tapi uniknya ada satu keluarga yang enggan berprofesi sebagai nelayan yaitu Musa (70 tahun). Bersama keluarganya, Musa justru berprofesi sebagai pemburu Duyung (Dugong Dugon), sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Ditemui dirumahnya, Musa yang berasal dari Suku Laut bercerita termasuk pemburu yang masif menangkap mamalia laut Duyung. Dalam sebulan, dia bisa menangkap rerata 10 ekor seberat masing-masing sekitar 700 kilogram. Duyung dijual dengan harga bervariasi kepada pembeli yang datang, terutama dari pulau Bintan.

“Biasanya, para pembeli datang sendiri tanpa saya beritahu. Mereka tahu sendiri jika saya baru tangkap Duyung,” ungkapnya.

baca : Miris.. Duyung Terdampar Di Pantai Ini Malah Dipotong-potong dan Dijual

 

Seekor Dugong (Dugong dugon) di perairan Filipina. Foto : Jürgen-Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Dari seekor Duyung dewasa, Musa biasa memanfaatkan semua bagian tubuh mamalia yang makin terancam punah itu. Selain dagingnya, pembeli juga mengincar taring, gigi, dan air mata duyung. Khusus untuk air mata, dijual seharga Rp5 juta kepada pembeli yang percaya mitos air mata duyung bisa mengabulkan semua permintaan.

“Tapi kalau ingin berkhasiat, air mata yang dijual harus berasal dari sepasang Duyung, yaitu ibu dan anaknya,” jelas dia tanpa merasa bersalah. Padahal tidak ada dasar ilmiah dan penelitian sama sekali tentang khasiat itu.

Musa juga menjual Duyung utuh dengan harga sangat tinggi, berkisar Rp100 juta/ekor kepada pembeli ingin memilikinya utuh seekor. Harga setinggi itu dikarenakan sangat sulitnya menangkap Duyung.

“Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menangkap Duyung. Di Air Glubi juga hanya keluarga kami saja. Sekarang, kemampuan saya juga turun kepada anak saya. Dia meneruskan profesi saya ini,” tuturnya.

Hal itu dibenarkan Bahar (32 tahun), anak Musa yang meneruskan profesi penangkap duyung. Bahar dan keluarganya meyakini bahwa Duyung adalah rezeki dari Tuhan untuk ditangkap. Sehingga uang hasil penangkapan dibagi rata ke semua anggota keluarganya.

baca : Dugong Ditemukan Mati dan Dipotong-potong di Sungai Sempur Rupat Riau

 

Seekor Dugong (Dugong dugon) alias duyung yang tertangkap tak sengaja (bycatch) dengan jaring permukaan (gillnet) di perairan Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (30/01/2018). Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut / Mongabay Indonesia

 

Insyaf

Meski mendatangkan uang lumayan, Musa ataupun Bahar mengakui dan mengetahui, bahwa berburu Duyung saat ini dilarang dan haram. Karena duyung sudah sudah dilindungi melalui Peraturan Pemerintah No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Tetapi karena berprofesi puluhan tahun, keduanya merasa sangat susah menghentikan perburuan duyung karena sangat menjanjikan. Jika harus berganti profesi, keduanya meminta jaminan dari Pemkab Bintan ataupun Pemprov Riau dan Pemerintah Indonesia.

“Masalahnya, kita pernah dijanjikan oleh (Pemkab) Bintan untuk tidak memburu Duyung lagi. Tetapi, jaminan dari merekan tidak ada. Kami dijanjikan bantuan pun sampai sekarang tidak ada. Jadi, kami mencari Duyung lagi saja,” jelas Musa.

Sedangkan Bahar berharap jika berhenti menangkap Duyung, pendapatan profesi barunya setara dengan profesi lamanya, bahkan melebihi.

Satu-satunya profesi yang mungkin dijalani selain berburu Duyung, diakui Bahar, adalah menjadi nelayan ikan. Namun, dia berdalih saat ini ikan juga sulit ditangkap dan harga jualnya murah.

“Tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan untuk mencari ikan di laut. Sementara, saya sudah terbiasa dengan pendapatan sebagai pencari Duyung,” tambah dia.

baca : Jokowi : Ikan Putri Duyung Hanya Cerita. Begini 20 Fakta Sebenarnya Tentang Duyung

 

Seekor Dugong (Dugong dugon) alias duyung yang tertangkap tak sengaja (bycatch) dengan jaring permukaan (gillnet) menjadi tontonan masyarakat di perkampungan nelayan di Pulau Laut, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (30/01/2018). Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut / Mongabay Indonesia

 

Butuh Pendampingan

Perangkat Desa Air Glubi, Jaelani mengungkapkan aktivitas penangkapan Duyung masih berlangsung karena desanya termasuk kawasan pesisir yang terisolir. Ditambah sarana dan prasarana yang sangat terbatas, mengakibatkan minimnya pemahaman masyarakat terhadap Duyung.

