Mongabay.co.id

Protes Alat Berat Tambang Nikel, Warga Tue Tue Kembali Alami Kekerasan Aparat

Kapal-kapal kecil milik nelayan Desa Tue Tue, yang menolak tambang PT GMS. Foto: dokumen warga/ Mongabay Indonesia

 

Selasa sore, (17/4/18), handphone saya berdering. Pesan masuk dari seorang warga Desa Tue Tue, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Bunyi pesan ini diawali dengan kata-kata “bantu kami.”   Ternyata, warga Desa Tue Tue kembali berkonflik dengan aparat kepolisian yang mengamankan alat berat perusahaan tambang nikel.

Polisi memukul mundur warga, kala menolak alat berat perusahaan nikel, PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) masuk ke desa mereka. Penolakan itu bukan tanpa alasan, warga takut pemukiman mereka terancam operasi pertambangan. Mereka khawatir, mata pencarian sebagai nelayan terganggu dan lingkungan rusak.

Setelah meminta informasi dari masyarakat Tuetue, saya memutuskan datang ke Desa Tue Tue, Minggu (22/4/18), berjarak 50 kilometer dari Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Nda bisa bergerak orang disana. Kita baku jaga, karena kita juga sudah siap. Apapun risikonya kami siap mati untuk tolak ini tambang,” kata Ridwan, warga Desa Tue Tue.

Ridwan mengatakan, ada 10 warga dipukuli polisi dari Polda Sultra dan Polres Konawe Selatan. Mereka yang mengamankan operasi GMS kala memasukkan alat berat. Mulut Ridwan gemetar kala bercerita dengan saya. Rasanya, dia ingin mengajak polisi sengel (berkelahi) satu lawan satu.

“Daripada, masa main pakai senjata. Masyarakat takutlah. Mending kita sengel saja. Terus terang Pak, kurang ajar caranya mereka. Kita dipukuli dan diseret. Katanya ini legal dan punya izin. Padahal, bukan soal legal atau tidak. Yang kami lawan adalah ancaman dari tambang,” katanya.

Sesampainya di Tue Tue, saya bertemu puluhan masyarakat. Di sana, ada Sarman, warga yang pernah ditembak polisi Januari lalu. Sarman menceritakan, alat berat GMS sudah berhasil masuk di lokasi. Mereka tak berbuat banyak lantaran personil kepolisian dan TNI sangat banyak. Belum lagi masyarakat dari desa lain turut membantu mengawal alat berat.

“Memang kita dikasi berkelahi sama-sama warga. Kami tahu mereka itu sudah dimasuki sama tambang (jadi pekerja),” kata Sarman.

Dari puluhan warga yang berkumpul memutuskan untuk demo di Mapolda Sultra, Senin (23/4/18). Mereka dikawal Lembaga Aliansi Indonesia. Segala persiapanpun disiapkan mereka,  mulai serba serbi keperluan aksi dan sebagian bertugas mengajak warga Desa Tue Tue yang konsisten menolak tambang GMS. Warga ada ratusan.

 

 

Protes

“Sudah kalian tembaki kami, sekarang kalian pukul kami. Melawan aparat kami tak punya senjata apa-apa. Kami hanya meminta polisi berpihak kepada kami,” teriak salah satu warga dari atas mobil di halaman Polda Sultra, Senin pagi.

Ratusan warga dari Desa Tue Tue, mendatangi Polda Sultra. Mereka menggelar demo, meminta Kapolda Sultra, Brigjen Pol Irianto, memeriksa dan menangkap anggotanya yang memukul warga. Masyarakat meminta Propam Polda Sultra memeriksa Kapolda yang diduga berada di belakang GMS. Warga menuding polisi membekingi aksi GMS mengeksploitasi kekayaan Desa Tue Tue.

“Kami menolak tambang GMS dan meminta aparat mundur dari tanah Tue Tue. Tidak ada keberpihakan dan kriminalisasi. Meminta Kapolda Sultra menarik pasukannya.”

Warga menuntut,  Pj Gubernur mencabut IUP GMS. Juga meminta Bupati Konsel menutup GMS dan berpihak kepada masyarakat. Meminta Ketua DPRD Sultra mendorong pencabutan IUP GMS,” kata Sifajar, kordinator aksi.

Mereka juga meminta Kapolda Sultra, mengusut tuntas kasus pemukulan warga dan penembakan serta kekerasan oknum Polisi kepada warga Desa Tue Tue.

“Tolong polisi harus adil dan tidak tebang pilih. Kami masyarakat kecil dipukuli, mereka pengusaha tambang dibantu dan membiarkan kami tersiksa.”

Warga pun meneriakkan Kapolri agar mencopot Kapolda Sultra kalau tuntutan mereka diabaikan. “Kami menganggap, beliau (kapolda-red) tidak mampu menyelesaikan persoalan ini.”

Mongabay menanyakan soal ini kepada Brigjen Polda Irianto, Kapolda Sultra di sela-sela ngopi bareng jurnalis. Menurut Irianto, investasi pertambangan, telah sesuai mekanisme dan UU. GMS,  yang eksploitasi berdasarkan data mereka, katanya, telah memenuhi segala bentuk kewajiban.

