Mongabay.co.id

Melihat Keteguhan Budidaya Ulat Sutera Ditengah Derasnya Impor Benang. Ini Ceritanya..

Indonesia masih banyak mengimpor benang sutera karena kekurangan bahan baku kerajinan kain. Ini kisah salah satu upaya bertahan unit kecil rantai keajaiban ulat sutra (Bombyx mori) dari telur sampai jadi kain di Kabupaten Badung, Bali.

Menarik melihat budidaya ulat sutera. Tak hanya keajaibannya menghasilkan serat benang sutra yang indah dan kuat, ulat ini mengajarkan soal kemampuan adaptasi dan keseimbangan kehidupan. Kehidupan baru setelah kematian.

Seperti terjadi di Agrowisata Sutera Sari Segara yang berlokasi di Banjar Lateng, Sibang Kaja, Abiansemal. Di tengah pemukiman penduduk, area sekitar 40 are kebun daun murbei ini dari depan tidak nampak hijau. Gerbang rumah besi dengan balebengong di pojoknya dan pintu tertutup rapat.

“Takutnya anjing masuk,” Tri Edy Mursabda, seorang pria tengah baya manajer operasionalnya menyambut. Suasana sepi, sampai terlihat beberapa blok kandang binatang seperti Rusa Timor, kalkun, dan Jalak Bali. Sebuah ruangan audio visual berada paling depan, untuk menyambut rombongan pelajar atau turis yang ingin memulai tur melihat keajaiban ulat pemintal benang sutra ini. Mereka akan disuguhkan dengan video perkenalan dan pengetahuan.

baca : Cerita Alam dan Krisis Lingkungan Lewat Batik Lukis Tatang Wibowo

 

Aneka kain tenun sutra beragam corak produksi Agrowisata Sutera Sari Segara, Kabupaten Badung, Bali. Tempat ini membudidayakan dan mengolah sendiri ulat sutera menjadi produk kain sutera. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Terdapat ruangan paling besar dengan enam alat tenun bukan mesin, meja dan kursi seperti kantin, dan gantungan kain-kain warna warni beraneka corak. Dalam lemari-lemari kaca juga ada aksesoris jepit rambut, bros, bando, dan lainnya.

Tri mengambil sebuah buku album berisi foto-foto yang mulai buram. Kisah si ulat-ulat sutra ini terekam di sini. “Kami kekurangan bahan baku untuk tenun,” ia membuka optimismenya dalam rantai budidaya ulat sutra ini. Ini menjelaskan kenapa pada saat itu, akhir April lalu hanya ada satu penenun yang bekerja melanjutkan menenun tiap helai benang sutra menjadi kain corak merah kebiruan. Alat tenun lain masih tertempel kain-kain setengah jadi berwarna merah, hijau, aneka corak. Menunggu benang tambahan.

Agar para penenun dan pekerja lainnya tetap bisa beraktivitas, Tri fokus mengembangkan wisata agro sejak 2008. Ia memulai dengan menyiapkan lahan kebun murbei sekitar 40 are dan 10 are untuk bangunan. Tri menyebut membibitkan ulat sutera tak sulit, cukup menyemai potongan tangkai dahan sebelum ditanam di lahan. Untuk perawatan, pohon murbei tua rutin dipangkas tiap 3 bulan agar dahannya tak terlalu tinggi sehingga daunnya lebih lebat.

Suhu di lokasi ini relatif panas dibanding rekomendasi lokasi budi daya ulat sutra antara ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut. Namun Tri optimis dan menyiasatinya dengan mengurangi panas ruangan makan si ulat dengan memasang blower.

baca : Ini 6 Ulat dengan Racun yang Berbahaya, dan Bahkan Mematikan

 

Kepompong ulat sutera di area budidaya Agrowisata Sutera Sari Segara, Kabupaten Badung, Bali. Produksi kain sutera kekurangan bahan baku benang sutera sehingga Agrowisata ini membudidayakan ulat sutera sendiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bibit berupa telur didatangkan dari Sopeng, karena tak setiap pembudidaya bisa membibit sendiri dengan alasan menjaga kualitas dan mencegah penyakit. “Kami bisa produksi telur tapi perlu alat dan ahli yang periksa lab, dan lainnya,” urainya. Dalam 10 hari telur-telur akan menetas. Tri memesan sekitar 100 ribu bibit telur tiap 3 bulan.

Pertumbuhannya dari ulat kecil, menjadi instar ulat makin besar dan berganti kulit. Mereka terus makan dedaunan murbei dengan lahap sampai 22-25 hari. Setelah itu inilah tahapan yang paling dinanti, metamorfosis jadi kepompong. Dalam tahap ini ulat tak makan daun lagi.

