Mongabay.co.id

Wilayah Pertambangan Rakyat Digadang Jalan Keluar PETI, Nyatanya?

Sejumlah barang bukti di lokasi penambangan emas tanpa izin disita,. Foto: Dok. Polda Kalbar

“Dampak dari PETI (penambangan emas tanpa izin) sungguh destruktif. Tidak saja pada lingkungan, tapi para penambang itu sendiri,” tukas Inspektur Jenderal Polisi Didi Haryono, di Gedung Balai Petitih, Kantor Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, 17 Mei 2018. Di sampingnya, Pjs Gubernur Kalimantan Barat, Doddy Riyadmadji, menganggukkan kepala seraya menebar pandangan ke seluruh ruangan.

Hari ini adalah rapat koordinasi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kalbar. Selain Doddy dan Didi, turut duduk di meja depan; Komandan Pangkalan Udara Supadio, Marsekal Pertama TNI Minggit Tribowo, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar Sugiyono, Kepala Pengadilan Tinggi Kalbar Suripto, dan perwakilan dari Kodam XII Tanjungpura.

Di ruangan, hadir seluruh jajaran penegak hukum beserta kepala daerah se-Kalimantan Barat. Rapat ini diinisiasi Polda Kalbar. Mengingat, dua bulan lalu operasi PETI yang dilakukan berujung unjuk rasa, yang tak lain para penambang. Di Kabupaten Kapuas Hulu, aksi hingga merusak gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penertiban PETI merupakan operasi kewilayahan yang dilakukan seluruh jajaran Polda Kalbar. Dilakukan dari 10 hinggal 23 April 2018. Polisi menetapkan 230 tersangka dari 96 kasus yang terungkap. Turut disita 70 barang bukti, diantaranya 48 mesin dompeng.

Kasus terbanyak ditangani Polres Sintang (18 kasus), menyusul Polres Ketapang (14 kasus). Polres Bengkayang (12 kasus), Ditreskrimsus (10 kasus), Polres Sanggau (9 kasus), Polres Landak dan Kapuas Hulu masing- masing 8 kasus. Sementara Polres Melawi (4 kasus), Singkawang dan Sambas (4 kasus), dan Polres Mempawah (2 kasus).

Penindakan yang paling menonjol terjadi di Desa Capkala, Kecamatan Capkala dan Desa Goa Boma, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang. Dua lokasi tersebut merupakan ‘langganan’ penambangan emas ilegal. Polisi mengamankan 67 tersangka dari delapan kelompok.

Baca: Kisruh Tambang Emas Rakyat Tak Berujung di Kalimantan Barat

 

Operasi penertiban tambang tanpa izin dilakukan Polda Kalbar untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih luas. Foto: Dok. Polda Kalbar

 

Belum hilang dari ingatan, penghujung 2014 ditutup dengan tragedi tewasnya 18 penambang emas di kawasan Monterado. Beberapa korban bahkan tak bisa dievakuasi dari lokasi longsor, di kedalaman lubang hingga 20 meter. Para penambang tidak ada yang menggunakan pengaman. Setiap hari mereka terpapar air raksa atau merkuri yang digunakan untuk mengikat atau memurnikan emas.

Aktivitas ini kembali terjadi, walau operasi penertiban selalu dilakukan saban tahun. “Cukong yang untung. Mereka memanfaatkan warga yang tidak mempunyai alternatif pekerjaan,” tambah Didi.

Dari penyidikan polisi, rata-rata pekerja mendapat lima hingga enam gram emas per hari yang dijual ke pemilik tambang sekitar Rp300 ribu. Selanjutnya, emas dijual ke pengepul yang kemudian dijual ke beberapa toko di Kota Pontianak. Rata-rata, toko yang mengambil emas dari pengepul, mempunyai alat peleburan emas sendiri. Di sinilah emas-emas tersebut menjadi perhiasan.

Polisi meminta pemerintah Kalimantan Barat memberikan solusi untuk penanganan PETI. “Tindakan refresif adalah jalan terakhir,” katanya.

Polisi telah menempuh berbagai cara untuk memutus rantai sindikat penambangan emas ilegal. Maret lalu, sebuah dump truck yang sarat muatan ditangkap Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalbar. Isinya lima ton bahan bakar minyak jenis solar subsidi. Disinyalir solar tersebut untuk para penambang di sekitar Kota Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang.

Polisi juga menggerebek sebuah toko emas di Kabupaten Sintang dengan barang bukti 15 kilogram emas batangan, diduga dari penambangan tanpa izin, akhir 2017 lalu. Emas senilai Rp8 miliar tersebut terdiri dari 21 batangan, dan 47 bulatan.

Keberadaan sindikat penyelundupan merkuri bukan sekadar gosip warung kopi. Pada 2017, Polda Kalbar pernah menggulung penyelundup merkuri impor asal Kirgistan sebanyak 285 kilogram. Pelakunya tiga warga Kalbar. “Hasil rakor adalah membentuk satuan tugas penanganan PETI, salah satunya menyelidiki keberadaan sindikat pemasok merkuri ini,” tukas Didi.

