Mongabay.co.id

Proyek PLTA di Hutan Batang Toru, Dibangun untuk Kepentingan Siapa?

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam sepekan terakhir menggelar aksi penolakan pembangunan proyek PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Batang Toru, di Sumatera Utara dan Jakarta. Proyek atas nama PT. North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE) ini dianggap berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan pada kawasan hutan primer seluas 1.400 hektar.

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, mengatakan aksi dilakukan agar proyek infrastruktur dan eksplorasi di Batang Toru, Sumatera Utara, yang diduga didanai Bank of China ini dihentikan.   “Selain mengancam ekosistem hutan, Batang Toru juga merupakan habitat 800 individu orangutan tapanuli yang statusnya Kritis.”

Dana menjelaskan, bentang alam Batang Toru merupakan hamparan hutan primer yang terletak di antara perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.   Lebih dari 100 ribu warga   menggantungkan hidupnya di hutan ini. Di hilir sungai, ada 1.200 hektar lahan pertanian produktif milik masyarakat yang terancam pembangunan PLTA PT. NSHE ini.  “Proyek harus segera dihentikan.”

 

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/Batangtoru.org

 

PLTA akan beroperasi 2022, sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik 2016. Secara teknis,   menurut Dana,   proyek ini hanya beroperasi saat terjadi puncak kebutuhan listrik. Konsumsi spesifik bahan bakar mencapai 0,24 liter per kWh dan tinggi jatuh air 276 meter.

Fase konstruksi dimulai akhir 2017,   meskipun penandatanganan kontrak NSHE dan PLN telah berlangsung 21 Desember 2015. Harga jual listrik sekitar 12,8574 sen Dollar AS per kWh,   sesuai persetujuan Menteri ESDM.

“Laporan   analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang dibuat perusahaaan,   mengabaikan keberadaan spesies yang terancam punah beserta dampaknya terhadap masyarakat yang tinggal di hilir sungai Batang Toru.   Lokasinya tidak cocok untuk bendungan PLTA besar,” ujar Dana.

Baca: Marak Kontroversi Pendirian PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli

 

Jika PLTA dibangun, kebutuhan air masyarakat sekitar akan terganggu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kepala Departeman Advokasi   Walhi Sumut,   Khairul Bukhari,   mengatakan   pembangunan   PLTA hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, bencana kepada masyarakat,   dan ancaman kehidupan orangutan tapanuli beserta satwa lainnya. “Pembangunan harus   dihentikan   sebelum terlambat,” ungkapnya.

Khairul menjelaskan, lokasi PLTA berada di lempengan gempa sesar Toru, patahan yang memiliki potensi gempa bumi.   “Paling penting adalah lokasi pembangunan berada di kawasan   nilai   konservasi   tinggi di Sumatera Utara,” terangnya.

Andy Harahap,   perwakilan masyarakat Sipirok, kedatangan PT. NSHE,   bukan menguntungkan,   tapi   merugikan   karena akan menghilangkan penghidupan masyarakat yang bergantung pada pertanian. “Masyarakat takut akan hal ini.”

Parlindungan Purba, anggota DPR RI, saat hadir dalam peluncuran buku Amfibi dan Reptil Hutan Batang Toru mengatakan, yang harus dilakukan untuk proyek ini adalah adalah mengawal Amdal yang dibuat perusahaan. Ini penting untuk menjaga lingkungan.

“Amdal harus dikawal, jika ini bobol, tidak tahu lagi harus bilang apa. PLTA tidak akan berjalan jika airnya tidak ada. Sementara air tidak akan mengalir jika hutan rusak,” jelasnya.

Baca: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

 

Warga desa yang hidup di sekitar kawasan hutan Batang Toru yang menggantungkan hidupnya dengan bertani kopi, padi dan coklat, sangat bergantung pada aliran sungai di Batang Toru untuk kebutuhan harian mereka. Foto: AyatS Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Lokasi penting

Graham Uhser, Geografic Information Sistem Specialist Planning – PanEco, menyatakan dirinya tidak anti tenaga hidro. Akan tetapi, proyek yang akan dibangun ini, lokasinya merupakan titik utama kekayaan dan keanekaragaman hayati Batang Toru.

“Banyak yang belum tahu bagaimana proyek ini berjalan. Bayangkan, ada bendungan air di atas. Misalkan, air disedot naik 12 meter untuk kebutuhan daya listrik, artinya air sungai akan turun. Jadi naik turunnya sungai baik di hulu dan hilir berpengaruh pada masyarakat sekitar karena jika sebelumnya mereka bisa pakai air sungai kapan saja, nanti tidak lagi karena ada waktu airnya kering,” jelasnya.

Graham mengatakan, dampak pembangunan ini cukup besar pada lingkungan jika tetap dilakukan, selain berada di wilayah kelola masyarakat sekitar hutan. “Proyek ini harus pindah, agar tidak merusak keanekaragaman hayati juga mengancam kehidupan masyarakat.”

Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli

 

 

Hamid Ar Rum Harahap,   pengurus Youth for Climate Change Sumatera Utara, menyatakan, berdasarkan pernyataan Deputi Manajer Strategi Pemasaran PLN Wilayah Sumut, Petrus Gading Aji, kondisi kelistrikan di provinsi ini sudah surplus 15 persen. Atau, 272 MW dari beban puncak yang mencapai 2.326 MW, untuk memenuhi sekitar 3,4 juta pelanggan listrik di Sumatera Utara.

Lantas, untuk kepentingan siapa PLTA ini dibangun?

 

 

Exit mobile version