Mongabay.co.id

Nasib Kru Kapal Nelayan Tradisional dari Langkat Masih Misterius di Malaysia

Nasib kapal ikan berbendera Indonesia yang ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia (APPM) pada Januari lalu, hingga kini masih belum jelas rimbanya. Keenam kru kapal bernama Juanda yang terdiri dari seorang nakhoda dan enam orang anak buah kapal (ABK) itu, hingga saat ini atau lima bulan setelahnya juga tidak diketahui keberadaannya.

Kapal beserta krunya tersebut, diketahui ditangkap di perbatasan Malaysia dan Indonesia. Adapun, keenam kru kapal tersebut, diketahui adalah penduduk Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Informasi tersebut didapat dari salah seorang anggota keluarga kru kapal, Yusnani. Dia mendapat pendampingan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) untuk mengusut kasus tersebut.

Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, nakhoda kapal yang ikut ditangkap diketahui bernama M Fahrol Razi dan berusia 20 tahun. Sementara, kelima ABK yang juga ikut ditangkap, hingga saat ini belum diketahui identitasnya secara rinci. Keenam orang tersebut, statusnya hingga saat ini masih misteri.

“Sekarang sudah masuk bulan Ramadhan dan (masih) tidak ada kejelasan status keberadaan dan keamanan enam nelayan tersebut,” ungkap dia di Jakarta, pekan ini.

baca : Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?

 

Kapal penangkap ikan berbendera Malaysia yang ditangkap kapal pengawas perikanan KP KP Hiu 12 pada 12 November di Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Agar misteri keberadaan enam nelayan tersebut bisa diungkap, Marthin mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera menangani langsung kasus tersebut dan memberikan pendampingan kepada keluarga korban. Kehadiran Negara, dinilainya menjadi sangat penting karena kasus tersebut terjadi di Malaysia.

Marthin menjelaskan, nakhoda kapal diketahui berasal dari Babalan Gang Sampan, Kelurahan Berantan Timur, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat. Dia bersama lima anak buahnya ditangkap oleh APPM karena diketahui sudah melakukan aktivitas penangkapan ikan di Selat Malaka yang menjadi wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) sekaligus perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.

Dari informasi yang didapatkan dari sumber terpercaya, Marthin menyebutkan, keenam kru kapal yang ditangkap mendapat hukuman antara empat hingga lima bulan di Malaysia. Tetapi, hingga sekarang yang sudah memasuki bulan kelima, belum ada informasi apapun atau kejelasan terkait status hukum keenam orang tersebut.

“Bahkan sampai hari ke-5 hari di bulan Ramadhan mereka belum dipulangkan ke keluarga mereka masing-masing. Menurut keterangan keluarga korban, mereka masih berada di tempat penampungan ‘Cam Zero’ dan menunggu untuk dipulangkan dengan waktu yang belum jelas adanya,” paparnya.

baca : Polisi Air Tangkap Kapal Nelayan Berdokumen Malaysia yang Asik Mencuri Ikan

 

Kapal Malaysia ini ditangkap Kapal Pengawas Perikanan Hiu Macan 01 karena mencuri ikan di perairan Indonesia dan tidak dilengkapi dokumen sah serta menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang. Foto: Putri Hadrian/Mongabay Indonesia

 

Berkirim Surat

Ketua DPD KNTI Kabupaten Langkat Tajruddin Hasibuan menambahkan, pihaknya sebelum ini sudah mengirimkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo. Surat bernomor: 008K/KNTI-LKT-UT/012018 itu berisi tentang Laporan Tertangkap Dan Minta Di Pulangkan Segera pada 19 Januari 2018. Di dalam surat tersebut, dijelaskan laporan dari keluarga nelayan tradisional di perbatasan yang menjadi korban penangkapan aparat Malaysia.

“Namun hingga surat ini kembali kami teruskan tidak ada kejelasan atas penanganan kasus tersebut sehingga kemudian ternyata telah dikenakan hukum terhadap enam pelaku nelayan tradisional,” tuturnya.

Tajruddin menambahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No.37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Negara wajib memberikan perlindungan kepada warga negara yang sedang bermasalah. Selain itu, Negara juga wajib memberikan bantuan kepada warga negara bersangkutan.

Dalam UU tersebut, ditegaskan juga, jika ada warga negara yang sedang menghadapi ancaman bahaya, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. Kemudian, di dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, ditegaskan lagi tentang kewajiban tersebut.