Ulat-ulat dipindahkan ke kotak-kotak kuning. Pada hari ke-3, bulatan-bulatan kokon (cocon) atau kepompong sudah terlihat. Ulat terlihat berada dalam kepompong memintal air liurnya jadi helai-helai tipis putih seperti kapas. Dengan tekun gulungan ini makin rapat dan tebal sampai ulat tak lagi terlihat.

Beberapa ulat terlihat tak mampu membuat kepompong dan mati. Melihat proses ini terlihat mengesankan. Serdadu pekerja ini tekun memintal dalam sunyi. Hari ke-4 bulatan kokon sudah penuh dan siap dipanen.

baca : Bukan Tanpa Alasan, Nama Semut Jenis Baru Ini Radiohead

 

Ulat sutera yang dibudidayakan di Agrowisata Sutera Sari Segara, Kabupaten Badung, Bali. Produksi kain sutera kekurangan bahan baku benang sutera sehingga Agrowisata ini membudidayakan ulat sutera sendiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah kokon yang disiapkan jadi indukan akan melakukan hal menakjubkan untuk jadi larva dan bertelur. Ulat melubangi kokon persis di titik dimulainya serat pertama diproduksi. Beda dengan ulat yang bermetamorfosis jadi kupu-kupu, ulat sutra tidak jadi kupu-kupu.

Tri menyebut dari 10 kg kokon/kepompong saat dipintal menjadi 1 kg benang. Bisa jadi kain dengan panjang 8 meter dan lebar 110 cm lebar. Jika beroperasi penuh per hari kelompok budi daya ini menghasilkan sekitar 30 kg benang. Harga beli cocon dari pembudidaya saat ini sekitar Rp50 ribu/kg. Jadi masuk akal harga kain sutra lebih mahal.

Beralih ke lokasi pemintalan benang. Kepompong direbus beberapa saat agar lebih lunak, baru dipintal. Selanjutnya diwarnai. Tri memberi tips cara membandingkan benang sintetis dan sutra alami. Saat benang sutra dibakar muncul bau rambut hangus dengan abu tipis yang mudah hilang. Sementara benang sintetis jika dibakar seperti plastik dengan api merah. Sifat kain sutra memang istimewa, saat cuaca dingin kita merasa hangat, dan sebaliknya. Kain halus dan berkilau kena matahari tapi tak licin.

Seorang pekerja, Made Sari, menenun di agrowisata ini sejak 2010. Ia menyelesaikan 2 meter kain/minggu. “Harus sabar tidak bisa sambil nonton tv nanti rusak,” ia tersenyum.

baca : Berikut Fakta Unik Ulat Kaki Seribu

 

Seorang penenun sedang membuat kain sutera di Agrowisata Sutera Sari Segara, Kabupaten Badung, Bali. Produksi kain sutera kekurangan bahan baku benang karena budidaya ulat sutera yang terbatas. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tri melihat potensi budidaya sangat menjanjikan karena pengerajin kain masih kekurangan bahan baku sampai impor benang sutra. Karena itu ia sendiri kerap kekurangan bahan baku sehingga produksi tenun terhenti. Pihaknya sedang berupaya perbanyak kelompok tani ulat sutra. “Kita sedang sosialisasi, hasil kepompong pasti kita beli,” ujarnya.

Selain menjual dalam bentuk kain, bagian lain dari budidaya juga kini sudah diaplikasikan menjadi kerajinan. Misalnya kokon terlihat berubah menjadi souvenir, dipotong berbagai bentuk dan diwarnai kemudian dirangkai jadi hiasan rambut dan lainnya. Benang sutra juga diminati seniman untuk rambut barong, alasannya benang ini terlihat lebih indah dan hidup.

Dari laman Agro Indonesia, disebutkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempermudah proses pengadaan telur ulat sutra dari luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri LHK No.37/2017 tertanggal 7 Juni 2017. Lewat kebijakan ini, usaha budidaya ulat sutra yang banyak dilakukan masyarakat di sekitar hutan diharapkan bisa kembali bergairah. Produksi kokon lokal pun diharapkan meningkat sehingga menekan impor benang sutra yang lebih menguras devisa.

Mengutip artikel itu, Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK Hargyono  menyebut produksi kokon di tanah air memang masih minim. Setahun, hanya bisa menghasilkan sekitar 80 ton benang sutra saja. Padahal, kebutuhan benang sutra nasional tiap tahunnya mencapai 800 ton. Untuk memenuhi kebutuhan itu, impor benang sutra, utamanya dari Tiongkok pun harus dilakukan.

 

Exit mobile version