Mongabay.co.id

Menyelamatkan Hak Pilih Masyarakat Dalam Kawasan Hutan

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara--secara adat itu hak ulayat--, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tetap bersikeras tak memberikan identitas kependudukan kepada masyarakat yang bermukim di kawasan hutan negara, kecuali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan.

Kemendagri mengatakan, kawasan hutan lindung dan konservasi, tak masuk wilayah pemukiman dalam sistem administrasi kependudukan, dan tak memiliki batas maupun kode wilayah. Penetapan sepihak dan sikap Kemendagri ini berdampak terhadap hilangnya sejumlah hak kewarganegaraan masyarakat dalam kawasan hutan.

Mereka dianggap penduduk ilegal, hingga harus meninggalkan wilayah. Padahal,  banyak areal yang kini berstatus kawasan hutan dulu tempat tinggal legal seperti hutan masyarakat adat. Namun, pemerintah sepihak menetapkan pemukiman atau wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan sejak terbit UU   No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Tak hanya itu, sikap Kemendagri turut menyandera hak pilih masyarakat adat yang bermukim dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.

Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU No 7/2017 tentang Pemilu menyebutkan, pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS) hanya pemilih yang memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Tak lagi mengakomodir surat keterangan (suket) bagi warga negara yang tak memiliki KTP.

Menurut data dari Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Senada terjadi di Nusa Tenggara Timur, ada tiga kabupaten dengan total 139.476 pemilih yang secara faktual ada, tetapi tak terakomodir di DPT Pilkada 2018 karena belum memiliki KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dua daerah ini merupakan wilayah dominan masyarakat dalam kawasan hutan negara, rawan konflik tumpang tindih perizinan lahan hingga memunculkan ketidakpastian atas domisili. Patut diketahui pula, basis pembuatan KTP-el adalah wilayah administratif, jika wilayah itu berada dalam kawasan hutan dan konservasi tak dapat mengurus identitas kependudukan.

Dari persoalan ini saja, AMAN mencatat,  ada 777 komunitas masyarakat adat dalam kawasan hutan lindung dan konservasi dengan populasi 3,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, ada 1,6 juta masyarakat adat sampai hari ini belum memiliki KTP-el dan terancam tak dapat memilih pada Pemilu 2019.

Untuk mendapatkan KTP-el dan menggunakan hak pilih pada Pemilu 2019,  Kemendagri menyarankan masyarakat dalam kawasan hutan menunggu izin pelepasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau harus terlebih dahulu berpindah ke desa-desa sekitar kawasan hutan yang memiliki legalitas. Hal ini bukanlah sebuah solusi, karena pelepasan kawasan hutan negara sesuai Pasal 2 Permenlhk P.51/2016 hanya bisa untuk kepentingan pembangunan dan produksi.

Di balik ini,  sebetulnya terselip agenda terselubung memindahkan paksa masyarakat dalam kawasan hutan, agar negara leluasa melakukan eksplorasi wilayah itu. Agenda ini dimulai dengan tidak mengakui masyarakat dalam kawasan hutan sebagai warga negara legal dengan tak memberikan kartu identitas penduduk.

Dalam hal lain, permasalahan ini menunjukkan, ketidakpastian hukum hak tenurial (wilayah) berimplikasi terhadap hilangnya hak politik warga negara. Situasi ini mengharuskan kehadiran kebijakan kompromi dari penyelenggara negara.

 

 

Kebijakan kompromi

Esensi pemilu di negara demokrasi sebetulnya adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan elemen masyarakat, mulai jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilihnya.

Untuk itu, lembaga negara dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut pro-aktif mengidentifikasi dan memantau hambatan-hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilih. Salah satu,  mengidentifikasi masyarakat yang terhalang mendapat KTP-el sebagai basis utama dalam menggunakan hak pilih di Pemilu 2019.

Pada Pemilu 2014, hampir tak terdengar persoalan tentang jaminan hak pilih. Pasalnya, Pasal 149 UU No 8/2012 (UU Pemilu) tidak memuat kewajiban bagi calon pemilih untuk memiliki KTP-el. Sebaliknya, Undang-undang No 7/2017 tentang Pemilu,  justru mengebiri hak pilih banyak orang. Ia sama sekali tak membuka ruang bagi masyarakat yang tak memiliki KTP-el karena berada dalam kawasan hutan untuk dapat memilih pada Pemilu 2019.

Bermasalahnya regulasi pemilu menunjukkan kapasitas lembaga negara tak maksimal mengurusi jaminan hak pilih masyarakat.

