Mongabay.co.id

RUU Masyarakat Adat Versi DPR Berpotensi Hilangkan Keberadaan Masyarakat Adat

Pemerintah bersama dengan DPR RI masih membahas Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA).

Meski dari proses legislasi mengalami kemajuan, tetapi dari segi substansi, RUU-PPMHA versi DPR RI dinilai berpotensi menghilangkan keberadaan masyarakat adat, bertolak belakang dengan semangat konstitusi tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Sebagaimana diketahui, setelah gagal ditetapkan menjadi Undang-undang hingga akhir masa sidang DPR RI Periode 2009-2014, pada 2017, RUU-PPMHA secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR RI.

Pada 12 Februari 2018 Ketua DPR telah menyampaikan surat Nomor LG/03105/DPR RI/2018 kepada Presiden RI sebagai RUU inisiatif DPR RI untuk dibahas bersama pemerintah.

Pada 9 Maret 2018, Presiden mengeluarkan Surat Perintah Presiden (SUPRES) melalui Kementerian Sekretariat Negara No.B-186/M.Sesneg/D-1/HK.00.03/03/2018 tentang pembentukan tim pemerintah yang akan membahas RUU-PPMHA bersama DPR RI.

Tim pemerintah dikoordinir oleh Menteri Dalam Negeri, beranggotakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Desa/Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Menteri Hukum dan HAM.

baca : Akhirnya, Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

 

Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan masukan kepada DPR RI dalam suatu kesempatan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Masyarakat Adat. Foto: Muhammad Arman/AMAN/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam paparannya kepada Mongabay, Senin (21/5/2018) menyampaikan enam catatan kritis tentang RUU Masyarakat Adat versi DPR ini.

Pertama, terkait judul RUU tentang Masyarakat Adat. Menurut Arman, mendefinisikan masyarakat adat sebagai subjek hukum harusnya mengacu pada dua istilah sebagai rujukan pokok di dalam konstitusi, yaitu istilah Masyarakat Hukum Adat (Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945) dan istilah Masyarakat Tradisional (Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945).

Menurutnya, kedua istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan dua pendekatan dalam konstitusi mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta hak-haknya, yaitu pendekatan fungsional sebagaimana diinginkan oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, dan pendekatan berbasis HAM dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta hak-haknya sebagaimana diinginkan oleh Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945.

“Dalam konteks di mana konstitusi sendiri mengenal dua istilah sebagaimana disebutkan itu, maka harus ditemukan suatu istilah yang mengakomodasi dua maksud dalam dua istilah tersebut. Karena itu, istilah ‘masyarakat adat’ harus dipertimbangkan untuk dipakai di dalam RUU Masyarakat Adat. Istilah ini juga sudah diterima secara sosial,” katanya.

Dari draf awal yang diserahkan oleh Fraksi Nasdem sebagai inisiator, draf RUU berjudul RUU tentang Masyarakat Adat, bukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana draf yang akan dibahas oleh DPR bersama pemerintah.

“Sehingga AMAN kemudian mengusulkan agar judul RUU yang digunakan adalah RUU tentang Masyarakat Adat,” tambah Arman.

baca : Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

 

Masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten Jayapura. Danau Sentani dan Cycloop menjadi bagian dari identitas kultur masyarakat. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Kedua, terkait proses penetapan/pendaftaran yang seharusnya mudah bagi masyarakat adat, murah bagi pemerintah, dan hasilnya legitimate.

Menurut Arman, proses penetapan/pendaftaran masyarakat adat melalui keputusan Mendagri terlalu birokratis dan menyulitkan masyarakat adat. Sehingga AMAN menginginkan suatu proses penetapan/pendaftaran yang mudah bagi masyarakat adat, dengan meletakkan proses identifikasi dan verifikasi pada dua hal utama penanda keberadaan masyarakat adat yaitu identitas budaya dan wilayah adat.

“Penetapan atau pendaftaran seharusnya dibuat lebih sederhana yaitu cukup dengan Keputusan Bupati dan Keputusan Gubernur berdasarkan kewenangannya masing-masing. Agar hasilnya legitimate haruslah mendapat persetujuan dan validasi bersama antara komunitas masyarakat adat, pemerintah dan pihak terkait lainnya.”

Ketiga, perlu menghapus “Bab Mengenai Evaluasi” dari draf yang ada saat ini. Dalam Pasal 20 dan 21 RUU Masyarakat Adat, menyatakan bahwa masyarakat adat yang telah ditetapkan akan dievaluasi keberadaannya setiap 10 (Sepuluh) tahun pasca penetapannya oleh pemerintah.

