Mongabay.co.id

Luar Biasa, Tim Pendaki Wanita Unpar Taklukkan 7 Puncak Dunia

Kamis pagi, 17 Mei 2018, Deedee dan Hilda berhasil menapaki puncak Gunung Erevest (8.848 meter di atas permukaan laut/m dpl), gunung tertinggi di dunia. Momen luar biasa ini merupakan perjalan pamungkas dari ekspedisi The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan (WISSEMU), sejak 2014 lalu.

Bangga dan haru menyatu di dada kedua gadis Bandung bernama lengkap Fransica Dimitri Inkiriwang (24) dan Mathilda Dwi Lestari (24). Selain berhasil menancapkan sang merah putih di tujuh puncak dunia sebagai bukti cinta pada negeri, keduanya juga didapuk sebagai wanita Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang berhasil menaklukkan seven summits dengan waktu empat tahun.

Tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Begitulah ungkapan atas jerih payah mereka. Berkat usaha dan kerja keras mahasiswi yang juga anggota Perhimpunan Mahasiswa Pencinta Alam (Mahitala) ini, perjuangan akhirnya berbuah manis. Dengan kata lain, misi sukses.

WISSEMU sesungguhnya terinspirasi dengan capaian Anggota Mahitala tahun 2011, yang berhasil menuntaskan hal serupa namun dengan formasi berbeda. Kaum adam yang lebih dulu menaklukkan tujuh puncak tertinggi dunia.

“Sebetulnya, pendakian ini bukan semata untuk menaklukan puncak gunung. Karena tidak mungkin gunung bisa dikalahkan,” terang Deedee kepada Mongabay Januari tahun lalu.

Baca: Tim Pendaki Wanita Unpar Berhasil Ke Puncak Aconcagua

 

Deedee dan Hilda berhasil mendaki puncak Gunung Erevest (8.848 meter di atas permukaan laut/m dpl), sekaligus mengibarkan bendera merah putih pada 17 Mei 2018 pukul 5:50 waktu Kathmandu atau jam 7:05 WIB. Foto: Facebook The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan (WISSEMU)

 

Mereka melakukan pendakian pertama di Gunung Carstenz Pyramid, Papua (4.884 m dpl) 13 Agustus 2014, lalu Gunung Elbrus, Rusia (5.642 m dpl) 15 Mei 2015, serta Gunung Kilimanjaro, Tanzania (5.895 m dpl) 24 Mei 2015. Selanjutnya, Gunung Aconcagua, Argentina (6.962 m dpl) 30 Januari 2016, dilanjutkan Gunung Vinson Massif, Antartika (4.892 md pl) 5 Januari 2017, serta Gunung Denali, Alaska, Amerika Utara (6.190 m dpl) 2 Juli 2017.

Perlu pemahaman dan persiapan matang tentunya. Serangkaian latihan dan seleksi yang begitu ketat mesti dilewati. Dan pendakian menuju Puncak Gunung Everest menggenapi rangakaian ekspedisi luar biasa yang menorehkan sejarah gemilang ini.

Hilda bersyukur, misi yang diembannya tuntas sempurna. Meski banyak rintangan yang menghadang, mulai dari kesehatan yang terganggu, medan yang sulit, hingga cuaca ekstrim tiada henti ketika pendakian dilakukan. Dengan dukungan semua pihak, tempaat fisik dan semangat menggelora, semua aral bisa diatasi.

“Bendera Indonesia berkibar di tujuh puncak dunia! Keberhasilan ini kami persembahkan untuk persatuan bangsa! Untukmu Indonesia! Terima kasih banyak semua,” kata Hilda dalam pesan tertulis.

Baca juga: Daki Gunung Aconcagua, Tim Wanita Pendaki Unpar Coba Jadi Seven Summiters

 

Pendakian Gunung Everest merupakan rangkaian terakhir misi The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan. Foto: Facebook WISSEMU

 

Gunung dan ideologi

Di tanah air, gunung memiliki andil besar dalam pergulatan bangsa menuju tangga revolusi. Sebut saja, Soe Hok Gie seorang aktivis sekaligus pencetus kelompok mahasiswa pencinta kelestarian alam atau mapala di Universitas Indonesia kala itu.

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi apatis atau idealis. Saya sudah lama memutuskan untuk menjadi idealis sampai batas sejauh – jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya kalau terpatah-patah…,” tulis Soe Hok Gie dalam catatan harinya 20 Agustus 1968 yang kemudian dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran.

Baik Deedee maupun Hilda, keduanya miliki idealis versi sendiri sebagai pencinta alam. Tujuan menapakkan kaki di tujuh puncak dunia mirip Reinbold Messner, pendaki legendaris yang telah melakukan 100 perjalanan dan ekpedisi ke seluruh dunia.

“Selain menikmati keindahan alam. Di setiap perjalan kami pun belajar. Juga memperhatikan bagaimana soal pengelolaan dan manajemen pendakian di setiap gunung yang akan kami daki,” ujar Deedee.

 

 

Tekad kuat dan kejelian mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi, merupakan bekal tangguh yang harus dipersiapkan. Mendaki gunung bukan sekadar melangkahkan kaki menuju puncak. Namun, dibutuhkan juga persiapan matang dan kerja sama kolektif. Semisal, di Gunung Aconcagua ada badai dengan kecepatan hingga 90 kilometer per jam.

Atau, di Everest yang pada situasi tertentu kondisinya dapat membahayakan nyawa. Sehingga, tim akan mengabarkan pada tim pendukung di Bandung sebelum memulai perjalanannya, mengenai perjalanan yang penuh tebing berbatu dengan cuaca berangin.

 

Pukul 23.30 waktu Nepal, Mathilda dan Fransiska saat akan memulai pendakian dari C3 menuju puncak Everest. Langkah pertama dari ketinggian 8.225 m dpl menuju 8.848 m dpl. Foto: Facebook The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Parahyangan

 

Tantangan terakhir, sebelum mencapai puncak adalah Summit Ridge (8.800 m dpl), jalan setapak dengan sisi kiri dan kanan jurang yang terjal. Akhirnya, pukul 05.50 waktu Kathmandu, Nepal, atau jam 7:05 WIB, tim hebat ini menapakkan kakinya di Puncak Everest.

Puluhan kilometer dari Nepal, Rektor Universitas Parahyangan Bandung Mangadar Situmorang mengatakan bangga atas Deedee dan Hilda serta seluruh tim ekspedisi WISSEMU Unpar menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang mahasiswa dan mahasiswinya sukses menapaki 7 puncak tertinggi dunia.

 

 

Exit mobile version