Mongabay.co.id

Meriahnya Perayaan Masyarakat Adat Internasional yang Bersetia Melestarikan Alamnya

Masyarakat adat berkolaborasi mengingatkan solidaritas pelestarian alam dan keberagaman yang menguatkan identitas bangsa dan dunia.

Mat Kirut, pria 63 tahun ini mengambil seruling bambunya. Bukan diarahkan ke mulut tapi hidung. Mengalunlah nada-nada pentatonik tentang hutan, burung, dan kehidupan Dayak Punan, salah satu suku adat di Kalimantan Utara.

Alkisah Kabun Yoi Yoi, leluhur mereka sedang menikmati hutan lebat rumah mereka di masa lalu. Di sudut sungai, nampak gerombolan ikan berkumpul di ujung batang bambu yang tumbang. Pada saat yang sama terdengar suara merdu dari sungai. Musik ini mengalun indah, memecah sunyi. Kabun Yoi Yoi mengambil bambu itu dan berusaha menghasilkan nada meniru para ikan, ia meyakini ikan-ikan mendendangkan nada dari lubang bambu. Jadilah kemampuan meniup suling dari hidung yang diturunkan ke generasi Dayak Punan. Ada banyak sebutan untuk suling hidung ini, misalnya Turali dan Lelingut.

baca : Akhirnya, Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

 

Seorang tetua Dayak Punan dari Kalimantan Utara membunyikan suling dari hidung. Tehnik ini dinamakanTurali atau Lelingut. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Keajaiban hutan dan penghuninya adalah nafas warga Dayak. Sumber makanan sepeti umbi dan protein hewani disediakan hutan tanpa pamrih. Inilah yang nampak dari kesenian yang ditampilkan warga Dayak Punan yakni Keringut Taat Urung dalam perayaan masyarakat adat internasional Indigenous Celebration 2018 pada 11-13 Mei di Museum ARMA, Ubud, Bali.

Acara ini melibatkan lebih dari 20 kelompok pribumi dari Indonesia dan juga suku-suku lain dari berbagai negara seperti Aborigin dari Australia, Maori dari Selandia Baru dan suku Nagaland dari NE India. Sebanyak 7 negara diwakili dan 32 komunitas adat seperti tetua dan anak mudanya membagi kearifan lokalnya dalam sejumlah workshop dan pentas seni.

Ketua Lembaga Adat Punan, Thomas Mita mengatakan warganya sangat tergantung pada hutan. Saat ini tantangannya adalah melestarikan dan menjaganya. Bukan hal mudah karena penambangan dan perambahan hutan sudah meluas di Kalimantan. Salah satu caranya adalah dengan kesenian seperti tari Keringut Urung.

baca : Saat Merayakan Kebangkitan Masyarakat Adat di Jayapura

 

Sebelum pentas, tetua Dayak Maanyan melakukan ritual minta izin leluhur dan roh serta penyucian di atas panggung acara perayaan masyarakat adat internasional Indigenous Celebration 2018 di Museum ARMA, Ubud, Bali pada 13 Mei 2018. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di ruang workshop lain ada anak muda Dayak Iban yang mengampanyekan keragaman biodiversitas lingkungannya melalui tato, seni rajah tubuh yang menjadi identitas penting warga setempat. Herpianto Hendra dan Susanto dengan bangga memperkenalkan keahliannya merajah dengan cara tradisional yakni hand tapping yakni mengetuk-ngetukkan jarum yang dipasang di ujung tangkai kayu. Perbedaannya dengan zaman dulu, jelaga campur air tebu sudah berganti tinta pabrikan dan penggunaan jarum sekali pakai.

Di badan Susanto, pria muda Dayak Iban ini sendiri ada aneka motif flora fauna khas Dayak Iban. Tak mudah diidentifikasi karena punya gaya atau desain khas. Paling banyak jenis tanaman seperti bunga dan biji misalnya bunga terung dan bunga tengkawang. Dua jenis motif tato yang familiar memperlihatkan kebanggaan pada tumbuhan yang memiliki khasiat dan dimanfaatkan warga sekitar. Sementara untuk binatang ada motif kepiting, ketam, kalajengking, dan lainnya.

