Mongabay.co.id

Kedaulatan Negara Jadi Pokok Bahasan Utama dalam RUU Perikanan, Seperti Apa?

Sejumlah poin penting masuk dalam usulan revisi Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan yang kini sedang dibahas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Di antara yang paling menonjol, adalah tentang kedaulatan Negara.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (21/5/2018) mengatakan, dengan melakukan revisi, dia berharap kedaulatan bangsa di mata dunia bisa lebih kuat lagi. Untuk itu, dia menganggap bahwa revisi menjadi pilihan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh Indonesia. Menurut dia, kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan harus diperkuat segera.

Dengan memperkuat kedaulatan, menurut Susi, RUU harus bisa mengakomodasi kepentingan Negara untuk melaksanakan moratorium dan penenggelaman kapal asing. Jika itu sudah terwujud, maka upaya untuk menjaga Negara di wilayah perairan sendiri bisa lebih baik lagi dilakukan oleh instansi ataupun aparat Negara.

Upaya untuk memperkuat penjagaan di wilayah perairan, kata Susi, mendapat dukungan penuh dari Presiden RI Joko Widodo melalui penerbitan Peraturan Presiden No.44/2016 tentang Daftar Negatif Investigasi (DNI). Perpres tersebut, menjadi penerus dari aturan moratorium yang sudah diterbitkan KKP dan sudah berakhir.

“Ini menjadi komitmen bersama untuk menjaga perairan kita. Sekarang kita ingin berkomitmen untuk menjaganya dengan diperkuat Undang-Undang,” tuturnya.

baca : Pekerja Perikanan Indonesia Masih Diperlakukan Diskriminatif oleh Perusahaan?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (21/5/2018) mengatakan pentingnya revisi Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan antara lain terkait kedaulatan bangsa. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Jika nanti revisi disetujui menjadi UU, Susi berharap, para pelaku pelanggaran di wilayah perairan Indonesia bisa dihukum maksimal dari mulai nakhoda kapal, anak buah kapal (ABK) hingga para pemilik kapal. Dengan demikian, diharapkan efek jera akan bisa didapatkan para perlaku tersebut.

“Masalahnya, sampai sekarang Indonesia belum menghukum korporasi yang menjadi pemilik kapal-kapal pelaku pelanggaran. Akhirnya, sindikasi kejahatan internasional yang terorganisir itu bisa semakin berkembang dan meluas ke seluruh dunia,” sebut dia.

Susi mengungkapkan, dalam pembahasan RUU yang dilakukan bersama DPR RI, pihaknya mengajukan sedikitnya 10 poin pasal yang bisa diperkuat. Dari semua poin yang diajukan itu, terdapat poin penguatan untuk penutupan akses bagi pemodal, kapal, dan tenaga kerja asing untuk penangkapan sumber daya perikanan secara langsung.

Lebih jauh Susi mengatakan, tanpa adanya revisi UU Perikanan, KKP berhasil menegakkan aturan hukum di wilayah perairan dalam negeri. Tanpa ragu, dia menyebut ada 7.000 kapal asing mendapatkan efek jera dan enggan untuk kembali melaut di Indonesia. Di saat bersamaan, KKP menerapkan moratorium dan Perpres No.44/2016.

Hal yang juga menjadi sorotan Susi dan sudah diusulkan untuk masuk dalam revisi UU Perikanan, adalah aturan tentang wilayah operasi bagi kapal asing yang sebaiknya ada di luar zonasi 12 mil dari luar garis pantai Indonesia. Usulan itu dilakukan, semata-mata untuk menjaga keberlangsungan nelayan lokal yang ada di setiap pulau.

baca : Kejahatan Perikanan Sudah Melaju Semakin Jauh, Seperti Apa Itu?

 

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja (dua dari kanan) dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Senin (21/5/2018) mengatakan pentingnya revisi Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Poin Penguatan

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan nelayan. Kebijakan tersebut, sebaiknya dipertegas dalam peraturan perundang-undangan. Oleh itu, revisi UU Perikanan menjadi pilihan yang tepat untuk melanjutkan komitmen Negara dalam melindungi wilayah perairan laut dan segala hal di dalamnya.

“Melalui revisi, kita ingin juga nelayan dan industri dalam negeri bisa lebih diakui lagi dan lebih mandiri dengan memiliki sistem pengawasan yang lebih kuat,” ucapnya.

Secara garis besar, Sjarief mengungkapkan, revisi UU salah satunya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada nelayan dalam negeri lebih baik lagi. Nelayan yang dimaksud, terutama adalah nelayan keci yang memiliki kapal dengan ukuran di bawah 5 gros ton (GT) dan terbesar di seluruh pulau di Nusantara.

