Mongabay.co.id

Usulan Hutan Adat Kurang Dukungan Pemerintah Maluku Utara

Masyarakat Suku Tobelo Dalam di sekitar Taman Nasional. Mereka mengolah kelapa menjadi kopra dengan pengasapan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indoneaia

 

Pengakuan dan perlindungan wilayah adat,   tampak kurang mendapat dukungan pemerintah daerah di Maluku Utara. Dukungan pemerintah daerah lemah terlihat dari penyusunan peraturan daerah (perda) maupun surat keputusan bupati atau walikota soal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang lamban.

Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat  Adat Nusantara (Aman) Malut mengatakan, dari 18 poligon atau titik usulan hutan adat di Malut , sampai saat ini belum satupun ada perda.

Padahal, dukungan pemerintah daerah sangat penting. Pengakuan dan daerah lamban, penetapan hutan adat pun terkendala.  “Perda atau SK Bupati syarat mutlak, ”katanya dalam diskusi akhir April lalu.

Dialog ini menghadirkan 18 MHA, empat kesultanan masing- masing Kesultanan Ternate,  Tidore,  Bacan dan Kesultanan Jailolo, Aman,  akademisi dan LSM di Malut.

Pertemuan difasilitasi Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup (BPSKL) Maluku-Papua dengan menghadirkan Irmansyah Rachman Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL)  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ari Sugarsi, Kasubdit Penanganan Konflik PSKL.  Hadir juga  Dinas Kehutanan Malut.

Dialog selama dua hari itu, menyoroti konflik tenurial dan  dukungan pemerintah daerah terhadap percepatan usulan hutan adat di Malut.

Saat ini, di Malut, mulai proses usulan Perda masyarakat aday di Kabupaten Halmahera Tengah. Draf rancangan perda sudah sampai ke Badan Legislasi Daerah dan masuk bahasan persidangan di 2018 ini.

Berdasarkan data usulan hutan adat  di Malut yang masuk ke Direktorat  Jenderal Perhutanan Sosial yaitu hutan adat Pagu, Modole, Gura, Boeng, Lina, Huboto, Mumulati, Morodina   Morodai dan Towiloko di  Halmahera Utara.

Hutan Adat  Banemo, Kobe,  Peniti dan Fritu di Kabupaten Halmahera  Tengah. Lalu Hutan adat Dodaga dan  Wale Ino di Halmahera Timur. Terakhir,    hutan adat Gane Dalam, Gane Luar di Kabupaten Halmahera Selatan. Total  luas hutan adat usulan 1.145.383 hektar.

Irmansyah Rachman usai diskusi mengatakan,  penetapan hutan  adat  ini bisa lancar jika semua dokumen pendukung lengkap. “Kendala dihadapi adalah  dukungan pemerintah  daerah  terkait peraturan daerah.  Jika sudah ada peraturan daerah, hutan adat itu segera direalisasikan.   Ini kewenangan pemerintah  daerah,” katanya.

Kalau tak ada perda pendukung utama, katanya,   meskipun seluruh dokumen usulan hutan adat ada,  tetap tak bisa berjalan.

KLHK, katanya,  dalam menetapkan hutan adat  sangat berhati-hati, jangan sampai  salah menunjuk atau salah menetapkan. “Jika sudah ditetapkan sesuai UU  masyarakat adat berhak  mengelola.  Hutan adat itu kalau sudah ditetapkan, bukan hutan negara lagi.  Di situ tak ada lagi kewenangan negara mengelolala. Statusnya sudah hutan hak.”

Berbeda, katanya,  dengan hutan desa  atau model lain perhutanan sosial, pemerintah hanya memberikan hak pemanfaatan dengan masa izin 35 tahun, masih bisa diperpanjang.

Dalam dialog, dia menjelaskan perhutanan sosial merupakan Program Nawacita Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia tergambar dalam rancangan pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk menyediakan sumber tanah obyek agraria (tora), redistribusi tanah dan legalisasi aset.

Luas hutan Indonesia 120,7 juta hektar atau 63% dari daratan,  dengan penduduk  miskin dalam dan sekitar hutan sebanyak 10,2 juta atau 36, 73% dari jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Untuk itu, pemerintah mencanangkan 13.887.069 juta hektar hutan untuk pengurangan kemiskinan, pengangguran, konflik sosial dan tata kelola hutan berkelanjutan.  “Dengan program perhutanan sosial ini, masyarakat diberikan hak, izin, pengakuan dan perlindungan pengelolaan kawasan hutan dan peningkatan tutupan lahan sebagai wujud pemerataan ekonomi lestari dan berkelanjutan” katanya.

