Mongabay.co.id

Burung Hantu yang Tidak Perlu Kita Takuti

 

Anda pasti kenal dengan yang namanya burung hantu. Semua jenis ini, hampir dikatakan memiliki ciri khas yang sama. Aktif di malam hari (nokturnal) dan terbang tanpa suara. Matanya menghadap ke depan seperti mata manusia dengan bola mata besar yang selalu melotot. Hebatnya, kepala burung hantu bisa berputar hingga 180 derajat, bahkan ada yang hingga 230 derajat.

MacKinnon dkk, mengelompokkan burung hantu dalam anggota Ordo Strigiformes. Ordo ini terdiri dari dua suku (famili), yakni suku burung serak atau burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati (Strigidae).

 

Celepuk reban. Foto: Asep Ayat

 

Sebutan burung hantu pun beragam mulai dari celepuk, serak, jampuk, kokok beluk, beluk ketupa, dan punggok atau pungguk. Banyak dari jenis ini yang merupakan endemik alias tersebar terbatas di satu pulau atau satu wilayah saja di Indonesia. Terutama dari marga Tyto, Otus, dan Ninox.

Burung hantu merupakan karnivora yang handal berburu. Paruhnya tajam dan kuat, kaki dan kuku tajamnya cekatan mencengkeram. Kehebatannya berburu membuat “Sang Raja mitos” ini tak pernah meleset saat menyergap katak, tikus, serangga, binatang kecil lainnya.

 

Celepuk reban. Foto: Asep Ayat

 

Wilayah yang biasa didiami burung hantu adalah padang rumput, semak belukar, kebun, peternakan, sawah, atau pinggiran kota. Mereka bisa membuat sarang di berbagai jenis hutan, semak semi kering, rawa-rawa, dan lainnya.

Berapa jumlah jenis burung hantu yang ada di Indonesia? Alamendah dalam blognya menuliskan, sekitar 54 jenis burung hantu hidup di Indonesia dari sebanyak 240-an spesies burung hantu dunia. “Bahkan, dari 54 jenis tersebut, beberapa diantaranya merupakan spesies endemik Indonesia,” jelasnya.

 

Beluk-wutu Gunung. Foto: Asep Ayat

 

Mitos

Cerita orang tua kita dahulu menyebutkan, kemampuan terbang di malam hari tanpa suara yang dimiliki burung ini, yang membuatnya dijuluki burung hantu. Bila terlihat bertengger di dahan pohon tak jarang membuat kita kaget, meski kini sebagian orang justru menganggapnya hal yang wajar.

Kehadirannya yang tiba-tiba ini, membuat burung hantu akrab dengan mitos. Misal, bila burung ini datang pertanda hadirnya hantu juga. Atau, bila mimpi bertemu burung hantu aka nada barang yang hilang. Mitos ini merupakan nilai budaya (local knowledge) yang setidaknya perlu kita ketahui.

 

Beluk jampuk (Bubo sumatranus). Foto: Asep Ayat

 

Terlepas dari kepercayaan yang ada, keberadaan burung hantu di alam bebas Indonesia mulai berkurang. Krusakan lingkungan dan perburuan untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan adalah penyebabnya.

Sebut saja Celepuk Siau (Otus siaoensis) yang saat ini merupakan salah satu jenis burung paling langka di Indonesia. Sementara Celepuk Flores (Otus alfredi), Serak Taliabu (Tyto nigrobrunnea), dan Celepuk Biak (Otus beccarii) berstatus Endangered (Genting) berdasarkan status IUCN Redlist.

 

Ketupa ketua. Foto: Asep Ayat

 

Beluk ketupa. Foto: Asep Ayat

 

Manfaat pertanian

Sejatinya, burung hantu merupakan satwa yang sangat bermanfaat untuk membasmi hama tikus di sektor pertanian. Ada hubungan simbiosis mutualisme. Burung hantu lebih efektif mengendalikan populasi tikus ketimbang menggunakan racun atau gropyokan (perburuan tikus melibatkan banyak orang secara bersama-sama dan serempak).

Sebagai predator alami, burung hantu jenis Serak Jawa (Tyto alba) merupakan pemburu tikus yang paling jago, baik di perkebunan maupun di pertanian padi. Dalam pertanian menunjukkan, sepasang burung hantu ini bisa melindungi 25 hektar tanaman padi. Dalam jangka waktu setahun, satu individunya dapat memangsa sebanyak 1.300 ekor tikus.

 

Serak Jawa. Foto: Asep Ayat

 

Dari segi biaya, pengendalian serangan tikus menggunakan burung hantu juga lebih bersahabat pada lingkungan tanpa menimbulkan dampak negatif. Ekosistem alam juga terjaga tanpa harus merusak rantai makanan.

 

Oriental Bay Owl. Foto: Asep Ayat

 

Asep Ayat, Pemerhati Burung Liar di Burung Indonesia

 

Referensi:

MacKinnon, J., K. Phillipps, and B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor.

Ayat, A. 2011. Burung-burung agroforest di Sumatera. In: Mardiasuti A, eds. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office: viii + 112 hlm.

Alamendah. 2014. 54 Jenis Burung Hantu di Indonesia: Alamendah.org/2014/10/17/54-jenisburung-hantu-di-indonesia/

 

 

Exit mobile version