Mongabay.co.id

Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?

Ancaman kerusakan ekosistem di laut Indonesia dari waktu ke waktu semakin nyata dan sulit dibendung. Ancaman tersebut, di antaranya berasal dari mikroplastik yang ada di dalam air laut. Tak tanggung-tanggung, diperkirakan saat ini mikroplastik yang ada di air laut Indonesia jumlahnya ada di kisaran 30 hingga 960 partikel/liter.

Fakta tersebut diuraikan Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Reza Cordova belum lama ini. Menurut dia, keberadaan mikroplastik di dalam air laut Indonesia, jumlahnya sama dengan jumlah mikroplastik yang ditemukan di air laut Samudera Pasifik dan Laut Mediterania.

“Tetapi, juga lebih rendah (jika) dibandingkan dengan mikroplastik yang ada di pesisir Cina, Pesisir California, serta Barat Laut Samudera Atlantik,” ujarnya.

Meski demikian, Reza menyebut, walau jumlahnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang disebut di atas, keberadaan mikroplastik dengan jumlah sekarang di air laut Indonesia perlu mendapat kewaspadaan dari semua pihak. Mengingat, hingga saat ini masih ada dampak lain dari mikroplastik yang belum diketahui.

baca : Kawasan Samudera Pasifik yang Dipenuhi Sampah Plastik kini Hampir Seluas Daratan Indonesia

 

Sampah plastik di lautan. Foto : NOAA

 

Untuk mengungkap dampak mikroplastik, Reza mengatakan, saat ini P2O tengah melakukan monitoring sebaran mikroplastik dan pengaruhnya pada ekosistem laut serta dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan sampah laut.

“Mengingat penggunaan plastik yang tinggi, kami merencanakan kajian penelitian mikroplastik untuk jangka panjang yakni pengaruh mikroplastik pada biota laut, lingkungan, serta pada kesehatan manusia,” tutur dia.

Reza menambahkan, penelitian sampah laut dan mikroplastik di Indonesia saat ini sudah menjadi salah satu isu yang penting. Hal itu, terutama merujuk pada area perairan yang sudah dilakukan monitoring dan menunjukkan jumlah banyak mikroplastik. Adapun, area yang dimaksud adalah di Indonesia Barat seperti Aceh, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Kemudian, di area Indonesia Timur seperti Bali, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara, dan Maluku.

baca : Miris.. Video Pari Manta Makan Sampah Plastik Ini Viral

 

Tumpukan sampah di pesisir pantai. Sampah di laut membahayakan bagi biota laut dan juga manusia bila masuk ke rantai makanan. Foto : kkp.go.id

 

Monster Mini

Reza menyebut keberadaan mikroplastik di laut Indonesia tak ubahnya seperti monster mini yang setiap saat merusak ekosistem di dalamnya. Keberadaan mikroplastik, harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan yang lebih luas lagi di dalam laut. Salah satu cara yang bisa dilakukan, adalah dengan mengubah perilaku manusia yang menjadi konsumen utama mikroplastik.

Reza memaparkan, setiap tahunnya manusia menggunakan plastik hingga sebanyak 78 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya dua persen saja yang dilakukan daur ulang dan sebanyak 32 persen diketahui masuk ke dalam ekosistem darat yang kemudian masuk ke dalam laut. Sementara, sisanya diolah secara bervariasi untuk kebutuhan manusia lagi.

Dengan fakta tersebut, Reza mengungkapkan, ancaman kerusakan ekosistem di laut sudah semakin besar dan tak bisa dicegah lagi. Jika itu terjadi, maka biota laut akan menjadi korban pertama yang merasakan dampak buruknya. Hal itu terjadi, karena mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh biota laut, akan merobek usus dan merusak pencernaan.

“Salah satu yang menjadi korban itu, adalah penyu. Jika mikroplastik masuk ke dalam tubuhnya, maka dia akan mati secara perlahan. Penyebabnya, karena jika nanoplastik masuk ke darah, maka itu akan merusak otak,” jelasnya.

baca : Sampah Plastik Semakin Ancam Laut Indonesia, Seperti Apa?

