Mongabay.co.id

Pilkada di Provinsi Batubara, Begini Suara Warga (Bagian 1)

Desa Mulawarman, dulu lumbung pangan, sekarang terkepung tambang batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Hari itu, Rahmawati,  tak enak badan. Sehari sebelumnya dia berobat ke dokter. Dia kelelahan. Dokter menyarankan, Rahma banyak istirahat, tetapi memilih tetap kerja agar penghasilan keluarga mencukupi, tak hanya bergantung suami.

“Dulu jika ada almarhum (Raihan), sakit begini, dia sudah pijit dan masakin mie buat saya,” kenang Rahma.

Muhammad Raihan, anak Rahma, korban anak-anak kesembilan yang tewas di lubang bekas tambang batubara PT Graha Benua Etam, di Samarinda, Kalimantan Timur. Hingga kini di Kalimantan Timur, yang terdata 28 anak meninggal dunia di lubang maut karena perusahaan tambang tak reklamasi.

“Dulu saya sampaikan ke gubernur dan Ibu Menteri Siti Nurbaya, jangan lagi anak jadi korban di lubang tambang. Cukup saya merasakan, jangan ada lagi ibu yang kehilangan anak,” katanya kepada Mongabay.

Sayangnya, tak ada respon tegas dari kepala daerah di Samarinda dan gubernur, perusahaan tambang dibiarkan terus merusak dan korban bertambah. Berbagai cara, katanya sudah dia lakukan menuntut keadilan. Hampir empat tahun sejak Raihan tewas, tak ada tindakan hukum kepada perusahaan.

 

***

Awal 2018, rumah Rahma didatangi petugas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Samarinda, mendata pemilih tetap untuk pemilihan gubernur Juni 2018. Stiker sudah terpajang di jendela rumah, terdata dua pemilih. Rahma, tak peduli pilkada gubernur dan wakil gubernur. Katanya, sudah tahu track record para calon, tak ada yang peduli para keluarga korban tambang, semua dekat dengan tambang batubara.

Kaltim, merupakan daerah produsen batubara terbesar di Indonesia. Data dari Dinas Pertambangan dan Energi Kaltim, pada 2017, produksi batubara daerah ini lebih 82 juta ton, dari perusahaan berizin usaha pertambangan belum termasuk pemegang izin perjanjian karya pengusaha pertambangan batubara (PKP2B) alias perizinan dari pusat.

“Saya berpikir buat apa memilih mereka, yang dipilih itu-itu juga. Selama ini,  saya mengadu tak pernah direspon,” katanya.

Ada yang bikin Rahma sakit hati hingga kini. Kala itu, wakil gubernur dan Wali Kota Samarinda berjanji menutup lubang tambang tempat Raihan tenggelam. Janji itu tak terpenuhi, lubang tambang ditutup urukan tanah, tetapi tak dipagari, hanya beberapa ditutup lembar seng bekas.

 

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dia juga menilai, para calon tak visi misi soal krisis lingkungan Samarinda. Banjir di berbagai tempat, tak ada solusi.

“Saya dan suami tak akan datang ke TPS. Tak yakin juga mereka akan selesaikan persoalan lubang tambang di sini (Kaltim),” katanya.

Dia bilang, sudah ada calon gubernur datang ke rumahnya, berjanji selesaikan kasus anak mati di lubang tambang. Dia tak peduli.

Menurut Rahma ada yang aneh, calon berencana jadikan lubang dan lokasi berkas tambang jadi kebun sawit.

“Dia mengeluh soal lubang tambang, janji akan selesaikan, tapi kok jadi sawit.”

Walaupun tak akan memilih, namun Rahma punya saran dan harapan untuk gubernur terpilih nanti. Katanya, agar gubernur memperhatikan para korban tambang batubara, dan selesaikan reklamasi lubang tambang.

Ketika ditanya, apakah 28 kasus anak meninggal di lubang tambang akan selesai oleh gubernur terpilih nanti? Rahma tak yakin.

Allahualam. Sepertinya tetap mandeg,” kata Rahma.

Raihan meninggal di lubang bekas tambang batubara kala pulang sekolah. Ketika itu, dia berusia 10 tahun.

 

Kampung jadi ‘milik’ perusahaan

Masalah warga dengan industri ekstraktif juga diceritakan Rukka, warga Rukun Tetangga 6, Sungai Nangka, Kelurahan Teluk Dalam, Kabupaten Kutai Kartanegara. Dia tinggal sejak 1980 di kampung itu.

Sekitar 1970, dia menyusuri sungai dengan sampan, mencari lahan kosong untuk bermigrasi dan bertani. Ketika menyusuri Sungai Nangka, dia menemui rel kereta kayu peninggalan Belanda.