Menurut Arman, hasil akhir dari Evaluasi tersebut memungkinkan “Penghapusan” keberadaan masyarakat adat dan tanah adat kembali menjadi tanah negara.

Pengaturan mengenai evaluasi keberadaan masyarakat adat dinilai bertentangan dengan semangat pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam Konstitusi Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

“Oleh karena itu ketentuan mengenai ‘Evaluasi Masyarakat Adat’ tidak perlu ada dan harus dihapus dari RUU Masyarakat Adat yang akan dibahas oleh DPR bersama Pemerintah.”

baca : Pemerintah Diminta Jeli Menyusun RUU Masyarakat Adat

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Keempat, perlu menambahkan klausul mengenai hak masyarakat adat atas “Rehabilitasi dan Restitusi”.

Menurut Arman, persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini, tidak dapat dilepaskan dari pelanggaran HAM di masa lalu. Pelanggaran HAM masa lalu itu berupa tindakan diskriminasi, kekerasan, perampasan sumber daya alam, penggusuran, yang dilakukan oleh Negara dan atau pihak lain. Sehingga masyarakat adat berhak mendapat hak atas rehabilitasi dan restitusi.

“Pengaturan lebih lanjut mengenai hak atas rehabilitasi dan restitusi akan dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau setidak-tidaknya UU Masyarakat Adat memandatkan adanya pengaturan mengenai tata cara pemberian hak atas rehabilitasi dan restitusi melalui Peraturan Pemerintah,” tambahnya.

Kelima, perlunya membentuk satu lembaga di tingkat nasional yang mengurusi masyarakat adat. Isu kelembagaan menjadi salah satu isu sentral dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Menurut Arman, selama ini hukum dan kebijakan seringkali menjadi sumber dari pengambilalihan hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alam lainnya. Hukum dan kebijakan juga menjadi penyebab dari hancurnya hukum dan pranata pemerintahan yang sudah lama hidup dan berkembang di dalam komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara.

“Atas dasar pikir itulah AMAN mengusulkan adanya suatu lembaga negara yang secara khusus ditujukan untuk mengaktualisasi pengakuan dan perlindungan atas masyarakat adat dan hak-hak nya.”

Dalam RUU Masyarakat Adat versi AMAN, lembaga negara yang diusulkan itu bernama “Komisi Masyarakat Adat” yang berkedudukan di tingkat nasional.

Komisi Masyarakat Adat yang dimaksud oleh AMAN dilekati dengan beberapa kewenangan yang memungkinkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dapat dijalankan.

Kewenangan-kewenangan itu antara lain melaksanakan pendataan dan pengkajian, melaksanakan verifikasi atas keberadaan masyarakat adat dan hak-hak nya, melaksanakan sosialisasi dan konsultasi kebijakan, mengembangkan standar pengakuan dan perlindungan secara nasional, menyelenggarakan pendidikan dan penyuluhan, melaksanakan pemantauan, dan memfasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik.

baca : Menanti Gerak Cepat DPR Rampungkan RUU Masyarakat Adat

 

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, draf RUU inisiatif DPR-RI hanya mengakomodasi satu lembaga yang disebut dengan Panitia Masyarakat Hukum Adat. Panitia ini dibentuk pada tingkat Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Panitia ini pun hanya menjalankan satu kewenangan yaitu melakukan verifikasi atas keberadaan masyarakat adat dan hak-hak nya.

“Dengan demikian, maka jika RUU versi DPR disahkan sebagai UU, persoalan pokoknya masih belum tuntas, yaitu persoalan sektoralisasi, dan tumpang tindih kebijakan terkait masyarakat adat. Ini disebabkan karena institusi-institusi pemerintah masih tetap menjalankan program-program sektoral berdasarkan undang-undang sektoral,” jelas Arman.

Keenam, perlunya pengaturan mengenai “Penyelesaian Konflik atau Sengketa”. Sengketa dan juga konflik terkait dengan hak masyarakat adat merupakan salah satu persoalan banyak dialami oleh masyarakat adat.

Sengketa atau konflik tersebut dapat terjadi di dalam komunitas masyarakat adat, antar komunitas masyarakat adat, antara masyarakat adat dengan perusahaan maupun antara masyarakat adat dengan instansi pemerintah.

Menurut Arman, masyarakat punya mekanisme sendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayahnya berdasarkan hukum adat. Sementara negara dengan hukum negara sering memaksakan berlakunya hukum negara untuk menyelesaikan konflik.

“Secara umum, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumber daya alam memberikan pilihan penyelesaian sengketa baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Karena itu perlu mempertimbangkan mekanisme penyelesaian konflik diatur di dalam RUU Masyarakat Adat.”

 

 

Exit mobile version