Mongabay.co.id

Menilik Permasalahan Pengelolaan Hutan Jawa dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat

Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat, -khususnya masyarakat adat-, umumnya bersifat holistik, dengan tidak memisah-misahkan hutan dengan sumberdaya alam lain. Basis pengelolaan hutan tak sepenuhnya bergantung pada formalitas hukum. Manusia, hutan dan sumber daya alam lainnya dianggap sebagai kesatuan utuh dalam satu ruang hidup yang berbasis ekosistem (ecosystem based management of forest resource).

Pengelolaan hutan di tataran masyarakat umumnya dilakukan lewat tradisi dan dikelola secara informal, berbasis pada pengetahuan kearifan lokal masyarakat terhadap alam yang telah tumbuh secara bergenerasi. Pola tradisi ini dilandasi pada semangat pengejawantahan dari berbagai pranata (hukum adat, hukum negara bahkan hukum agama) yang otentik dari nilai-nilai sosial yang hidup di masyarakat.

Sistem sosial berbasis tradisi terbukti mampu menopang keberlanjutan pengelolaan hutan dan sumberdaya alam. Ia terlaksana efektif dan efisien, meskipun kadang bekerja secara de facto tanpa ada pengakuan oleh negara.

Datangnya negara, lalu membawa pengaruh terhadap alur pranata dan norma yang telah terbentuk. Hukum positif membawa perubahan dalam merekonstruksi hubungan masyarakat dengan kesatuan ruangnya. Kadang malah memisahkan manusia dengan wilayah hutan, dan apa yang ada di dalamnya.

 

Tanaman jati yang sedang meranggas. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Konteks Pengelolaan Hutan di Jawa

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 72/2010, wewenang pengelolaan hutan di Pulau Jawa diberikan kepada Perum Kehutanan Negara (Perhutani). Jika ditotal jumlah kawasan hutan yang dikelola perusahaan ini adalah sekitar 2,4 juta hektar atau setara 18,5 % dari luas lahan pulau Jawa dan Madura.

 Untuk Jawa Timur, Perhutani Unit II mengelola luas kawasan hutan tetap di area regional sekitar 28% dari luas daratan. Terbagi menjadi kawasan hutan lindung 314.720,50 Ha (23,07%), hutan konservasi 233.828,50 Ha (17,14%) dan hutan produksi 815,062,02 Ha (59,79%).

Namun pengelolaan lahan hutan oleh Perhutani, bukan berarti semua permasalahan yang ada selesai. Berdasarkan temuan interpretasi citra satelit Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI–Jawa Madura (2003), dari kawasan hutan Perhutani yang seluas 2.442.101 Ha, hanya sekitar 67,8% yang terlihat hutan berpenutupan atau masih lestari. Selebihnya, sekira sepertiga wilayah kelola Perhutani, tidak lagi berpenutupan atau berada pada kondisi kritis. Kebanyakan wilayah hutan kritis itu berada di area hutan lindung.

 Padahal dalam konteks ekologis dan strategis, Pulau Jawa dan Madura adalah tempat tinggal dari 57,5% (149 juta) penduduk Indonesia. Konsentrasi penduduk menyebabkan tekanan ekologis terhadap daya dukung lingkungannya menjadi semakin menguat.

Baca juga: Mencari Pola Kelola Hutan Jawa agar Tetap Terjaga dan Tak Abaikan Warga

Mencermati permasalahan yang ada, maka pengelolaan hutan harus muncul dalam narasi baru. Persoalan dan konsep hutan lestari tidak dapat diselesaikan melulu oleh Perhutani. Rakyat pun bisa memainkan peran dan fungsi ekologis di suatu wilayah, jika praktik demokratisasi dan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis agraria sepertik kelola hutan diakui.

Sebagai contoh yang terjadi di Desa Sendi, Pacet, Kabupaten Mojokerto. Desa ini berada di lereng Gunung Welirang yang rawan longsor. Sebelumya, sekitar 200 hektar lahan Desa Sendi masuk dalam kawasan hutan produksi pinus yang dikelola oleh KPH Pasuruan, meski kondisi hutannya sudah gundul.

Seperti dituturkan oleh Ki Demang Sendi (pak Toni) kepada penulis, warga desa telah berinisiatif menanam bambu, tidak hanya untuk dijual tetapi tujuan utamanya untuk mencegah bahaya tanah longsor. Juga telah menanami kawasan dengan tanaman buah-buahan. Pohon buah dipilih, karena pohon yang ditanam tidak akan ditebang dalam waktu yang sangat lama, karena yang diambil bukan manfaat kayunya, tetapi buahnya.

