Mongabay.co.id

Derita Manusia Perahu di Marombo Pantai Ketika Tambang Nikel Cemari Laut

Rumah-rumah bajo berdiri di atas tepian laut yang sudah berwarnah merah. Satu rumah Cumpolo. Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar 2005-2006, di teluk kecil Desa Marombo Pantai, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, masih sering menjumpai Suku Bajo,  hidup di atas perahu. Mereka dikenal dengan Manusia Perahu.

Mereka mendiami teluk, bersama perahu layaknya rumah. Ada sekitar 20 keluarga.  Kebiasaan mereka disebut seanomade. Mereka sepenuhnya hidup di perahu. Hanya sesekali singgah ke daratan untuk mendapatkan air bersih dan hasil laut.

Kini, manusia perahu tak lagi ditemukan di Konawe Utara. Mereka hijrah di daratan.

Cerita manusia perahu tinggal sejarah. Yang tersisa hanya mereka yang pernah hidup di laut, itupun tinggal sedikit yang mendiami pesisir Kanowe Utara. Walau orang Suku Bajo, belum tentu lahir dan besar di perahu.

Manusia perahu hilang karena mereka telah memiliki rumah panggung  bantuan pemerintah melalui Kementerian Sosial pada 2006.

Rumah-rumah mereka berjejer rapi di sepanjang pesisir pantai terbagi dalam beberapa kecamatan, salah satu di Desa Marombo Pantai, Kecamatan Lasolo. Sebagian membaur dan menikah dengan Suku Tolaki.

Senin (14/5/18), saya mendatangi Desa Marombo Pantai. Saya ke rumah Saparudin alias Cumpolo, sesepuh masyarakat bajo. Usia sekitar 70-an tahun. Kulit sudah keriput dan pandangan tak lagi terang. Kala itu, dia tampak sibuk merapikan kayu buat perapian di dapur.

 

Rumah-rumah orang Suku Bajo, buatan pemerintah di tepi laut yang tercemar tambang nikel. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Cumpolo,  lahir dan besar di perahu. Orangtuanya merawat dan membesarkan dia di pesisir laut Konawe Utara. Dia lupa kapan dan di mana lahir. Yang dia ingat, awal , manusia perahu itu masih ada hidup di laut.

“Di perahu segala aktivitas dilakukan, mulai makan, tidur, bermain untuk anak-anak, bahkan melahirkan di perahu. Sakit juga,” katanya.

Saat itu, katanya, ada sekitar 10 perahu jalan bersama-sama. “Jadi kan ini hol-hol (teluk) di sini banyak, jadi kita singgah-singgah. Pakai layar itu kapal,” katanya.

Pada setiap teluk persinggahan, mereka tangkap ikan atau mencari kerang. Sebagian Orang Bajo lain menuju ke darat. Ada yang mengambil sayur mayur, kayu bakar dan air bersih. Setelah semua selesai, mereka tak langsung bergeser ke teluk lain.

“Tinggal lagi satu hingga dua hari untuk melanjutkan kembali perjalanan,” katanya.

Beberapa wilayah pesisir yang sering disinggahi mereka seperti, Mandiodo, Boenaga dan Marombo (saat ini mereka diami). Tiga tempat ini, sekarang disebut blok bukan lagi desa karena pusat kegiatan pertambangan, pembukaan lahan untuk mengeruk sumber daya alam berupa nikel.

Cumpolo cerita, persinggahan di teluk-teluk sepanjang tahun sejak dulu dan terakhir sekitar 2005-2006. Mereka tak lagi di laut, kata Cumpolo, bersamaan dengan program pemerintah masuk berupa pemberian bantuan rumah sosial untuk masyarakat Bajo.

“Kami kayaknya diakui waktu itu, kami bagian dari masyarakat Konawe Utara. Rumah saya ini bantuan pemerintah. Jadi kami yang tinggal di Marombo ini karena pas masuk bantuan kami berada di sini,” katanya.

Adimu, istri Cumpolo tersenyum melihat kami bercerita. Dia juga ikut nimbrung di rumah panggung beralaskan papan dan bertiangkan empat batang kayu besi ini.

Adimu, mengenang, awal-awal mereka di Blok Marombo, mereka hidup dengan lautan bersih.

“Tidak jauh-jauh kita cari ikan itu. Menyelam sedikit ada mi ikan kita dapat. Baruan jernih dulu lautnya, karangnya juga masih bagus-bagus. Jadi banyak kerang kita dapat,” katanya.

 

Laut, yang dulu bersih dan jernih, sumber hidup orang Bajo, kini memerah… Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Serbuan tambang

Kondisi Marombo Pantai,  kini menghawatirkan. Hutan habis “tercukur” alat berat perusahaan, baik tambang maupun perkebunan sawit.

Dari pemantauan kerusakan terhadap bentang alam terlihat jelas. Lahan-lahan hijau terkupas oleh alat-alat berat jadi merah dan gersang. Sejumlah bukit juga terkelupas. Di Desa Marombo,  terdapat beberapa perusahaan pertambangan aktif.

Jalur menuju area pertambangan berlumpur merah. Meski ada pepohonan rindang di sisi jalan, di baliknya menganga lubang-lubang bekas galian tambang. Laut di Desa Marombo Pantai, juga pusat permukiman warga Suku Bajo, tak lagi berwarna biru, tetapi kemerahan.