 

Sampah plastik dan mikroplastik di lautan membahayakan bagi penyu karena dianggap makanan. Banyak penyu dan biota laut yang mati karena memakan sampah di lautan. Foto : ecowatch

 

Reza menyebut keberadaan mikro dan nanoplastik di dalam air laut menjadi sangat berbahaya bagi ekosistem, karena ukurannya yang sangat kecil dan bisa dengan mudah dimakan oleh biota laut dari yang berukuran sangat kecil hingga besar. Selain penyu yang berukuran besar, plankton juga bisa memakan mikroplastik.

“Padahal, plankton ini dimakan ikan kecil, dan ikan kecil dimakan oleh ikan besar. Nah, ikan besar ini dimakan oleh manusia. Jadi, manusia juga sangat rentan?” ucapnya.

Reza menjelaskan, saat mikroplastik masuk ke dalam tubuh manusia, maka bahan pencemar akan bekerja untuk mengusir plastik dan tubuh pada akhirnya akan menjadi penuh dengan polusi. Kemudian, jika mikroplastik dimakan oleh biota laut, maka berikutnya akan muncul tumor di tubuhnya. Walau tidak seberbahaya kanker, namun dia mengklaim, tumor tersebut bisa mengancam populasi mereka.

Keberadaan sampah plastik di laut Indonesia, diakui juga oleh Asisten Deputi Pendayagunaan IPTEK Kementerian Koordinator Kemaritiman Nani Hendiarti. Menurut dia, saat ini persoalan sampah plastik menyebarluas dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua. Persoalan tersebut, harus diselesaikan dengan baik, mengingat ada banyak dampak negatif yang harus diterima ekosistem laut akibat terus bertambahnya sampah plastik.

Bukti keseriusan Pemerintah untuk membersihkan sampah plastik di laut, di antaranya adalah dengan menyiapkan rencana aksi nasional (RAN) yang sudah disusun dari 2017. Melalui RAN, menurut Nani, secara bertahap persoalan sampah diharapkan bisa diselesaikan.

“Kita akan terus menjaga komitmen untuk menuntaskan permasalahan sampah laut lintas batas atau trans boundaries debris ini,” ucapnya.

baca : Indonesia Serukan Penanganan Sampah Plastik di COP 23

 

Instalasi seni paus sperma Dead Whale di Pantai Naic, ibu kota Provinsi Cavite, Filipina yang dibuat oleh seniman Biboy Royong untuk Greenpeace. Karya seni itu sebagai bagian dari kampanye bahaya sampah plastik di lautan. Foto : Vince Cinches / Greenpeace Filipina

 

Nani mengatakan, persoalan sampah plastik yang ada di wilayah laut Indonesia harus segera diselesaikan, karena berdampak pada perekonomian, ekologis, dan kesehatan masyarakat. Selain itu, sampah plastik juga akan merugikan biota laut yang ada di wilayah laut Nusantara.

Agar persoalan sampah secara bertahap bisa diselesaikan, Nani menyebut, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk mengurangi sampah plastik yang ada di laut hingga 70 persen pada 2025 mendatang.

“Oleh sebab itu, maka dilakukan upaya-upaya percepatan yang komprehensif dan terpadu, demi menanggulangi permasalahan sampah plastik di laut,” ungkapnya.

Nani menjelaskan, agar persoalan sampah plastik di laut bisa diselesaikan sebaik mungkin, pihaknya sudah menyiapkan langkah dan strategi berjenjang yang terintegrasi dengan semua pemangku kepentingan yang ada. Tanpa ragu, dia menyebut pihaknya saat ini sudah menyusun dan melaksanakan RAN yang mencakup 56 kegiatan dan empat strategi utama.

Adapun, keempat strategi yang disebut Nani, adalah perubahan perilaku masyarakat, pengelolaan sampah di daratan, pesisir dan perairan, serta mekanisme pendanaan dan penguatan jaringan kerja sama kelembagaan dan ditunjang oleh adanya riset dan inovasi teknologi.

