Mongabay.co.id

Ikan Berformalin Beredar di Aceh. Kok Bisa?

Pemerintah Indonesia dalam lima tahun terakhir terus fokus melaksanakan kampanye gemar makan ikan kepada masyarakat yang tinggal di semua pulau di Indonesia. Kampanye itu digalakkan, tak hanya untuk menyerap produksi ikan yang melimpah di Nusantara, juga karena harga ikan diklaim jauh lebih murah dari daging merah. Sementara, dari sisi kandungan gizi, ikan juga diketahui sama baiknya dengan daging merah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam berbagai kesempatan selalu menyelipkan kampanye gemar makan ikan. Dia selalu menghimbau kepada masyarakat untuk mulai mengonsumsi ikan sebagai lauk utama. Dengan mengonsumsi ikan, Susi menyebut, tak hanya mencerdaskan masyarakat, terutama generasi mendatang, tapi juga membantu meningkatkan ekonomi nelayan.

Akan tetapi, apa jadinya jika masyarakat yang dihimbau untuk makan ikan, namun ikan yang beredar di pasaran adalah ikan yang tidak sehat. Kondisi itu dirasakan masyarakat di Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Di sana, ikan yang beredar di pasar sebagian besar adalah ikan yang sudah mengandung formalin.

Hal tersebut dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Aceh Tengah Sabilul Rasyid. Menurut dia, beberapa jenis ikan yang dijual di pasar, diketahui mengandung zat berbahaya tersebut. Temuan itu didapat setelah Tim Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Laboratorium dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) DKP Aceh Tengah.

“Masyarakat diharap waspada terhadap peredaran ikan berformalin di Takengon,” ungkapnya pekan lalu.

baca : Ribuan Ikan Mati Keracunan di Pidie dan Aceh Jaya. Kok Bisa?

 

Ilustrasi. Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain memberikan himbauan atas nama pribadi, Sabilul juga menyebutkan bahwa pihaknya memberikan himbauan resmi kepada masyarakat dan pedagang ikan. Tak lupa, agar kejadian yang sama tidak terulang di masa mendatang, DKP Aceh Tengah memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan pedagang tentang ikan yang mengandung formalin.

Selain himbauan dan penyuluhan, Sabilul mengatakan, pihaknya juga menerjunkan tim langsung ke pasar-pasar yang ada di Takengon dengan tujuan untuk melakukan pemeriksaan ikan-ikan yang dijual dan sekaligus melaksanakan penyuluhan kepada para pedagang dan masyarakat yang sedang berada di pasar.

Sebelum ada tindakan seperti di atas, sempat beredar surat atas nama Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Tengah terkait temuan jenis ikan mengandung formalin. Surat yang beredar di sosial media itu diketahui bertanggal 19 Mei 2018 dan ditandatangani langsung Kepala DKP Aceh Tengah Sabilul Rasyid. Bersama surat tersebut, terlampir juga hasil uji formalin dan jenis ikan yang dijual di dua pasar di Takengon.

Dalam lampiran itu, disebutkan ada 7 jenis ikan mengadung formalin dengan tingkat konsentrasi 0,1 sampai 0,4 ppm di Pasar Paya Ilang Takengon. Ketujuh jenis ikan tersebut adalah jenis kerapu dan bawal asal Langsa; dan cumi-cumi, anak dencis, udang, kantup, dan ikan pisang-pisang dari pasar grosir.

Adapun di Pasar Bawah Takengon ditemukan sebanyak 4 jenis ikan mengadung formalin dengan tingkat konsentrasi 0,1 sampai 0,25 ppm. Ikan tersebut adalah ikan jenara asal Peudada, Kabupaten Bireuen; kantup asal Idi, Kabupaten Aceh Timur; nila asal Panton Labu, Kabupaten Aceh Utara; dan jenis ikan cirik asal Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

baca : Apakah Pasokan Ikan di Kedonganan Bebas Formalin?