Meskipun ada peraturan yang tegas melarang, Site Manager Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) Bintan, Siti Kusmiati, mengakui perubahan dan persepsi masyarakat terhadap penangkapan Duyung masih beragam. Bahkan banyak ada warga yang tidak tahu larangan tersebut.

Siti menjelaskan sejak program DSCP dilaksanakan selama tiga tahun di Bintan, mereka belum melakukan pendampingan di Air Glubi,. Pertimbangannya karena pendampingan butuh waktu panjang dan rapi.

“Keluarga tersebut sebenarnya sudah mendapat pendampingan dari Pemkab Bintan sejak beberapa tahun ini. Tapi, memang prosesnya masih sangat panjang,” jelasnya.

Siti mengakui masih banyak perburuan duyung di Kepulauan Riau. Selain di Bintan pesisir, perburuan juga di kabupaten lainnya karena diduga tidak ada pendampingan dari pemda setempat ataupun lembaga konservasi.

Pengajar Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Adriani Sunuddin mengatakan, masih adanya perburuan duyung menjadi tugas penyadartahuan semua pihak, tidak hanya pemerintah.

“Siapapun, masyarakat yang masih melakukan aktkvitas perburuan, maka mereka wajib mendapatkan pendampingan dari semua pihak, baik Negara ataupun lembaga konservasi. Ini memang pekerjaan berat, tetapi harus dilakukan secara konsisten dan tak kenal lelah,” tandasnya.

baca : Ada Apa dengan Dugong?

 

Dugong atau Duyung yang sebelumnya terdampar di Pantai Laut Natuna, Kepulauan Riau, pada Selasa (30/01/2018) dipotong-potong oleh nelayan untuk di konsumsi dan dijual RP30.000 perkilo. Berat Dugong ini diperkirakan 100 kilogram dan panjang 2 meter ini Foto : Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut, Natuna / Mongabay Indonesia

 

Fakta Duyung

Sudah lama masyarakat mengenal duyung. Mamalia laut ini tubuhnya bisa mencapai 2,4 hingga 3 meter dengan berat berkisar 230 – 908 kilogram. Duyung bereproduksi lambat, dimana butuh 14 bulan kehamilan untuk satu kelahiran anakan dan rentang waktu antar kelahiran rerata 2,5 hingga 5 tahun.

Menurut Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) Aditya Hikmat Nugraha, anakan Duyung disusui selama 14 bulan dan terus bersama induk betina hingga berusia 7 tahun. Setelah itu, dilepas induknya untuk kawin, dewasa dan hidup hingga 70-an tahun.

Sebagai negeri kepulauan, Indonesia diuntungkan karena menjadi negeri habitat bagi Duyung. Dari barat di Aceh hingga timur di Papua, populasi Duyung dinyatakan ada. Ilmuwan spesialisasi laut, Mark Spalding pernah memaparkan bahwa populasi Duyung di Indonesia sebagian besar ada di Indonesia Timur, khususnya di perairan Arafura, Papua, perairan Nusa Tenggara (Lesser Sunda), Paparan Sunda, dan selat Makassar.

Keberadaan Duyung di alam sangatlah penting. Perannya sebagai pengendali ekosistem laut tidak bisa digantikan oleh biota laut lainnya. Sebagai pemakan lamun, Duyung biasa memakannya dengan cara mengaduk substrat yang ada di bawah pasir laut. Cara tersebut membantu siklus nutrien di alam dan menyuburkan tanah yang ada di bawah perairan.

Menyadari peran ekologis tersebut, Pemerintah memasukkan Duyung sebagai satu dari 20 spesies prioritas yang dilindungi oleh Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya; UU No.31/2004 tentang Perikanan; juga PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Di level internasional, Dugong juga sudah mendapat perlindungan setelah resmi masuk dalam daftar Global Red of IUCN dengan status rentan (Vulnerable/VU). Kemudian, Duyung juga masuk dalam daftar The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dengan status Appendix I atau dilarang memperdagangan bagian tubuhnya dalam bentuk apapun.

 

Exit mobile version