Mongabay.co.id

Pilkada Jateng, Nasib Lingkungan Tak Jadi Bahasan Para Cagub

 

 

Dua kali debat pemilihan Gubernur Jawa Tengah digelar Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), namun isu lingkungan hidup tak jadi pembahasan. Mongabay bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Walhi Jawa Tengah, menggelar diskusi “Pilkada dan Nasib Lingkungan Hidup di Jawa Tengah” di Semarang, Jumat, (8/6/18).

Dalam diskusi itu, Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) menyayangkan, Jateng punya banyak masalah lingkungan tetapi tak disinggung sama sekali dalam debat pilkada KPUD. Dia bilang, masyarakat perlu tahu dan jeli melihat rekam jejak kedua pasangan.

Dia sebutkan, Ganjar Pranowo, petahana, telah mencederai rakyat Jateng dengan kebijakan tak pro rakyat berkaitan isu lingkungan, satu contoh kasus tambang semen di Pegunungan Kendeng.

Sedangkan Sudirman Said,  yang didukung antara lain Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera, juga tak membahas isu lingkungan bahkan cenderung mendapatkan stigma negatif sebagai kelompok pro konservatisme agama.

“Rasanya dari kedua calon tak ada yang memiliki konsen kuat menjaga kelestarian alam di Jateng,” katanya.

Selain itu, katanya, tak ada calon gubernur bicara persoalan bencana ekologi. Jateng, katanya,  masuk zona merah, rawan bencana baik banjir, longsor dan kekeringan, para kandidat hanya debat soal kesejahteraan rakyat.

“Tapi tolak ukurnya tak ada, buktinya investasi mengubah kawasan pertanian jadi pertambangan, infrastuktur dan pembangunan lain,” katanya.

“Kalau para kandidat janji buat lumbung pangan, tapi lahan tergantikan pabrik. Kami sudah tak percaya janji kampanye.”

Sukron Syalam, dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang berharap, baik Ganjar Pranowo dan Sudirman Said, terbuka berbicara soal konsep pengelolaan sumber daya alam dan penyelesaian konflik lingkungan.

“Narasi beredar selama ini hanya berkutat perdebatan isu ekonomi, saling serang menyerang berkaitan kasus yang diduga berhubungan dengan kandidat. Nasib lingkungan luput, padahal ancaman krisis ekologi jelas di depan mata,” katanya.

Bowo, dosen Universitas Nahdatul Ulama Jakarta mengatakan, sulit menagih komitmen para cagub di Indonesia karena negara kurang menghargai alam, termasuk apa yang dilakukan rakyat untuk menjaga alam.

Dia mencontohkan, di India, Sungai Gangga dan Yamuna jadi subjek hukum. Begitu juga di Selandia, sungai juga ditetapkan sebagai subjek hukum yang harus dilindungi dan dilestarikan.

“Di Kendeng, perjuangan sedulur petani Kendeng menjaga sumber mata air tak dianggap pemerintah.”

Eko dari Komunitas Kalam Kopi Semarang mengatakan, sebagai pemuda berasal dari Grobogan, panik, karena dapat kabar pada 2016 dibangun pabrik semen.

Sebelum pabrik semen, katanya, sudah banyak industri di dekat desanya. “Fenomena di Grobogan dari 2000 sampai 2018, lahan pertanian yang jadi pilar ekonomi masyarakat berkurang 16%.”

Senada dikatakan Fahmi dari Walhi Jateng. Dia bilang, tak ada kandidat bicara persoalan dampak energi kotor batubara bagi rakyat dan lingkungan hidup.

Jateng, katanya, jadi hulu dari industri listrik tak ramah lingkungan, PLTU batubara. Ada sembilan titik PLTU di Jateng.

Sejak 2014, ketika pemerintah provinsi memiliki wewenang pemberian izin, fenomena obral izin makin marak.

Pilkada Jateng, katanya, cenderung tenang dibandingkan pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur. Isu lingkungan tak pernah muncul dalam debat kandidat. Konsentrasi mereka, katanya, hanya pada isu ekonomi.

Kedua kandidat cenderung bermasalah, misal, Sudirman Said,  ketika menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral jadi aktor PLTU berdiri. Ganjar Pranowo jadi gubernur yang memuluskan proses ekspansi energi kotor batubara lewat PLTU.

Data Aliansi Masyarakat Sipil di Jateng, menyebutkan, pada 2014, PLTU batubara Jateng, penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar yaitu 33% dengan 21.383.98 giga ton karbon dioksida dan naik setiap tahun.

 

Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Emisi PLTU Tanjung Jati pada 2014 mencapai 7.502,85 ton dan di PLTU Rembang 2.170,38 ton gg CO2e. Ada lima daerah di Jateng sudah membangun PLTU yaitu Jepara, Semarang, Rembang, Cilacap dan Batang.