 

 

Beda aturan

Sebagai Pejabat sementara Gubernur Kalimantan Barat, Doddy Riyadmadji menyadari punya keterbatasan. Tapi dia setuju terobosan baru mengatasi PETI. “Rakyat hanya ingin mengisi perut saja,” ujarnya. Toh, sudah ada aturan mengenai pembentukan wilayah pertambangan rakyat (WPR).

Menurut Pasal 1 ayat 32 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian dari Wilayah Pertambangan dimana kegiatan usaha pertambangan rakyat dilakukan.

Dalam aturan itu, disebutkan penetapan WPR oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Di pasal 22 dari UU Minerba mencantumkan, beberapa kriteria untuk menetapkan WPR diumumkan kepada masyarakat secara terbuka oleh bupati/walikota setempat.

Kriteria yang dimaksud antara lain; mengatur adanya cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; adanya cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; serta wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.

Belakangan, terbit Undang Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku mulai Oktober 2016. Dalam perundangan yang baru, pemerintah provinsi mengambil-alih izin usaha pertambangan (IUP) dari tangan pemerintah kabupaten. Regulasi baru mensyaratkan batas waktu pelimpahan administrasi dari kabupaten ke provinsi adalah dua tahun sejak diundangkan atau tanggal 2 Oktober 2016.

Dasar hukum batas waktu itu mengacu pada pasal 404 yang menyebutkan serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian urusan pemerintah antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama 2 tahun.

Beberapa kepala daerah menyebutkan regulasi hukum yang baru menjadi batu sandungan pembentukan wilayah pertambangan rakyat. Mereka menilai, pemindahan kewenangan menyebabkan rentang birokrasi yang panjang. Pemindahan kewenangan juga menyebabkan keterlambatan proses perijinan yang akan berdampak pada turunnya hasil tambang dan dana bagi hasil kabupaten/kota.

Doddy meminta kepala daerah kabupaten/kota berkoordinasi dengan legislatif serta dinas terkait untuk masalah perizinan dan wilayah tambang. Tentunya, penetapan WPR tidak serta merta pada lokasi-lokasi yang saat ini ilegal. “Harus dipenuhi dulu indikatornya. Pemerintah provinsi akan mendorong instansi terkait merumuskan jalan keluar,” katanya. Masalah PETI ini sudah menjadi persoalan sosial yang tak kunjung selesai dalam 30 tahun terakhir.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Barat Adi Yani, mengatakan, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata mengenai merkuri melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2017. “Penambang emas skala kecil merupakan penguna merkuri terbesar. Namun setelah menjadi WPR, bukan artinya penggunaan merkuri juga legal,” kata Adi. Penambang emas skala kecil nantinya harus mengadopsi cara menambang tanpa merkuri. Untuk membentuk WPR pun harus didahului dengan rencana kerja yang matang, dari hulu hingga hilir.

Anggota DPRD Kalbar, Tanto Yacobus, menyatakan, pemerintah daerah setempat harus membuka lapangan kerja sebagai solusi, agar warga tak lagi jadi penambang liar. “Pemerintah juga harus memikirkan pembagian WPR tersebut, bukan tidak mungkin bisa menimbulkan konflik baru.”

Penegakan hukum dengan jeratan pasal maksimal, diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku PETI. Pelaku dapat diganjar hukuman penjara 10 tahun, denda sebanyak Rp10 miliar.

“Aturan cara menambang emas harus jelas. Soalnya, cukup sulit mengandalkan teknik menambang zaman nenek moyang dulu,” ujarnya. Suku Dayak mulai ikut menambang ketika mengetahui potensi ekonominya. Itu pun hanya menggunakan cara mengayak. Cara yang sulit diterapkan di era ini, lantaran tuntutan pasar akan emas yang cukup tinggi.

 

Sejumlah barang bukti di lokasi penambangan emas tanpa izin disita. Foto: Dok. Polda Kalbar

 

Catatan Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2015 memberikan catatan masalah PETI di Kalbar yang marak karena dimanfaatkan dan dikelola secara baik oleh negara. “PETI dibiarkan sehingga mengundang lebih banyak orang untuk menambang, berikut para pemodal atau cukong,” ungkap Mimin Dwi Hartono, penyelidik Komnas HAM.

Komnas HAM menduga, PETI di Kalbar dilakukan sistematis dan berjejaring antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, melibatkan kekuatan modal yang besar. “Negara diduga telah melakukan pembiaran sehingga mengakibatkan kerusakan dan kerugian material dan non-materiil karena terjadi puluhan tahun.”

Komnas HAM menyoroti adanya ketidakadilan pada para penambang yang harus bertaruh nyawa mencari emas, dibayar murah pula. Emas ditadah oleh para pemodal dan cukong kemudian diolah menjadi emas batangan atau perhiasan. “Keuntungan yang didapat cukong sangat besar karena tidak perlu bayar pajak.”

Tewasnya puluhan warga di Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang, dan Kabupaten Ketapang sepanjang 2014 hingga 2015, adalah puncak gunung es permasalahan PETI. Negara telah lalai sehingga puluhan orang kehilangan haknya untuk hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik yang sehat sebagaimana dijamin Pasal 9 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 

 

Exit mobile version