Mongabay.co.id

Banjir Bandang Konawe Utara, Tambang Nikel dan Kebun Sawit Pemicu?

Banjir di Konawe Utara, jadi langganan. Foto: kamarudin/ Mongabay Indonesia

Air dari arah gunung yang bagian atas dulunya hutan sudah jadi kebun sawit. Air mengalir ke arah jalan dan membuat rumah-rumah warga hanyut. Foto: Basarnas Kendari? Mongabay Indonesia

 

 

Hujan deras terus mengguyur hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara, termasuk Kabupaten Konawe Utara. Sejak memasuki pertengahan Mei atau awal Ramadan 1439 Hijriah, hujan tiada hentinya. Tak pelak, banjir bandang pun melanda Konawe Utara.

Pemerintah mengklaim,  tumpahan air yang begitu banyak menyebabkan sungai-sungai di Konawe Utara, tak mampu menampung debit air, hingga banjir tak terhindarkan. Sebanyak tujuh rumah hanyut dan 100 rumah tenggelam di Desa Landawe dan Polora, Kecamatan Langgikima, Senin (21/5/18).

Bupati Konawe Utara, Ruksamin mengatakan,  banjir bandang tiba-tiba menghantam dua desa itu. Sebelum berbuka puasa, banjir datang dan menghanyutkan beberapa rumah warga. Rumah hanyut, katanya, di Kecamatan Oheo dan Langgikima, desa terkena banjir bandang paling parah.

“Desa itu memang di posisi daerah rendah,” katanya kepada sejumlah awak media.

 

Bukan kali pertama

Banjir bandang seperti ini bukanlah kali pertama terjadi di Konawe Utara. Awalnya, pada 2016, jadi tahun pahit bagi warga di sini. Lima kecamatan terendam air dari gunung karena hujan deras tak berhenti dalam beberapa hari. Media lokal di Kota Kendari, melaporkan, 100 rumah terendam banjir dan 1.000 jiwa mengungsi.

Banjir serupa berulang hampir setiap tahun. Tercatat sejak 2016-2018, sudah empat kali daerah ini banjir. Awal 2018, Konawe Utara, juga banjir bandang dan pertengahan tahun ini kembali berulang.

Banjir kali ini, tim bantuan dan pertolongan Pemda Konawe Utara,  kesulitan evakuasi korban banjir. Badan Pencarian dan Pertolongan (SAR) Kendari,  pun terlibat.

Satu raber boat diturunkan dan dua mobil truk. Raber boat untuk menolong warga dua desa di Langkikima,  karena jalan pada jalur trans Sulawesi ini terputus.

“Air naik hingga ke jalan. Kemudian tanah longsor,” kata Wahyudi, Humas SAR Kendari. Dia bilang, Desa Kecamatan Oheo dan Kecamatan Langgikima,  sudah tak bisa dilewati.

Di Desa Landawe dan Polora, lokasi banjir bandang dikenal sebagai penghasil beras dan jagung. Ratusan hektar lahan persawahan ada di sana. Kala banjir datang,  padi di sawah-sawah itu siap panen Juni mendatang. Naas, banjir datang, warga terancam gagal panen. Air merendam sawah-sawah warga.

 

Pj Gubernur Sulawesi Tenggara dan Wakil Bupati Konawe Utara Abdul Rauf, mengecek lokasi banjir bandang di Langkikima. Sampai saat ini hasil dari peninjauan ini belum ada tindaklanjut apapun. Masyaraka baru sebatas diberi bantuan logistik seadanya. Foto: Basarnas Kendari/ Mongabay Indonesia

 

Apa penyebabnya?

Konawe Utara,  merupakan wilayah penghasil sumber alam berupa nikel terbesar di Sulteng. Ratusan ribu hektar perkebunan sawit milik swasta maupun BUMN juga kuasai kabupaten ini.

Walhi meyakini, banjir Konawe Utara,  karena krisis ekologi dan ulah pemerintah yang tak memikirkan dampak lingkungan kala memberikan izin kepada bisnis tambang maupun sawit.

Dengan pembukaan lahan besar-besaran untuk kebun sawit dan tambang,  dianggap masalah utama penyebab banjir. Tata kelola lahan Kanowe Utara, Walhi nilai buruk, tata ruangpun pun begitu.

Kisran Makati, Direktur Eksekutif Walhi Sultra mengatakan, banjir bandang yang melanda Konawe Utara karena kerusakan hutan atau laju deforestasi. Ia dapat terlihat dari kerusakan hutan data Dinas Kehutanan 2005, sekitar 5.000 hektar kawasan hutan di Sultra terdegradasi. Pada 2013,  kawasan hutan di Konawe Utara hampir 30.000 hektar rusak berganti sawit dan tambang.

Di Konawe Utaran katanya, sudah ada 20 izin sawit dan 136 izin usaha pertambangan keluar selama masa kepemimpinan Bupati Aswad Sulaiman dan Wakil Bupati Ruksamin pada 2007-2015.

Data Greenpeace Asia Tenggara menyebutkan,  sebagian kawasan tersisa di Konawe Utara,  masih dalam bayangan ancaman investasi tambang, penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun sawit.

“Sekitar 300 .000 hektar kawasan hutan hadapi ancaman serius karena perambahan, pembukaan lahan oleh tambang,” kata Kisran.

Kedua bisnis, baik tambang maupun sawit itu, katanya, berada di hulu, hingga mengancam wilayah yang lebih bawah kala tutupan hutan hilang.

“Pemukiman masyarakat di sekitar Sungai Linomoyo itulah. Akibatnya banjir bandang tidak bisa dibendung.”

Walhi mendesak, pemerintah provinsi maupun pusat mengevaluasi dan mencabut izin-izin baik tambang maupun sawit di Konawe Utara.

 

Keterangan foto utama: Air dari arah gunung yang bagian atas dulunya hutan sudah jadi kebun sawit. Air mengalir ke arah jalan dan membuat rumah-rumah warga hanyut. Foto: Basarnas Kendari? Mongabay Indonesia

Rumah warga yang terkena banjir bandang. Nampak anggota SAR Kendari melakukan pengecekan. Isi rumah juga habis terbawa banjir. Foto: Basarnas Kendari/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version