Mongabay.co.id

‘Memanen’ Listrik Sambil Menjaga Hutan di Desa Non Blok

Di sebuah kawasan hutan tak jauh dari pemukiman warga, berdiri sebuah bangunan dengan deru mesin bergema di dalamnya. Bangunan tersebut adalah gardu turbin (power house) Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Non Blok, Kecamatan Kalaena, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Delapan tahun sejak didirikan, bangunan tersebut masih terjaga dengan baik. Mesin-mesin di dalamnya masih utuh. Kalaupun ada kerusakan, biasanya bisa cepat diperbaiki oleh pengelolanya.

“Kalau pun ada kerusakan berat biasanya tinggal ganti alatnya, cuma harus dibeli di Makassar dan Surabaya,” ungkap Mika Siampa (30), salah seorang pengelola PLTMH tersebut, awal April 2018 lalu.

Menurut Mika, alat yang sering rusak dan harus diganti setiap tahun adalah bearing atau laher. Alat ini rentan dengan kerusakan karena bekerja di dalam air. Alat lainnya adalah puly, yang sudah mengalami beberapa kali pergantian.

Peralatan yang ada di PLTMH harus selalu dikontrol dan dirawat. Mesin bisa tiba-tiba mati menyebabkan sebagian desa menjadi gelap gulita di malam hari.

“Biasanya mesin sering mati di musim hujan karena saluran air tersumbat. Baik itu oleh ranting ataupun dedaunan yang terbawa dari sungai,” ungkap Mika.

baca : Tri Mumpuni, Terangkan Daerah Terpencil dengan Energi Air dan Angin

 

Gardu PLTMH di Desa Non Blok, Kalaena, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang dibangun sejak tahun 2010 lalu. PLTMH di desa ini masih terjaga dengan baik dan tetap digunakan warga meski PLN telah masuk. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Saluran air sepanjang sekitar 100 meter dengan lebar 1,5 meter itu di ujungnya terdapat dam. Gunanya untuk mengontrol aliran air masuk ke pembangkit. Di depan dam ini terdapat saringan (sand trap) yang berfungsi menyaring kotoran-kotoran atau sampah-sampah yang terbawa air dari sungai.

PLTMH di Desa Non Blok ini adalah 1 dari 7 lokasi PLTMH yang dibangun oleh Dinas ESDM Kabupaten Luwu Timur pada 2010 lalu. Listrik PLN sendiri saat itu belum bisa menjangkau dan masih dalam tahap penjajakan. Keadaan masih gelap gulita.

“Dulu desa kami ini sangat terpencil, akses transportasi pun susah tidak seperti sekarang,” ungkap Suryadi, Kepala Desa Non Blok.

Berbeda dengan lokasi lain, PLTMH Desa Non Blok ini masih bertahan hingga sekarang. Jika di awal adanya PLTMH dengan kapasitas 22 ribu kwh ini jumlah rumah yang dialiri mencapai 290 rumah atau seluruh rumah yang ada di desa tersebut, maka sekarang jumlah pelanggan hanya sebanyak 90 rumah saja. Khusus untuk keluarga yang kurang mampu.

Kelemahan PLTMH adalah tegangan atau voltase yang tidak stabil dan tidak tetap, jika dari PLTMH keluar dengan tegangan 220 volt, maka ketika sudah menjangkau rumah-rumah tegangannya semakin berkurang seiring dengan semakin jauhnya rumah dari PLTMH.

Dalam kondisi pemakaian normal, sekedar penerangan lampu dan TV biasanya tak ada masalah. Hanya saja di waktu-waktu tertentu, khususnya di saat pemakaian puncak listrik akan menjadi redup.

“Kalau rumah terdekat dengan PLTMH biasanya nyalanya akan terang sekali, maka rumah terjauh mulai redup dan tak stabil. Apalagi kalau pemakaian banyak dan serentak,” jelas Suryadi.

baca : Desa-desa Ini Penuhi Energi dari Sumber Lokal Ramah Alam

 

Satu rumah dengan dua aliran listrik di di Desa Non Blok, Kalaena, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Listrik dari PLTMH tidak memiliki meteran sehingga pemakaian listrik tidak bisa diatur dan dikontrol. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Di tahun 2015, ketika listrik dari PLN mulai masuk, sebagian besar rumah beralih ke listrik PLN. Rumah yang bertahan umumnya keluarga yang tak mampu. Untuk pemasangan instalasi listrik dari PLN di rumah-rumah butuh biaya pemasangan instalasi yang cukup besar, yaitu Rp2,8 juta. Iuran bulanan pun cukup besar dan terus mengalami peningkatan.

Kelebihannya adalah dayanya yang stabil, sementara listrik PLTMH cenderung tak stabil, kekuatannya semakin berkurang jika rumah jauh dari gardu.

“Kalau listrik PLTMH itu biasanya tidak kuat untuk pemakaian kulkas. Malah bisa bikin rusak kulkas. Makanya banyak yang kemudian beralih ke listrik PLN. Yang bertahan listrik PLTMH karena kebutuhannya juga memang tak banyak, hanya untuk penerang saja,” jelas Suryadi.