Menurut Rukka, rel-rel itu dulu untuk mengangkut kayu-kayu dari hutan ke pinggiran sungai. Melihat itu, Rukka memutuskan tanam sesuatu di sana. Hasilnya,  tumbuh subur. Dari situlah dia menanam padi.

“Kami tanam padi tumbuh baik, tanam buah juga baik,” katanya.

Hingga 1980an,  dia memutuskan bikin kampung. Rukka mengajukan permohonan ke kantor kelurahan. Kala itu, lurah mengatakan, jika ingin bikin kampung, harus menetap, dan bikin langar (musholla).

Rukka mengiyakan. Semua keluarganya diajak, termasuk di Sulawesi. Dulu ada 55 keluarga, kini hanya 27 keluarga bertahan. Mayoritas warga bertani, tanam padi, lada, cabai, terung, singkong, durian, dan rambutan. Ada juga tanam sengon.

Sekitar 2011,  perusahaan sawit PT. Perkebunan Kaltim Utama I (PKU I) dan pertambangan batubara masuk dan mengklaim memiliki hak atas tanah perkampungan Rukka dan kelompok Tani Maju Bersama.

“Kami lawan, kalau perusahaan bilang punya bukti sah, kami juga punya bukti sah,” katanya.

Berbagai upaya mereka lakukan dari mengadu ke bupati, dinas terkait, gubernur hingga menteri. Hingga kini,  kasus masih belum ada kejelasan. Gubernur pernah janji selesaikan kasus, dan akan membela rakyat. Ketika didatangi perusahaan, yang ditawarkan mekanisme pembagian hasil. Rukka dan kelompok tani, di Kutai Kartanegara, menolak opsi itu.

Perusahaan pun pernah menawari membeli lahan pertanian warga, kata Rukka, Rp5 juta perhektar. Rukka menolak, bahkan bersedia membeli semua lahan perusahaan jika Rp5 juta perhektar.

“Tuntutan kami tiga hal, kembalikan kampung seperti semula, pulihkan tanaman kami, keluarkan lahan kami dari HGU dan IUP batubara,” kata Rukka.

Soal pilkada nanti, katanya, hingga kini belum tahu mau pilih yang mana. Dia akan melihat dulu kandidat yang benar-benar bisa menyelesaikan kasus di Sungai Nangka. Semua calon bicara janji manis, realisasi biasa pahit.

Masalah mereka tak hanya perampasan HGU perkebunan sawit PKU I, juga tumpang tindih dengan pertambangan batubara PT Kutai Energi. Perusahaan batubara ini, katanya, memiliki lubang bekas tambang batubara tak reklamasi.  Air lubang tambang langsung mengalir ke Sungai Nangka.

Mongabay menyusuri perkebunan sawit milik PKU I, di pinggiran proyek Tol Samarinda–Balikpapan dan melihat lubang-lubang tambang milik Kutai Energi, berdekatan dengan lahan pertanian kelompok Tani Harapan. Sebuah lubang besar berukuran lapangan sepak bola dan air berwarna biru dan hijau.

Kala itu, air Sungai Nangka coklat,  berlumpur. Menurut Rukka, dulu air Sungai Nangka, bersih, warga mandi, minum, memasak dan minum ternak. Kini, tak bisa lagi.

“Dulu banyak ikan, air bersih, kini kalau ternak minum air sungai ketika kemarau, kulit korengan,” katanya.

Di Kampung Sungai Nangka, saya melihat musholla tegak berdiri, walau tak lagi digunakan sejak perusahaan masuk. Rumah-rumah kayu masih berdiri walau ditempati ketika musim tanam dan panen saja. Warga kini dilarang menggarap lahan pertanian yang sedang berkonflik, mereka hanya tanam di lahan dekat rumah.

 

 

Rukka dan kelompok tani, terus berjuang mengembalikan lahan mereka. Mereka ingin segera bertani. Menurut dia, jika tanam sawit pendapatan sebulan paling Rp3 juta perhektar. Kalau padi, lada dan tanaman lain, bisa dapat Rp10 juta perbulan.

Dia berharap, Presiden Joko Widodo alias Jokowi, bisa keluarkan lahan pertanian mereka dari HGU sawit PKU I. Dia ingin kembali membangun kampong ini. Sampai kini Rukka masih sebagai ketua rukun tetangga. Kini, kampung Sungai Nangka, tepat dipinggir Tol Samarinda–Balikpapan.

“Semoga Pak Jokowi bantu kami, keluarkan lahan dari HGU sawit, biarkan kami bertani dan kembalikan sungai kami,” kata Rukka penuh harap.

 

***

Dua jam perjalanan dengan mobil dari Samarinda, saya tiba di Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mulyono, Kelapa Desa Mulawarman,  sudah menunggu saya di kantor desa.

Pada 1989, desa ini terkenal subur, kaya sumber air, dan lumbung pangan Kutai Kartanegara. Kini desa itu terkepung tambang batubara.