Untuk hutan adat, katanya, teralokasi 8.746,49 hektar dari total alokasi peta indikatif dan areal perhutanan sosial (PIAPS) 13.887.069 hektar. PIAPS Malut teralokasi 128. 672 hektar.

 

Keseharian kehidupan warga Adat Tobelo Dalam di Koli Bale Kota Tidore Kepulauan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, semangat penetapan hutan adat ini dilatarbelakangi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 tertanggal 16 Mei 2013 tentang peninjauan kembali UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999.

Percepatan penetapan hutan adat, katanya,  bakal terkendala kalau tak ada kemauan politik pemerintahan daerah dalam membuat perda maupun surat keputusan bupati.

“Pemerintah daerah dan DPRD harus membuat perda tentang masyarakat hukum adat, hingga memberikan kemudahan proses verifikasi terhadap subyek dan obyek hutan adat,”  katanya.

Senada Ari Sugasri, Kasubdit Penanganan Konflik Tenurial KLHK. Dia menyebutkan,  banyak peraturan perundang-undangan untuk tangani konflik tenurial termasuk di hutan Adat.

Konflik muncul, katanya, karena ada perkebunan sawit, pertanian, HPH,HTI, pertambangan, geotermal, jasa air, penggunaan lain tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat.

Sesuai peta indikatif potensi konflik tenurial kawasan hutan di Malut,  ada 1.461.995,5 hektar.

Sedang konflik tenurial berdasarkan tipologi di Maluku-Papua, tercatat masyarakat dengan pemerintah satu kali. Masyarakat dengan pemegang izin tambang 18 kali, dan masyarakat dengan Kehutanan satu kasus serta gabungan satu konflik.

Perhutanan sosial,  katanya,  sebagai bagian dari resolusi konflik.  “Tujuan perhutanan sosial ini menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.”

Dalam dialog itu, setelah melalui perdebatan panjang  selama dua hari,  akhirnya menyepakati  beberapa kesimpulan. Pertama, mereka  menyepakati  penanganan konflik  tenurial  antara Balai Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata dengan masyarakat  empat desa yakni  Desa Pintatu, Desa Tomares Halmahera Timur,  Desa Sawai Itepo dan  Desa Kobe Gunung di  Halmahera Tengah. Ia akan ditindaklanjuti  melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.84 Tahun 2015 soal penanganan konflik tenurian di kawasan hutan. Tentu dengan identifikasi dan verifikasi subyek dan obyek konflik.

Kemudian, menindaklanjuti dengan penyusunan nota kesepahaman penghentian  konflik difasilitasi BPSKL  Maluku Papua, Balai Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata dan Direktorat PKTHA, Pokja PPS Malut, Kesultanan Tidore,    Pemerintah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.

Kedua, Kesultanan, pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi bersama multipihak diminta berperan aktif  dalam penanganan konflik  tenurial di Malut.

Ketiga, soal usulan rancangan peraturan daerah  tentang masyarakat hukum adat di beberapa kabupaten di Malut ini, BPSKL Maluku Papua,  Pemerintah Malut, AMAN dan kepala suku, serta Kesultanan akan dialog dengan gubernur, bupati, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota. Tujuannya, mendorong percepatan penyusunan Ranperda soal masyarakat hukum adat.

Keempat,  target  pembuatan Ranperda masyarakat hukum adat dengan prioritas enam komunitas yaitu Dodaga di Halmahera Timur,  Pagu di Halmahera Utara,  Banemo,  Fritu,dan Kobe di Halmahera Tengah, serta Gane Dalam,  Gane Luar di Halmahera Selatan.

Rosna Rolobessy,  Kepala Seksi BPSKL Maluku-Papua,  mengatakan, dialog ini  bagian dari tindak lanjut rapat koordinasi nasional (rakornas) perhutanan sosial berapa waktu lalu di Jakarta.

 

Foto utama: Masyarakat Suku Tobelo Dalam di sekitar Taman Nasional. Mereka mengolah kelapa menjadi kopra dengan pengasapan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Batas hutan antara tempat kebun warga masyarakat hukum Tobelo Dalam dengan Kawasan Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version