Pemerintah berencana membangun PLTU pada lima daerah lain yaitu Kendal, Demak, Pekalongan, Pemalang dan Brebes seperti draf Revisi Perda RTRW Jateng 2009-2029.

“Dari kajian lingkungan hidup strategis revisi RTRW Jateng, akibat pembangunan kawasan industri akan mengubah penggunaan lahan 34.298,18 hektar yang permukiman, hutan, mangrove, kebun, sungai, sawah basah dan sawah kering,” kata Fahmi.

Pesisir dan laut, juga terus mengalami degradasi lingkungan karena operasi dan pembangunan kawasan industri, operasi PLTU batubara, sampah, penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan, maupun reklamasi pantai.

Estimasi GRK dari perubahan lahan 34.298,18 hektar setara 764.292,18 ton CO2, belum termasuk kalau kawasan industri terbangun dan menimbulkan emisi.

“Pada 2004, GRK Jateng 38.409,34 giga ton karbon dioksida, dan dalam 10 tahun naik 68,7% jadi 64.799,91 giga ton karbon dioksida.”

Samuel Rajaguguk dari LBH Semarang mengatakan, problem juga berkaitan dengan pembebasan lahan untuk tol, dan penetapan kawasan hutan.

Tak ada calon gubernur bicara penyelesaian konflik agraria, bahkan kebijakan-kebijakan membuka potensi konflik.

Dia contohkan, konflik agraria di Kendal. Ada dua bidang tanah fiktif, tetapi mendapatkan alokasi ganti rugi. Belum lagi, Perda RTRW Jateng akan revisi tahun ini.

Perda RTRW menentukan berbagai proyek jangka panjang seperti pembangunan tol, kawasan industri, kawasan permukiman, pertambangan, pertanian, dan lain-lain.

“Kita harus bersama-sama mengawal proses legislasi penting ini agar sesuai kebutuhan Jateng yaitu keberlanjutan lingkungan yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat.”

Belum lagi soal bencana ekologi.  “Kerusakan ekologi Jateng parah dan bencana tinggi. Kandidat gubernur tak ada bicara krisis rakyat ini,” kata Samuel.

Data dihimpun Walhi Jateng dan LBH Semarang, dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD) Jateng mencatat, 2017, dari 2.341 bencana di Indonesia, Jateng penyumbang terbesar yaitu 600 kejadian (26%). Kebanyakan bencana banjir, puting beliung, longsor dan kekeringan.

Umi dari Front Nahdliyin untuk Keselamatan Sumber Daya Alam (FNKDSA) mengatakan, kedua kandidat tak bisa diharapkan berkomitmen pada lingkungan. “Kami tetap tidak akan terpengaruh siapapun yang terpilih jadi gubernur nanti. Calon hanya fokus pada kesejahteraan diri dan pendukung mereka.”

 

Suasana diskusi tentang Pilkada dan Nasib Lingkungan di Jateng di Semarang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dana kampanye

Gunretno juga menyinggung dana kampanye. Baginya, harus ada keterbukaan dari KPUD Jateng dari mana asal dana kampanye kandidat hingga publik tahu apakah ada dari perusahaan perusak lingkungan atau tidak.

Menurut Sukron, banyak operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap kepala daerah erat kaitan dengan biaya politik.

Hasil riset KPK 2015, biaya pencalonan mahal, bisa sampai Rp20-Rp30 miliar untuk level kabupaten dan kota dan Rp100 miliar untuk gubernur.

Jadi, memungkinkan sekali galangan dana kampanye kandidat dari pengusaha-pengusaha yang memiliki potensi ijon politik.

Menurut dia, ada kesenjangan laporan biaya kampanye antara total laporan ke penyelenggara dengan pengeluaran asli. Pengaturan besaran sumbangan kampanye individu maupun lembaga, katanya,  masih memiliki potensi penyelewengan. Belum lagi, mayoritas penyandang dana politik berharap mendapatkan imbalan dari kandidat terpilih yang mereka danai.

“Imbalan ini bentuknya berupa harapan mendapatkan kemudahan izin usaha, jenjang karir, dan lain-lain,” katanya.

Percampuran kepentingan publik dengan kepentingan pribadi, katanya, jadikan hajatan demokrasi ternodai. Untuk itu, perlu upaya menekan KPU membuka laporan penyumbang dana kampanye kandidat. “Minimal kita mendapatkan gambaran arah kebijakan kandidat terpilih dari daftar penyumbang dana kampanye kandidat.”

Bukan itu saja, katanya, juga perlu menuntut transparansi penggunaan dana kampanye.

Selama ini, katanya, visi misi kandidat hanya jadi diskursus saat debat kandidat, tak ada perdebatan di ruang publik.

 

PLTU batubara memberikan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version