Ketika listrik PLN mulai masuk, sempat ada pertanyaan dari pihak PLN terkait keberadaan PLTMH tersebut, namun pemerintah desa setempat kemudian bisa meyakinkan bahwa keberadaan PLTMH tersebut tidak akan mengganggu suplai listrik PLN secara signifikan.

Terbukti kemudian, antusias warga untuk listrik PLN cukup besar. PLN juga dinilai tidak bisa mengabaikan listrik PLTMH karena dibangun pemerintah menggunakan APBD, bukan dari swadaya masyarakat. Apalagi kemudian dari segi aliran listrik menggunakan instalasi yang berbeda.

“Tak ada alasan PLN untuk menolak keberadaan PLTMH tersebut,” jelas Suryadi.

Ketika listrik PLN masuk, sebagian besar warga yang pindah aliran ke listrik PLN langsung membeli perangkat-perangkat elektronika, seperti mesin cuci, rice cooker, dan lainnya. Pemakaian listrik warga rata-rata Rp100 – Rp200 ribu per bulan, dengan menggunakan listrik pra bayar.

Belakangan penggunaan listrik pra bayar ini sarat dengan masalah. Tagihan listrik Suryadi pernah mencapai Rp300 ribu – Rp400 ribu per bulan. Tagihan menjadi normal setelah ia komplain ke PLN, yang kemudian melakukan perbaikan pada meteran listriknya.

Menurut Mahyuddin, pejabat penanggungjawab pembangunan PLTMH ini dari Dinas ESDM Luwu Timur, tak semua PLTMH tersebut bisa bertahan hingga sekarang, seperti halnya di Desa Non Blok. Kendalanya pada perilaku masyarakat dalam menggunakan listrik secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan pada dinamo.

“Banyak yang dinamonya jebol karena kelebihan kapasitas meski sudah digunakan pembatas. Masalah lain adalah penentuan lokasi yang tidak tepat, ini yang perlu dievaluasi studi dan DED yang akurat khususnya tentang debit air. Banyak lokasi yang jika musim kemarau airnya berkurang sehingga PLTMH tidak bisa digunakan,” katanya.

baca : Pangan sampai Listrik di Nagari Ini dari Hutan yang Terjaga

 

Dam dengan stand trap harus rutin dibersihkan, khususnya di musim hujan, dari sampah-sampah berupa ranting dan dedaunan yang terbawa aliran sungai. Lokasi PLTMH di Desa Non Blok, Kalaena, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, berada di kawasan hutan yang termasuk dalam cagar alam Faruhempanai dan sebagian kawasan perkebunan sawit PTPN. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, keberadaan PLTMH ini masih dibutuhkan masyarakat di Luwu Timur, khususnya untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau jaringan PLN dan memiliki potensi untuk pembangunan PLTMH. Apalagi di Lutim sendiri masih terdapat sejumlah daerah yang tak terjangkau listrik khususnya di daerah pesisir pegunungan.

Tantangan pembangunan PLTMH ini sendiri adalah keterbatasan anggaran dan sinkronisasi program listrik desa oleh PLN dengan pemerintah daerah yang perlu ditingkatkan.

Setelah Dinas ESDM kabupaten dihapuskan, penanggung jawab pengelolaan dan pengawasan PLTMH ada pada Dinas Transmigrasi dan Pemukiman (Tarkim). Tanggung jawab pengadaan untuk PLTMH ini tidak lagi berada di kabupaten tetapi di provinsi dan pusat.

“Sekarang pengadaan PLTMH dan peningkatan kapasitas PLTMH masih bisa dilakukan namun pengusulannya ke provinsi dan pusat. Daerah hanya bisa memasilitasi saja. Kita juga akan membantu mendorong adanya bantuan ini dari provinsi dan pusat,” katanya.

Suryadi sendiri berharap program PLTMH ini tetap dipertahankan, termasuk di daerah yang listriknya telah ada, seperti Desa Non Blok. Kalau perlu ada peningkatan daya hingga 50 ribu kwh.

“Kita sudah rasakan manfaat PLTMH ini sangat besar bagi masyarakat. Bagaimana dulu desa ini gelap gulita lalu menjadi terang sejak adanya listrik PLTMH, dan semakin terang dengan masuknya listrik dari PLN. PLTMH masih harus ada karena tidak semua warga mampu membeli kwh dari PLN. Ini sangat membantu masyarakat miskin di sini,” katanya.

Keberadaan PLTMH ini juga dinilai berdampak positif bagi terjaganya hutan di sekitar desa tersebut yang berbatasan dengan kawasan hutan cagar alam marga satwa Faruhempanai.

“Di sekitar hutan sini masih sering kita lihat Anoa dan Rangkong. Selama PLTMH ada maka hutan ini akan selalu terjaga,” katanya.

 

Exit mobile version