Mongabay.co.id

12 Tahun Lumpur Lapindo, Kesehatan Warga dan Kerusakan Lingkungan Belum Tersentuh

Tanggal 29 Mei 2018 merupakan tahun ke-12 peristiwa semburan lumpur panas Lapindo Brantas, meluber dan menenggelamkan 16 desa di 3 kecamatan, di Kabupaten Sidoarjo. Peristiwa ini menjadi bencana nasional karena merenggut nyawa manusia, puluhan ribu warga mengungsi, serta ribuan orang kehilangan mata pencaharian.

Memperingati bencana itu, sejumlah warga penyintas bersama aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menggelar aksi di titik 25 tanggul lumpur di Porong, Sidoarjo. Dua spanduk panjang warna merah bertuliskan ‘Apa Yang Terjadi Pada Tubuh Kami?’ dan ‘Dimana Tanggung Jawab Negara? dibentangkan empat aktivis berpakaian putih dengan masker menutupi hidung dan mulut. Mereka berdiri dengan latar semburan lumpur panas yang masih mengeluarkan asap putih pekat.

Mereka juga menunjukkan foto rontgen dan hasil pemeriksaan kesehatan. Tindakan itu dilakukan untuk membuktikan kepada pemerintah bahwa masalah kesehatan korban lumpur harus menjadi perhatian serius.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere Christanto mengatakan, pihaknya telah melakukan penelitian sejak 2008 hingga 2016, dan menemukan kandungan Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) hingga 2.000 kali di atas ambang batas normal, pada tanah dan air di wilayah seputar tanggul lumpur. PAH menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), termasuk senyawa organik berbahaya, bersifat karsinogen pemicu kanker.

Sementara itu, pencemaran udara oleh hydrocarbon di area sekitar tanggul lumpur Lapindo sudah mencapai 8.000 hingga 220.000 kali lipat di atas ambang batas yang diperbolehkan. Kondisi ini berdasarkan laporan Tim Kelayakan Permukiman yang dibentuk Gubernur Jawa Timur.

“Pencemaran ini sangat mungkin mempengaruhi kesehatan warga,” jelasnya.

Baca: Tahun ke-11, Korban Lumpur Lapindo Masih Menanti Penanganan Kesehatan dan Lingkungan

 

Dua spanduk gugatan warga dibentangkan di atas tanggul lumpur menandai peringatan 12 Tahun Tragedi Sempuran Lumpur Lapindo. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kontaminasi logam berat Timbal (Pb) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, mencemari pula sumur warga di desa-desa di Kecamatan Tanggulangin, dan Desa Glagaharum di Kecamatan Porong. Tingginya logam berat juga dibuktikan Walhi Jawa Timur dari temuan Timbal (Pb) 40-60 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, dan Cadmiun (Cd) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan pada tubuh udang. Bahkan pada 2006, logam berat level tinggi juga ditemukan pada tubuh biota di Sungai Porong, yang menjadi tempat buangan lumpur Lapindo hingga ke laut.

“Besarnya angka kontaminasi logam berat dalam tubuh udang dan ikan sangat mengkhawatirkan, karena dalam rantai makanan, akumulasi logam berat dalam tubuh biota akan semakin banyak terkumpul pada organisme diatasnya. Ancaman terakumulasi dalam tubuh manusia juga akan tinggi,” terangnya.

Temuan logam berat, gas dan PAH dengan tingkat pencemaran yang tinggi di sekitar semburan, menjadi indikasi kualitas kesehatan warga yang tinggal dan beraktivitas di sekitar semburan lumpur, baik melalui air, tanah dan sedimen lumpur, serta udara. Menurut Rere, cadmium dan timbal merupakan zat berbahaya yang dapat mengganggu darah, ginjal dan jantung. Cadmium juga dapat mengganggu paru-paru, dan memunculkan penyakit lain seperti tingginya gula darah, kesulitan bernapas, dan serangan jantung.

“Dari hasil cek medis yang telah dilakukan, 80 persen warga mengalami abnormalitas kondisi tubuh, baik tekanan darah yang tinggi, level gula darah, maupun kekakuan pada jantung dan paru-paru. Bila dikaitkan dengan tingginya level logam berat yang mencemari, yaitu timbal, cadmium dan PAH, sangat mempengaruhi kondisi kesehatan warga.”

Pemeriksaan kesehatan yang telah dilakukan sebelumnya terhadap 20 orang penyintas lumpur Lapindo secara acak, ditemukan 10 orang mengalami kelainan pada pemeriksaan darah dan urin. Sedangkan 4 penyintas atau 20 persen mengalami kelainan pada pemeriksaan toraks.

Hasil cek medis ini menguatkan penelitian sebelumnya oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL PPM) 2010, yang menyebutkan 81 persen sampel warga di Desa Besuki, Desa Glagaharum, Desa Gempolsari, dan Desa Kali Tengah, mengalami gangguan restriksi paru-paru.

 

Seorang perempuan bersama dua anaknya memandangi pusat semburan lumpur Lapindo, pada peringatan 12 Tahun Lumpur Lapindo di 25 titik tanggul lumpur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Belum ada penanganan

Penyintas yang dulunya tinggal di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Rokhim mengungkapkan, hingga 12 tahun lumpur Lapindo menyembur, belum ada langkah penanganan dari pemerintah. Persoalan kesehatan warga cenderung diabaikan, selain pemulihan ekonomi dan sosial warga yang tidak diperhitungkan. Lapindo Brantas dan Pemerintah hanya memikirkan masalah ganti rugi tanah dan bangunan yang terdampak lumpur.

“Kesehatan tidak tersentuh, pemulihan ekonomi juga tidak ada obrolan, apalagi soal lingkungan. Setiap hari, warga menghirup udara tidak sehat, mengandung bahan kimia dari asap yang keluar,” kata Rokhim.

Saat masih tinggal di desanya dulu, Rokhim mengaku sering pusing-pusing karena menghirup udara tidak sehat. Rokhim berharap, pemerintah tidak tinggal diam dan segera melakukan langkah penanganan, salah satunya pemeriksaan kesehatan warga secara berkala. “Warga tidak tahu di dalam tubuhnya seperti apa, setelah 12 tahun menghirup udara beracun,” jelasnya.

Harwati, penyintas lumpur Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong meminta, pemerintah fokus menangani kesehatan warga yang terdampak lumpur. Selama ini hanya berkisar ganti-rugi, padahal urusan hak-hak korban yang hilang seperti ekonomi, sosial dan budaya belum disentuh.

“Urusan kesehatan misalnya, banyak sekali muncul gejala penyakit seperti kanker, jantung dan ISPA. Jaminan kesehatan yang dikhususkan untuk korban lumpur Lapindo juga tidak ada, sehingga warga harus mengeluarkan biaya ekstra,” ungkapnya.

Rere menambahkan, seharusnya pemerintah melakukan kajian berkala dan pemetaan tingkat kerawanan bencana di lokasi sekitar tanggul lumpur. Negara juga harus memberi jaminan kesehatan bagi warga dan daerah lain yang terdampak.

“Pemerintah harus membuat peta kerawanan bencana, seberapa jauh wilayah racun ini menyebar. Pastikan juga jaminan kesehatan warga yang terdampak bencana ini,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version