Dalam sebuah urun rembug bersama warga, dibentuklah Forum Perjuangan Rakyat (FPR) Sendi, sebuah organisasi yang memiliki visi ekologis yang menitikberatkan pada pelestarian lingkungan. Saat ini alokasi lahan di eks hutan produksi pinus komposisinya adalah 10% untuk pemukiman, 40% hutan desa, sedang 50% sisanya untuk perkebunan yang dikelola dengan konsep agroforestry.

Baca juga: Cerita dari Kasepuhan Karang Pasca Penetapan Hutan Adat

Hutan desa dimaksudkan sebagai hutan resapan atau konservasi dengan kemiringan lahan 40 derajat lebih. Di area pertanian masyarakat berkomitmen membangun kebun-hutan dengan konsep agroforestry, dan konsep green village di lahan pemukiman. Kedua konsep tujuannya untuk mengembalikan  fungsi ekologis hutan sebagaimana mestinya.

Ditambah ada aturan yang melarang warga memperjualbelikan tanah kepada orang luar masyarakat adat mereka. Hal ini sebagai upaya antisipasi mempertahankan kelestarian wilayah hutan terhadap ancaman eksploitasi, yang mungkin akan dilakukan oleh pihak-pihak luar.

Tradisi masyarakat seperti ngideri (mengelilingi) kampung direvitalisasi untuk konteks pelestarian alam. Ngideri kampung yang dilakukan oleh kepala dusun atau tokoh spiritual dilaksanakan pada malam jumat legi dengan membaca mantra atau wirid sambil berjalan mengelilingi kampung. Untuk menjaga kelestarian seluruh kawasan desa dan sumber mata air dilakukan Ngangsu Banyu Waras, yang dilakukan setiap jumat wage, dengan menaruh air dalam cukil atau bombing.

 

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Paradigma pengelolaan hutan harus didasarkan pada pengelolaan hutan berbasis rakyat dan pengakuan hak masyarakat hukum adat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tidak Ada Perlindungan Secara Hukum

Apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sendi bertolak belakang dengan kondisi status hukumnya. Lahan mereka secara administrasi tak diakui dan berada di bawah klaim Perhutani. Akibatnya, secara hukum yang terjadi sengketa sekaligus konflik berkepanjangan.

Dengan melihat apa yang dilakukan masyarakat, seharusnya pengakuan hukum dalam pengelolaan wilayahnya layak diberikan kepada masyarakat yang mampu mengurus diri sendiri lewat pengaturan adat istiadat.

Dasar pengakuan ini harusnya dilandasari pada semangat dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebetulnya merupakan rangkaian bangunan-bangunan kecil (kleine republiken) dari masyarakat hukum adat. Termasuk didalamnya, pengelolaan berbasis lahan yaitu kawasan hutan adat mereka.

Dalam sebuah rilis yang dikeluarkan Walhi Jatim, Pemerintah Jawa Timur hingga sekarang masih belum melindungi masyarakat adat. Pemda belum mengesahkan satupun Perda yang terkait dengan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat hukum adat, serta memberi pengakuan hak atas lahan dan hutan adat.

Padahal sejak tahun 2004, telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor S.75/Menhut-II/2004 tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas hutan, yang didalamnya termasuk mengatur tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat hukum adat. Surat Edaran itu ditandatangani pada 12 Maret 2004 dan ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia.

Jika pemerintah memiliki keinginan, tampaknya keberadaan masyarakat hukum adat harusnya dirangkul, karena mereka memiliki peran yang sangat penting bagi kelestarian kawasan hutan di sekitarnya.

Mengelola hutan seharusnya tidak lagi berarti melakukan pemisahan sistematis antara masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan dengan akses sosial, ekonomi dan budayanya yang dalam hal ini adalah kawasan hutannya.

 

Referensi:

Ekawati, Sulistya et al. 2015. “Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa. “Policy Brief Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, 2015.  www.puspijak.org

Ferdaus, R.M et al. Rekonfigurasi Hutan Jawa: Sebuah Peta Jalan Usulan CSO. Biro Penerbitan Aru PA. Yogyakarta.

Nurul Firmansyah. Pengelolaan Hutan Berbasis Negara dan Masyarakat. www.mongabay.co.id. 23 Agustus 2018.

 

* Figur Kautsar, penulis adalah pegiat lingkungan, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). Tergabung dalam Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).  Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version