 

Memasuki hutan adat Baringin, Enrekang, Sulawesi Selatan, yang selama ini dijaga dan dikeramatkan.
Masyarakat adat yang berada di kawasan hutan negara ini, kemungkinan tak mendapatkan hak pilih pada pemilu 2019. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Sebagaimana Dunaiski (2014) berpendapat, bagaimana kapasitas lembaga memiliki relasi kuat dengan timbulnya masalah dalam pemilu. Kemendagri sebagai kementerian yang bertanggung jawab dan membawahi instansi pelayanan pembuatan KTP-el sejauh ini terkesan belum berkompromi dengan masyarakat dalam kawasan hutan negara,  di sisa waktu satu tahun menjelang Pemilu 2019.

Masalah ini,  makin darurat karena kapasitas penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu belum memadai dalam mengidentifikasi hambatan masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

Dengan kompleksitas masalah masyarakat dalam kawasan hutan, penyelenggara pemilu perlu merumuskan kebijakan kompromi untuk mengatasi problem ini dalam jangka panjan. Terutama, memudahkan pemilih yang belum memiliki KTP-el agar dapat memilih.

Bentuk kebijakan kompromi ini bisa beberapa hal. Pertama, mengubah perspektif dan pendekatan dalam mengidentifikasi hambatan hak pilih. Dalam UU Pemilu No 7/2017, warga negara Indonesia yang dimaksud adalah orang-orang/bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara. Jadi, kita lihat ukurannya bukan zonasi atau domisili,  melainkan wilayah (hukum) Indonesia.

Selama pemilih sudah berumur 17 tahun ke atas dan berada dalam wilayah hukum Indonesia, berhak memilih. Nomenklatur ini sebetulnya dapat digunakan dalam menjamin partisipasi masyarakat dalam kawasan hutan negara untuk bebas memilih.

Kedua, sinkronisasi data kependudukan antar aparatur sipil negara. Desain pemilu pasca UU Pemilu No 7/2017 terutama dalam syarat memilih untuk pemilih dalam negeri hanya menggunakan basis data kependudukan dan administrasi dari Kemendagri. Padahal, basis data kependudukan tidak hanya ada di Kemendagri.

Kementerian Luar Negeri memiliki basis data penduduk Indonesia yang berada di luar negeri, KLHK juga memiliki basis data masyarakat dalam kawasan hutan.

Kategori data  kependudukan ini sebetulnya perlu disinkronisasi, kemudian dapat mengidentifikasi hambatan dalam mengurus KTP-el. Sebagai contoh, pemilih luar negeri, basis data pemilih berdasar kepada jumlah penduduk Indonesia di luar negeri dengan menggunakan basis data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).  Kebijakan ini sebetulnya dapat diadopsi oleh penyelenggara pemilu dalam mengakomodir, mengidentifikasi dan menyelamatkan hak pilih masyarakat dalam kawasan hutan lindung dan konservasi.

Ketiga, realitas yang terbayang oleh penyelenggara pemilu adalah data pemilih berbasis KTP-el secara fisik. Padahal tidak, yang membuktikan masyarakat terdaftar sebagai pemilih itu berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sebenarnya, proses ini dapat dipermudah, cukup membagikan NIK untuk masyarakat yang ingin memilih namun belum mendapatkan KTP-el.

Dengan begitu, tak perlu menunggu proses rekam-cetak KTP dalam menjalankan mandat UU No 7/2017 tentang Pemilu. Penyelenggara pemilu perlu menyederhanakan syarat untuk dapat menggunakan hak pilih dan tetap menjaga hasil pemilu yang legitimed.

Kondisi masyarakat dalam kawasan hutan ini persoalan serius.  Untuk itu, perlu diatasi dengan membangun pemilu aksesibel dan membuat kebijakan kompromi sebagaimana yang sudah tersampaikan dalam perkara kepemilikan KTP-el berkaitan erat dengan hak asasi manusia.

Untuk itu, , negara dituntut pro-aktif memenuhi dan melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara di setiap kategori kependudukan.

Masalah hak memilih selalu menjadi isu sensitif yang kerap mempengaruhi kredibilitas pemilu. Harapannya, Kementerian Dalam Negeri dengan infrastruktur yang dimiliki bisa mengambil langkah-langkah signifikan menjamin hak pilih warga negara dalam pilkada ataupun pemilu 2019.

Problem yang melanda masyarakat dalam kawasan hutan negara seharusnya jadi pelajaran berharga bahwa ada situasi khusus yang terjadi di luar logika administrasi kependudukan.

Selain itu, Kemendagri jangan terjebak pada egoisme lembaga – kesannya berupaya melegitimasi efektivitas dan keberhasilan pada proyek gagal KTP-el dengan gunakan basis utama dalam memilih di Pemilu 2019.

Jangan sampai hak memilih hilang karena masalah administratif. Situasi ini bisa mengingatkan apa yang dikatakan Thomas Jefferson “If we can not secure all our rights, let us secure what we can.” Pemerintah bisa menjamin hak pilih itu.

 

* Yayan Hidayat, penulis dari Direktorat Politik Masyarakat Adat, AMAN. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Keterangan foto utama: Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara–secara adat itu hak ulayat–, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version