“Jadi kita melihat mereka diakui negara dan kami harus mengawal proses investasi. Karena ini juga diatur dalam UU. Posisi kami jelas, kami tidak juga bergerak di luar kewenangan kami sebagai aparat,” katanya.

Perwira polisi dengan satu bintang di pundak ini menjelaskan, soal ancaman kerusakan lingkungan di Desa Tue Tue, belum bisa disimpulkan saat ini. Pasalnya, GMS juga belum beroperasi.

“Sewaktu-waktu mereka melakukan pelanggaran,  yah tetap ditindak. Kami mengawal itu bukan berarti membekingi, melainkan kami melindungi proses investasi yang sah berdasarkan UU,” katanya berdalih.

Kisran Makati, Direktur Eksekutif Walhi Sultra menilai, tambang di wilayah pesisir berpotensi mencemari lingkungan.

Perusahaan tambang GMS, katanya, terletak di Kecamatan Laonti, Konawe Selatan itu, merupakan wilayah dengan gugusan pulau kecil, hingga tak layak ada pertambangan.

“Tidak ada aktivitas ekstraktif ramah lingkungan, semua pasti akan merusak lingkungan, termasuk GMS. Hancur itu Tue Tue, sekarang iya tidak. Besok lusa pasti akan sama seperti Mandiodo dan Boenaga di Konawe Utara,” kata Kisran.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014, perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyebutkan, bahwa pulau kecil dan perairan di sekitar diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan. Juga penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri, perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan serta pertahanan dan keamanan negara.

“Meskipun perusahaan mengklaim lokasi tak masuk dalam hutan lindung dan konservasi, namun pertambangan dipastikan berpotensi merusak ekosistem hutan dan lingkungan.”

 

Faisal, warga Desa Tue Tue, memperlihatkan luka pukulan di wajah oleh aparat. Foto: dokumen warga/ Mongabay Indonesia

 

Jalan buntu

Kaki Sarman belum pulih total. Dia masih merasakan nyeri dan keram-keram pasca penembakan oleh anggota Polda Sultra yang mengawal alat berat GMS di Desa Tue Tue, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan. Meskipun begitu, dia memaksakan diri bersama puluhan warga Tuetue, datang menghadap anggota DPRD Sulawesi Tenggara, Selasa (13/2/18).

Rasa sakit itu dia tahan demi melihat bibir anggota dewan mengucapkan “Tolak GMS.” Sayangnya, harapan tak sesuai realita. Asa pupus. Kepalanya tertunduk dan mata berkaca-kaca.

Di kantor dewan terhormat itu, dia tak melihat keadilan. Sarman tak menemukan ada anggota dewan berpihak kepada mereka. Para wakil rakyat itu, duduk melingkar sambil tertawa bersama pejabat Polda Sultra.

Oke, kita sepakat bahwa itu sesuai protap yah, kami juga pikir sebelumnya kalau itu peluru tajam, ternyata peluru karet yang memang tujuannya untuk menghalau masyarakat,” kata Suwandi Andi, anggota dewan asal Partai Amanat Nasional.

Di dalam ruang ber AC kasus penembakan itu dianggap selesai dan tak ada masalah. Anggota dewan dan polisi bersepakat, itu sudah sesuai mekanisme. Warga yang hadirpun dibuat bingung dan tak bisa berkata-kata.

Perwakilan warga bernama Yamal, mengatakan, kalau begitu, mereka hanya berharap agar polisi dan anggota dewan bisa menghentikan operasi GMS.

“Tolong ini dihentikan dululah. Ini masih dalam proses sengketa. Kami menolak juga karena takut ancaman kerusakan lingkungan. Kami ini nelayan, kalau ada tambang bisa rusak laut kami,”  kata Yamal.

“Kami sepakat, kalau memang tidak ada yang bantu dan tak selesai masalah ini, komitmen kami jelas, tetap menolak kehadiran GMS di tanah kami,” katanya.

Dalam momen itu, agenda Komisi I DPRD Sultra, menggelar dengar pendapat bersama Forum Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Haluoleo (KBM–UHO) Kendari, masyarakat Kecamatan Laonti, Polda Sultra, dan instansi terkait. Sayangnya,  rapat dengar pendapat yang diinisiasi Komisi I DPRD Sultra, tak menyelesaikan masalah.

“Nanti setelah ini, tolong polisi agar menghentikan proses pengawalan dulu sampai ada proses lebih lanjut yah,” kata Taufan Alam, Ketua Komisi I DPRD Sultra.

Pada April lalu, polisi kembali mengawal alat berat perusahaan dan terjadi pemukulan terhadap warga yang protes.

 

 

Foto utama: Kapal-kapal kecil milik nelayan Desa Tue Tue, yang menolak tambang PT GMS. Foto: dokumen warga/ Mongabay Indonesia

 

Sarman, tengah dibawa ke RS di Kendari, karena terkena tembakan kala aksi tolak tambang nikel pada Januari lalu. Foto: dokumentasi warga Tue Tue/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version