Lumpur sedalam sekitar 50 sentimeter mengendap. Di pesisir itu juga tempat penumpukan nikel mentah (ore) hasil penambangan. Tumpukan akan diangkut ke tongkang melalui dermaga (jetty) yang terhubung dengan tempat penumpukan ore nikel.

Di Desa Marombo Pantai Utara, pertambangan nikel kebanyakan di pegunungan berhutan lebat. Lokasi tambang jaraknya dekat laut.

Cumpolo khawatir dengan kondisi ini. Menurut dia, perubahan sejak 2011-2018 begitu drastis. Di sekitar pemukiman mereka tidak lagi ada karang, semuan terbalut lumpur. Laut yang jadi pekarangan mereka rusak dan tercemar.

 

Cumpolo memperbaiki pipa air dari saluran sungai yang telah dipasangi pipa besar. Air ini sebagai sumber air bersih untuk memasak, minum, dan mencuci. Padahal hasil dari air ini diduga telah tercemar limbah nikel. Foto : Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Dia berpikir, sepertinya pemerintah sedang mempersiapkan mereka pindah dari Marombo Pantai.

“Kami seakan diusir pelan-pelan,” katanya. “Apa yang kita mau dapatkan disini. Nah,  habis dirusaki semua,” katanya.

Dulu, katanya, mereka mendapatkan rumah, disuruh jadi nelayan. “Tapi berbanding terbalik. Pekarangan rumah kami dirusaki oleh mereka.”

Keluhan Cumpolo, sebenarnya potret kemiskinan di ujung Konawe Utara. Kemampuan warga melaut hilang karena laut rusak setelah kehadiran perusahaan pertambangan. Kini, laut tak bersahabat lagi bagi Orang Bajo.

Tambang nikel masuk sejak 2011,  membuat laut berwarna merah. Sisa tumpahan ore nikel, diduga jadi penyebab kerusakan laut di wilayah itu.

Pada, kata Cumpolo, mereka dari pulau ke pulau di sekitar Teluk Morombo, menggantungkan hidup dari mencari ikan.

“Namun, sejak tambang masuk dan membuang limbah ke laut, ikan tak ada lagi di teluk.”

“Di sini ji dulu kita melaut. Tidak jauh-jauh. Kalau sekarang aii apa mau diharap, kami kelilingi lautan menangkap ikan hingga dekat Sulawesi Tengah,” cerita Cumpolo.

Kini, manusia laut sudah terlanjur tinggal di darat alias jadi manusia darat, susah kembali ke laut. “Sumber ikan sudah jauh dari teluk, sementara kami tak punya perahu bermesin,”katanya.

 

Anak di Desa Marombo Pantai mengandalkan air sungai untuk mencuci. Air ini diduga tercemar limbah ore nikel. Di atas gunung jadi lokasi tambang. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Terusir dari ruang hidup

Pindah dari hidup di laut ke darat, mengubah pola hidup Suku Bajo di Teluk Morombo. Kala itu, pemerintah hanya pikir bangun rumah, tanpa membangun sistem kehidupan warga Suku Bajo. Bayangkan, kata Cumpolo, pemerintah hanya buat rumah, tetapi tak membekali mereka dengan kemampuan dasar untuk tinggal di daratan.

“Padahal,  kami ini ahli di laut. Kalau mau dikasi tinggal di darat, harusnya diterima bekerja di daratan,” katanya.

Kondisinya tambah parah dengan kondisi alam sekitar tempat tinggal mereka kini. Pertambangan nikel membuat sedimentasi luar biasa di Marombo Pantai. Padahal, belum 10 tahun tambang hadir, kerusakan sudah parah. Sekarang, katanya,  laut merah tak bisa lagi diolah, ikan-ikan hilang.

Setelah pemerintah beserta perusahaan kerja sama, katanya,  masyarakat Bajo Marombo Pantai kurang mendapat perhatian. Keluhan mereka soal kerusakan lingkungan sudah disampaikan. Sayangnya, pemerintah dan pengusaha seakan tuli.

“Kita mau buat apa, kita tidak punya motor mau ke pemerintah, tidak mungkin jalan kaki terus, jauh sekali. Akhirnya,  kita pasrah saja…”

“Kita tinggal di sini tidak dihiraukan.”

Hingga kini, katanya,  manusia perahu di wilayah itu tak diterima bekerja di perusahaan tambang atau instansi swasta. Meskipun memasukkan lamaran, tak ada yang mau menerima mereka.

“Mungkin mereka berpikir kami tak punya pendidikan,” kata Cumpolo.

Ramantan, Orang Bajo, juga pernah tinggal di perahu mengatakan, perahu dan mesin kapal adalah kebutuhan utama manusia perahu. Dengan keduanya, mereka bisa keliling hingga ke luar teluk.

“Sekarang di teluk ikan sudah habis karena laut sudah kotor karena tambang,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Perahu tak bermesin milik Cumpolo untuk mencari ikan, dan kerang buat  konsumsi. Lokasi pencarian ikan kini harus  jauh dari rumah mereka karena laut sudah tercemar. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Pelabuhan khusus milik perusahaan nikel di Desa Marombo Pantai. Pelabuhan ini nyaris berada di samping rumah-rumah Bajo. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version