Dalam melaksanakan kegiatan dan strategi tersebut, Nani mengatakan bahwa itu memerlukan komitmen dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjadi garda paling depan untuk wilayah laut di Nusantara. Selain dua pihak tersebut, dia menyebut, keterlibatan pelaku usaha dan masyarakat menjadi momen yang paling ditunggu untuk melaksanakan pengelolaan sampah plastik.

“Untuk itu, perlu dipertegas dengan sistem pengendalian yang lebih baik,” jelasnya.

baca : Kapan Indonesia Terbebas dari Sampah?

 

lautan sampah di laut. Foto : Caroline Power/imgur/thegoodshoppingguide.com

 

Bebas Plastik

Berkaitan dengan hari Kelautan Dunia (World Ocean Day) yang jatuh pada Jumat (8/6/2018) dan hari Segitiga Karang Dunia (Coral Triangle Day) pada Sabtu (9/6/2018), Pemerintah Indonesia kembali kampanyekan laut harus terbebas dari sampah, termasuk di kawasan Segitiga Karang Dunia yang menjadi ikon konservasi dan pariwisata di enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Solomon.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan kesehatan terumbu karang dan lingkungan perairan sangat penting untuk dijaga agar peran dan fungsi berjalan dengan baik. Bagi dia, menjaga lingkungan perairan termasuk terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan ikan adalah tugas semua pihak.

“Adanya sampah plastik dapat mengganggu mahluk hidup di air dan dapat berakibat pada industri pariwisata di laut. Samudera Bebas Plastik merupakan komitmen Indonesia membutuhkan kerja sama semua pihak,” ungkapnya, Kamis (7/6/2018).

Untuk menegaskan kampanye, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DPRL) melalui Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar bekerja sama dengan Coral Triangle Center (CTC) dan mitra terkait menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kelautan Dunia dan Hari Segitiga Karang Tahun 2018 yang dilaksanakan di kawasan Pantai Segara Sanur, Bali pada 3, 5, dan 7 Juni.

 

Mengumpulkan sampah laut di Kepulauan Seribu, Jakarta yang dilakukan oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia bersama masyarakat. Sumber: Yayasan Terumbu Karang Indonesia

 

Adapun kegiatan yang dilakukan adalah aksi bersih pantai, sosialisasi dan pemberian pemahaman kepada anak sekolah dan masyarakat. Untuk sosialisasi dikombinasikan dengan seni tari kecak dan wayang samudera. Talkshow dengan tema Samudera Bebas Plastik dan penandatanganan Komitmen Bersama mewujudkan Laut Bebas dari Sampah Plastik. Kegiatan ini ada yang dilaksanakan di Bali, Surabaya, Mataram dan Kupang yang merupakan wilayah kerja BPSPL Denpasar.

Diketahui, Segitiga karang adalah sebutan untuk wilayah geografis perairan lebih dari 6.500.000 km², dengan lebih dari 600 spesies terumbu karang dan meliputi 76 persen semua spesies terumbu karang yang ada di dunia dan merupakan ekosistem laut paling subur. Kawasan segitiga karang merupakan sumber kehidupan bagi 120 juta lebih orang di daerah pesisir, serta ribuan unit usaha baik kecil maupun besar di sektor perikanan dan pariwisata.

“Sebagai pusat keanekaragaman karang dunia, Indonesia memiliki luas sekitar 2,5 juta hektar dan menjadi rumah bagi 67 persen karang dunia yang telah memberikan berbagai manfaat termasuk pariwisata dan ketahanan pangan,” jelas Brahmantya.

Dia menjelaskan, wilayah segitiga karang terkenal dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna endemik, hutan hujan tropis, terumbu karang, hutan mangrove yang luas, dan juga beberapa species padang lamun. Lebih dari 3.000 spesies ikan termasuk paus, lumba-lumba, pari, hiu, duyung dan hiu paus-ikan terbesar di dunia, menjadikan wilayah segitiga karang sebagai tempat hidup, termasuk 6 dari 7 spesies penyu bertelur, mencari makan dan bermigrasi berada di kawasan ini.

 

Exit mobile version