Menurut Sjarief, RUU Perikanan yang sekarang sedang dalam pembahasan di DPR RI, adalah salah satu usulan yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) untuk periode 2015-2019. Dengan fakta tersebut, RUU diharapkan sudah bisa disahkan menjadi UU paling cepat pada tahun ini dan paling lambat pada Januari 2019 mendatang.

baca : Sudahkah Perempuan Nelayan Diakui dalam Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Petugas PSDKP Pontianak tampak berkomunikasi dengan para ABK kapal asing berkebangsaan Vietnam. Foto: Putri Hadrian/Mongabay Indonesia

 

Tentang 10 poin pasal penguatan dalam RUU, Sjarief menyebutkan bahwa yang pertama adalah tentang larangan penanaman modal asing, penggunaan kapal asing dan penggunaan kapal yang dibangun di luar negeri. Yang kedua, tentang larangan menggunakan nakhoda dan ABK asing. Ketiga, tentang larangan alih muat kapal (transhipment).

Keempat, tentang pengaturan kerja sama internasional, yang mana akan dihapuskan konsep pengelolaan internasional bersama, namun menekankan pada kerjasama berbasis informasi dan teknologi. Kelima, tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemilik manfaat. Keenam, tentang pengakuan hak laut dan peran masyarakat dalam melindungi hak laut.

Kemudian, ketujuh tentang perlindungan hak asasi manusia untuk pekerja perikanan. Kedelapan, tentang penenggelaman kapal. Kesembilan, tentang larangan terkait plasma nutfah. Dan kesepuluh, adalah tentang pengaturan nelayan kecil.

Tentang poin penenggelaman kapal, Sjarief Widjaja mengatakan, pihaknya meminta ada penguatan dalam RUU untuk menjaga kedaulatan negara kesatuan RI (NKRI) dari praktik pencurian ikan. Penguatan harus dilakukan, karena setiap kali ada kapal yang terbukti mencuri ikan, KKP harus menunggu keputusan hukum dari pengadilan.

Cara tersebut, menurut Sjarief, walau bisa dilaksanakan, tetapi cukup menyita waktu yang tidak sebentar. Sementara, jika ada pembahasan tentang penenggelaman kapal dalam UU Perikanan yang baru, maka proses penenggelaman akan lebih cepat dilakukan tanpa harus menunggu keputusan inkrah dari pengadilan.

“Jadi bisa saja kita lakukan penenggelaman langsung di laut jika memang ada pelanggaran besar yang dilakukan kapal asing,” tegas dia.

Sjarief menambahkan, aturan penenggelaman kapal harus termaktub di dalam UU Perikanan yang baru, tidak lain karena laut adalah wilayah pengelolaan perikanan yang tidak dikerjasamakan dengan dunia internasional.

baca : Benarkah Akses Terbuka Data VMS Bisa Hancurkan Industri Perikanan Nasional?

 

Penenggelaman kapal asing

 

Tumpang Tindih

Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo di kesempatan yang sama mengatakan, RUU yang sedang dalam pembahasan dipastikan tidak akan terjadi tumpang tindih dengan perangkat hukum lain yang ada di Indonesia. Untuk itu, keberadaan UU Perikanan yang baru nanti akan melalui proses sinkronisasi dengan semua regulasi yang berkaitan dengan wilayah perikanan dan kelautan.

Tentang usulan yang diajukan KKP, Edhy memastikan bahwa itu semua akan diterima tetapi dengan syarat usulan tersebut bisa mengakomodir kepentingan nelayan dan pelaku usaha yang menjadi stakeholder di sektor kelautan dan perikanan. Tak lupa, setiap usulan yang masuk harus selalu memperhatikan faktor kelestarian alam di laut.

Walau memastikan akan menerima usulan dari KKP, Edhy mengingatkan bahwa KKP harus memiliki langkah preventif lain dalam menjaga sumber daya alam laut dari penangkapan ikan ilegal. Kata dia, langkah yang lama seperti penenggelaman kapal sebaiknya tidak dijadikan sebagai langkah yang utama bagi KKP.

“Ketentuan tentang penenggelaman kapal tetap akan dipertahankan,” tutur dia.

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Khusus untuk dunia usaha, Edhy juga menegaskan bahwa RU akan mengakomodir apa yang dibutuhkan oleh paara pelaku usaha, tetapi dengan syarat tetap mengedepankan kedaulatan negara dan perlindungan nelayan kecil. Dengan kata lain, DPR RI tidak ingin mengkhotomi antara pengusaha, nelayan, masyarakat pesisir, dan pengusaha.

“Kita wajib membela nelayan, masyarakat pesisir, tapi negara tetap butuh pengusaha, bagaimana negara menghubungkan pengusaha dan nelayan menjadi satu kesatuan, tidak ada yang menjadi korban,” kata dia.

Edhy mengatakan, saat ini draf RUU dalam tahap harmonisasi oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR dan harus diharmoniskan dengan UU No.23/2014 tentang Pemerintahan daerah, UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

 

Exit mobile version