 

Ilustrasi. Tim BKIPM melakukan uji kandungan formalin pada ikan di pelabuhan pendaratan dan pasar Kedonganan, Badung, Bali. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Cakalang Mati

Sementara, pada saat bersamaan, di Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, masyarakat setempat dikagetkan dengan penemuan ratusan ikan jenis cakalang yang mati di sepanjang Pantai Hais di Desa Watuliney, Kecamatan Belang. Dari hasil pendataan, cakalang yang mati jumlahnya sekitar 400 ekor.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Tengah Vecky Monigir menjelaskan, kematian ikan yang terjadi di Pantai Hais diperkirakan sudah ada sejak dua pekan sebelumnya. Yang menarik, ikan cakalang yang ditemukan mati itu, diketahui hanya ada di sekitar perairan Belang saja, sementara di kawasan perairan lain tidak ditemukan.

Agar diketahui apa penyebab kematian ratusan ikan cakalang tersebut, Vecky mengungkapkan, sampel ikan mati kemudian dibawa ke laboratorium Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Manado untuk dilakukan pemeriksaaan lebih lanjut.

“Saat ini sedang diperiksa Balai Karantina Ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mencari tahu penyebabnya. Makanya kami belum bisa menyampaikan secara detail tanpa ada laporan hasil laboratorium terlebih dahulu,” tutur dia.

baca : Kisah Dua Ikan: Pancing Sianida dan Para Bos Asing di Pesisir Sulawesi

 

Ilustrasi. Ikan cakalang. Foto : kkp.go.id

 

Mengingat belum ada hasil uji sampel, Vecky menghimbau kepada nelayan dan masyarakat untuk sementara tidak memperdagangkan ataupun mengonsumsi ikan cakalang yang ditemukan dalam keadaan mati. Dia khawatir, jika ikan dikonsumsi, bisa membahayakan kesehatan manusia.

 

Zat Berbahaya

Sebelum dua kasus di atas mengemuka, kasus serupa juga pernah terjadi pada Oktober 2017. Saat itu, ditemukan ikan patin ilegal dengan nama pasar ‘Dori’ yang diduga kuat mengandung zat berbahaya seperti pemutih. Peredaran ikan yang berasal dari Vietnam itu sempat meresahkan masyarakat karena sudah dijual di sejumlah pasar modern terkemuka di Jakarta dan kota besar lain.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, beredarnya ikan patin ilegal yang mengandung zat berbahaya, menjadi penanda masih lemahnya pengawasan produk perikanan dan kelautan yang ada di wilayah perbatasan. Keberadaan ikan tersebut, diketahui sudah masuk ke pusat ritel ternama yang ada di dua kawasan tersebut.

Abdi Suhufan mengungkapkan, lolosnya ikan yang diimpor dari Vietnam itu ke pasaran terbatas di Indonesia, menunjukkan saat ini sedang terjadi puncak permasalahan dari tata niaga perikanan nasional. Menurutnya, permasalahan tersebut harus segera diatasi jika tak ingin kasus serupa terulang kembali di kemudian hari.

“Ini merupakan puncak gunung es problem tata niaga perikanan dan membahayakan konsumen ikan dalam negeri. Kondisi ini mesti segera diatasi sebab selain ikan dori, terdapat jenis ikan lain yang masuk di Indonesia secara ilegal,” ucapnya.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan tim DFW Indonesia, Abdi menduga, ikan masuk melalui pulau Batam di Kepulauan Riau secara ilegal yang terdiri dari jenis ikan mujair, kembung dan ikan bandeng asal Malaysia. Agar tidak muncul lagi kasus serupa, dia meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengawasi impir ikan lebih ketat lagi.

“Beredarnya impor patin ilegal di pasar Indonesia karena keberhasilan pasar yang meng-create dan mem-branding produk ikan patin jenis dori tanpa memperhatikan pertimbangan kesehatan dan konsumen terjebak dengan produk yang ditawarkan,” tuturnya.

 

Ilustrasi. Salah satu jenis ikan patin. Foto : semuaikan.com

 

Selain itu, faktor kapasitas pengawasan yang dimiliki oleh aparat BKIPM juga dinilai masih belum dapat menjangkau banyaknya pintu masuk (pelabuhan tangkapan) yang kerap digunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memasukan ikan illegal.

Menurutnya, Indonesia merupakan pasar yang besar, sementara kemampuan aparat dalam melakukan pengawasan lalulintas dan peredaran ikan illegal dinilai masih rendah. Akibatnya, ikan patin yang masuk secara illegal dan berpindah wilayah, jika sudah beredar di pasar akan sulit teridenfikasi asal usulnya.

“Sebab telah dicampur dengan ikan lainnya,” tegasnya.

 

Exit mobile version