“Sudah banyak yang motifnya beda dengan tato tradisional, katanya biar tidak ketinggalan zaman,” seru Susanto. Namun ia tetap bersetia memenuhi sebagian tubuhnya dengan desain khas sukunya ini. Simbol identitas dan kebanggaannya.

baca : Pembangunan Ramah Lingkungan Harus Melibatkan Masyarakat Adat, Begini Penjelasannya

 

Dua anak muda Dayak Iban memperlihatkan skill tato dengan hand tapping dalam perayaan masyarakat adat internasional Indigenous Celebration 2018 di Ubud, Bali pada 11-13 Mei 2018. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Perayaan masyarakat adat ini dilaksanakan untuk kali pertama dan diprakarsai oleh David Metcalf, seorang fotografer-videografer fokus pada dokumenatsi masyarakat adat di Indonesia dan Yayasan Ranu Welum, Kalimantan. Dengan dukungan para pihak seperti Kedutaan Selandia Baru, Arma Museum, Green School, Antida Music Production, dan sponsor lainnya.

Panitia menyebut tiap tiket yang terjual akan dibarter dengan sebatang pohon. Shinta masih mendata berapa tiket terjual. Pihaknya sudah menyediakan lahan 8 hektar di Kalimantan yang akan ditanam berbagai pohon kayu keras seperti Ulin yang menjadi bahan baku rumah tradisional dan makin langka saat ini. Kemudian gaharu, sengon, dan pohon buah-buahan tropis.

David menyebut sangat penting kolaborasi internasional Indonesia dan masyarakat adat negara lain untuk saling berdialog dan menguatkan. Rekan perintis acara ini lainnya adalah Emmanuel Shinta, seorang wanita Dayak yang merupakan pendiri Ranu Welum, lembaga yang memberdayakan generasi muda komunitas adat melalui medium seni dan film. “Kami tidak percaya akhirnya berlangsung. Ini identitas, kekuatan, dan keberagaman kami,” serunya saat pembukaan hari pertama yang dihadiri ratusan orang.

Kolaborasi keduanya mengampanyekaan kekuatan masyarakat adat sudah dimulai di Festival film Indigenous di Bali pada Januari lalu. Dilaksanakan bekerja sama dengan Ranu Welum, Handcrafted Film, If Not Us Then Who, dan Infis. Memutar 32 film-film tentang perjuangan warga adat dan pelestarian lingkungan yang diputar di festival ini. Sebanyak 17 film dari Indonesia dan sisanya dari 12 negara lain yakni India, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Peru, Panama, Honduras, Brasil, Nikaragua, Kongo, Kanada, dan New Zealand.

baca : Melihat Perjuangan Para Penjaga Alam di Festival Film Indigenous di Bali

 

Panggung acara perayaan masyarakat adat internasional Indigenous Celebration 2018 di Museum ARMA, Ubud, Bali pada 13 Mei 2018. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Atraksi seni pada hari pertama diawali oleh komunitas Dayak Maanyan. Para tetua tampil di atas panggung dengan arsitektur tradisional Bali dan menyerukan doa, mantra-mantra mengharap perlindungan dan izin dari leluhur mereka. Menyebar beras dan air suci yang bermakna penyucian dari roh-roh jahat serta minta izin dari roh yang menjaga tempat pelaksanaan acara. Demikianlah spirit dan spiritualitas warga adat yang memiliki ritual dan tradisinya masing-masing dalam memberi penghormatan pada alam, yang terlihat dan tak terlihat.

Selain pertunjukkan tiap komunitas adat juga ada kolaborasi lintas etnik dan negara. Misalnya hari pertama kolaborasi Siti Habibah (Spirit of Hornbill), Angela Wurramarra (Australian Aboriginal Artist), dan Rukmini (Ngata Toro). Hari ke-2 kolaborasi Alfirdaus dan Debbi (Komandan Art) serta Shae Duncan (Australian Aboriginal Artist). Selanjutnya ada Cyril Campbell (Australian Aboriginal Artist), Philliu Unyang-Urai Laing (Dayak Kenyah), dengan Paskialis Mahuse (Marind Papua).

Komunitas Dayak dari berbagai daerah di Kalimantan paling banyak hadir seperti Dayak Maanyan, Benuaq, Kanayat, Kenyah, Iban, Punan, dan Ngaju. Kemudian Atoni (Timor Barat), Batak Tapanuli Utara, dan lainnya. Komunitas adat dari luar negeri adalah Aborigin (Australia), Maori (Selandia Baru), Nagaland (India), dan lainnya.

Dihelat di kampung internasional Ubud, pengunjung dominan adalah turis dan ekspatriat yang mukim di Bali. Mereka serius mengikuti workshop dan menonton pertunjukkan, termasuk dongeng-dongeng lewat story telling tiap kelompok adat. Disampaikan dalam bahasa daerah mereka, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, lanjut dalam Bahasa Inggris. Beberapa stan biro perjalanan wisata ke Kalimantan yang mengisi stan bisa jadi akan mendapat banyak turis yang sedang penasaran pada pulau paru-paru dunia yang makin berat menjaga kelestarian hutannya ini.

 

Exit mobile version