Mongabay.co.id

Marak Kontroversi Pendirian PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli

Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sipirok-Marancar-Batangtoru (Simarboru) di lembah Sungai Batang Toru memunculkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Benturan antara kekhawatiran akan munculnya kerusakan lingkungan dengan  iming-iming pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan menjadi topik hangat di tengah masyarakat.

Sebelumnya, Rizal Kapita, Senior Manajer PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), pelaksana proyek PLTA menyebut bahwa pembangunan PLTA akan menambah pasokan tambahan listrik bagi provinsi Sumut mencapai 510 Mega Watt. Jelasnya, PLTA Simarboru dirancang untuk menjawab kekurangan pasokan kekurangan listrik yang selama ini dialami.

Namun, klaim tentang kurangnya pasokan listrik di Sumatera Utara tersebut tampaknya terbantahkan dengan pernyataan dari Deputi Manajer Strategi Pemasaran PLN Wilayah Sumut, Petrus Gading Aji. Dia menyatakan kondisi kelistrikan sudah mengalami surplus 15 persen atau 272 MW dari beban puncak mencapai 2.326 MW untuk memenuhi sekitar 3,4 juta pelanggan listrik di Sumut.

Di luar klaim masalah kecukupan pasokan listrik, proyek ini mengundang para pegiat lingkungan untuk angkat bicara. Jika jadi dilaksanakan, maka rencana PLTA yang didanai oleh konsorsium China Shinohydro ini, akan berdampak buruk bagi habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar paling langka di dunia yang hanya tersisa 800 individu saja.

Baca juga: Orangutan tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

Lokasi bakal PLTA ini dikhawatirkan akan membelah dan memisahkan antara populasi orangutan di blok barat dengan yang berada di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Fragmentasi habitat akibat proyek PLTA pastinya akan berdampak signifikan pada kehidupan jangka panjang orangutan.

Seperti yang diungkap oleh Graham Usher, peneliti dan spesialis perlindungan lansekap Batang Toru dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menyebut jika pembangunan dilaksanakan, populasi yang ada di cagar alam dalam jangka panjang tidak akan dapat bertahan, karena peluang regenerasi spesies orangutan tapanuli akan semakin rendah. Situasi ini tentunya juga akan berdampak pada keragaman genetik yang dimilikinya. Padahal tanpa ada proyek PLTA pun, saat ini pun orangutan tapanuli telah berstatus terancam punah.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah dampak kerusakan lingkungan oleh proyek PLTA, yaitu hilangnya tutupan hutan yang akan dibuka untuk kegiatan dan persiapan lahan. Hutan berkisar ratusan hektar jika diubah menjadi kegiatan proyek, dikhawatirkan akan memberikan dampak serius bagi ekosistem di hutan maupun DAS Batang Toru.

Satu yang perlu dicermati adalah kerusakan ekosistem amat berpotensi menjadi penyebab bencana alam banjir, yang seringkali terjadi pada saat Sungai Batang Toru meluap.

 

Peta Bahaya Banjir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

 

Dari peta bahaya banjir yang dipublikasikan oleh BNPB dan BPBD Tapanuli Selatan, maka terlihat bahwa daerah hilir Sungai Batangtoru menjadi titik rawan banjir yang paling tinggi. Jika ini terjadi, yang bakal menanggung dampak akibatnya adalah masyarakat Simarboru sendiri.

 

Proyek PLTA untuk Siapa?

Dampak sisi ekonomi yang tidak bisa diabaikan dari adanya pembangunan PLTA Simarboru adalah masyarakat yang tergantung pada kebun-hutan. Dana Prima Tarigan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut menyebut bahwa ada sekitar 100 ribu jiwa yang menggantungkan hidupnya pada hutan di daerah Batang Toru.

Jika PLTA beroperasi, bukan hanya daerah pembangunan saja yang berdampak tetapi juga daerah di hilir Sungai Batang Toru, yang diperkirakan ada sekitar 1.200 ha lahan pertanian produktif milik petani dan warga yang juga bakal terancam akibat pembangunan proyek PLTA. Belum, para nelayan sungai yang hidup tergantung pada aliran Sungai Batang Toru.

Selain mengancam keanekaragaman hayati, lingkungan, dan ekonomi, PLTA yang disebut-sebut sebagai proyek Green Energy ini tak luput dari dampak kontribusinya terhadap lingkungan.

Seperti disebut dalam publikasi BioScience, Volume 66, 1 November 2016, maka dalam jangka waktu 100 tahun, pembangkit listrik yang berasal dari sumber tenaga air akan menghasilkan lebih banyak metana dibandingkan yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Proyek bendungan juga akan mengeluarkan sekitar satu milyar ton gas rumah kaca, atau sebesar 1,3 persen total emisi global tahunan. Untuk diketahui, kontribusi metana sendiri terhadap pemanasan global sendiri tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan kontribusi CO2.

Sebenarnya, jika dikaitkan dengan ketahanan energi dan asal sumber bauran energi di Sumatera Utara pun, keperluan energi kedepan dapat dipenuhi dari rencana pembangunan energi panas bumi, seperti yang sekarang sedang dikembangkan di Sorik Merapi

Sudah selayaknya para pemangku kepentingan mengkaji ulang dengan benar pembangunan PLTA di Tapanuli Selatan dari berbagai sisi, bukan hanya ekonomi tetapi juga ekologi. Kita perlu bertanya apakah pembangunan mega proyek ini harus mengancam keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Tapanuli Selatan?

Juga perlu dipertanyakan apakah masyarakat di Tapanuli Selatan secara khusus atau Sumatera Utara pada umumnya benar-benar membutuhkan pasokan listrik dari mega proyek ini saat di Provinsi Sumatera Utara telah dinyatakan surplus listrik?

Semoga saja tanah Tapanuli Selatan tidak menjadi penyumbang perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dari Sumatera Utara. Jangan sampai generasi berikut mengenang generasi saat ini menjadi generasi yang berkontribusi pada hilangnya aset dan kebanggaan utama keragaman hayati di wilayah ini, yaitu orangutan tapanuli, juga menyengsarakan masyaakat.

Jika hal ini terjadi, maka Konsep pembangunan yang dicita-citakan dari Marsipature Hutana Be (gerakan membangun desa) akan berubah menjadi sebaliknya, membawa bencana buat masyarakat.

 

* Hamid Ar Rum Harahap, penulis adalah pengurus di Youth for Climate Change Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Foto utama: Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/Batangtoru.org

 

 

Exit mobile version