“Nelayan tradisional skala kecil wajib diberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi nelayan yang mengalami permasalahan penangkapan ikan di wilayah negara lain,” tandasnya.

baca : Malaysia Jadi Pemasok Utama Peledak Bom Ikan di Indonesia?

 

Proses pemulangan lima dari tujuh nelayan warga Desa Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada 26 Mei 2017. Mereka merupakan ABK KM Koguno yang berbendera Indonesia dan ditangkap oleh otoritas Australia karena tuduhan melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa ijin di perairan Australia. Foto : Dirjen PSDKP KKP

 

Dengan fakta tersebut, Tajruddin mengatakan, KNTI mendesak Kementerian Luar Negeri beserta jajarannya untuk memastikan keberadaan M Fahrol Razi bersama lima ABK dan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia dan Konsulat Jendral Indonesia di Malaysia. Kemudian, Negara harus mempercepat upaya pembebasan nelayan tradisional Indonesia yang telah ditahan sejak 18 Januari 2018.

Desakan berikutnya, Negara wajib memastikan pemenuhan hak asai mendasar bagi keluarga korban yang hingga saat ini tidak mendapatkan nafkah ekonomi setelah M Fahrol Razi ditangkap aparat Malaysia. Kemudian, segera lakukan penyelesaian masalah perbatasan wilayah laut antara Indonesia dengan Malaysia.

“Terakhir, Negara wajib memperkuat infrastruktur pengawasan perbatasan untuk memastikan perlindungan nelayan tradisional Indonesia di perbatasan,” pungkas dia.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati sebelumnya sudah mengatakan bahwa Negara wajib hadir di tengah masyarakat pesisir. Kehadiran Negara, di antaranya untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai ancaman yang datang silih berganti kepada masyarakat di kawasan tersebut.

Ancaman tersebut, kata Susan, bisa berupa kriminal, kesejahteraan, sosial, dan lainnya. Yang paling mendasar, masyarakat pesisir saat ini banyak yang terancam akan kehilangan ruang penghidupannya di laut. Fakta tersebut, sangatlah miris mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang tak bisa dilepaskan dari struktur masyarakat pesisir.

“Tak hanya itu, masyarakat pesisir kemudian semakin tersudutkan karena menghadapi berbagai ancaman setelah pembangunan ramai dilaksanakan di wilayah pesisir,” sebutnya.

baca : Indonesia Pulangkan Nelayan Muna yang Ditangkap di Australia

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Agar masyarakat pesisir bisa tetap bertahan hidup dengan rasa aman dan nyaman, Susan menyebut, Negara harus hadir untuk mendampingi, memberdayakan, dan sekaligus menjamin hak-hak konstitusional mereka. Proses tersebut, diyakini bisa memberi kekuatan untuk masyarakat pesisir dalam menghadapi berbagai tekanan dan ancaman.

Akan tetapi, menurut Susan, walau sangat dibutuhkan kehadirannya, hingga saat ini Negara masih belum terlihat hadir dan memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir. Padahal, dalam konteks tersebut Negara wajib untuk selalu hadir mendampingi.

 

Pengakuan Nelayan

Lebih jauh Susan menerangkan, ketidakhadiran Negara bisa juga dilihat dari pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.

“Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, hanya dua persen saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan,” tuturnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Susan mengatakan, pemberian asuransi nelayan yang menjadi mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, hingga saat ini baru diberikan sekitar 143.600 asuransi kepada nelayan. Padahal, pemerintah telah menargetkan 1 juta asuransi nelayan.

baca : Kenapa Masih Ada Nelayan yang Belum Tahu tentang Perlindungan Asuransi?

 

Nurlina kini memiliki kartu nelayan sebagai bukti dia nelayan yang sah dan dijamin pemerintah. Ia berusaha agar para perempuan nelayan lain bisa mendapatkan kartu itu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Susan memaparkan fakta ketiga bahwa Negara tidak hadir di masyarakat pesisir, adalah berkaitan dengan kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.

“Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” tandas dia.

Berdasarkan peta persoalan tersebut, KIARA meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir dan mengimplementasikan amanat UU No.7/2016.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2017 mencatat jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari seluruh desa tersebut, tercatat ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

Susan mengatakan, jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

“Permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu permasalahan yang bersumber dari alam, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan permasalahan sosial ekonomi politik,” tegasnya.

 

Exit mobile version