“Daerah ini jadi lumbung pangan, kini hilang,  jadi tambang,” katanya, awal April lalu.

Mulyono bercerita, secara geografis, dulu warga sebagai petani, ada tambang sebabkan lahan pertanian hilang. Sejak lima perusahaan tambang batubara pada 2003, beroperasi, perlahan desa yang awal-awal lebih 2.000 hektar dan didominasi pertanian, sisa 70 hektar. Ada dua perusahaan tambang batubara bersebelahan langsung dengan desa yakni PT Kayan Prima Utama Coal dan PT Jembayan Muara Bara. Keduanya tak hanya menghilangkan sumber air bersih warga, juga polusi udara dan getaran luar biasa ketika blasting (peledakan).

“Sumber air hilang, debu juga jadi soal. Blasting bikin warga resah. Baru ada warga melapor, barang dagangan rusak dan berjatuhan karena blasting,” kata Mulyono.

Mongabay mendatangi rumah-rumah warga yang terdampak peledakan. Jarak rumah hanya sekitar 20 meter dari aktivitas penambangan. Getaran kuat terasa. Beberapa warga bahkan keluar, takut rumah mereka roboh.

Bagi Mulyono, tambang datang, ada dampak positif dan negatif. Positinya, ada warga menerima kompensasi perubahan lahan, namun hanya sedikit. Negatifnya, lebih besar. “Tak hanya peledakan rumah warga retak, tapi persoalan mata air untuk kebutuhan harian hilang.”

Dia kewalahan mengatasi persoalan air bersih. Dia sudah menuntut ke perusahaan tambang dan pemerintah, sudah ada komitmen dan masih berproses.

Saat ini,  katanya, keperluan mandi dan buang air besar dibantu perusahaan, namun jumlah air tak cukup. Untuk minum mereka harus beli.

Di Desa Mulawarman, katanya, ada 812 keluarga, dengan sekitar 3.000 jiwa. Kini, warga hanya bekerja sebagai buruh tani di desa lain yang masih punya lahan. Perekonomian warga, katanya, makin sulit, bahkan sangat memprihatinkan.

“Tak ada lagi lahan bercocok tanam. Hidup pas-pasan. Tambang tak berikan manfaat di desa kami,” katanya.

Mulyono tak putus asa. Dia beranikan diri bertemu Pejabat sementara (Pjs) Bupati Kutai Kartanegara, dan Gubernur Kalimantan Timur untuk membantu persoalan di desa.

Respon bersambut. Awank Faroek, Gubernur Kaltim meminta perusahaan merespon cepat, terutama soal kebutuhan air. Mulyono bahkan mempersiapkan rencana pertanian di lahan bekas tambang, walau belum tahu kapan bisa terealisasi.

Mulyono, bilang, persoalan terjadi karena dinas tak pernah turun mengawasi aktivitas tambang. Buktinya, jarak tambang dekat pemukiman warga. Aturan tambang minimal 500 meter dari pemukiman, tetapi di desa Mulawarman berjarak puluhan meter.

“Pelanggaran perusahaan tak ditegur, diberikan sanksi, tapi dibiarkan. Jika tak ada aturan pelarangan tambang dekat pemukiman warga, dibuatlah. Jika ada tegakkan hukumnya,” kata Mulyono.

Masalah lain, polusi udara dan benda kimia dari peledakan. Banyak warga gangguan pernapasan. Pada 2007,  seorang bayi tiga kali dirawat di rumah sakit, dan dokter menyarankan orang tua pindah alias tak tinggal di Desa Mulawarman.

Dengan berbagai permasalahan warga ini, pilkada nanti, Mulyono tetap akan ke TPS. Sebagai kepala desa, dia harus mengajak warga memilih.

Dia berharap, siapapun Gubernur Kaltim, harus memperhatikan masyarakat bawah, terutama yang terdampak pertambangan batubara. Dia meminta, izin-izin tambang dievaluasi agar lahan produktif tak tergantikan lagi jadi tambang.

Raswi,  warga Desa Mulawarman, Raswi, di RT 1, Dusun Karyabhakti, kilometer 16, mengeluhkan hal serupa. Belakang rumah dia persis lokasi peledakan tambang. Hanya berjarak 10 meter. Awalnya, dia ikut program transmigrasi tahun 1998. Kala itu, di kampung dia kaya sumber air, apapun ditanam subur, dan lumbung padi. Perusahaan-perusahaan kayu beroperasi, namun warga terlibat dan keuangan lancar. Kalaupun jadi buruh tani, tak harus jauh ke desa sebelah.

“Sekarang mati semua ruang perekomian warga. Semua karena tambang. Warga harus keluar desa untuk cari nafkah,” katanya.

 

Rukka menunjukkan lokasi lubang bekas tambang batubara yang mengalir ke Sungai Nangka, dan kini sungai tak bisa digunakan lagi. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar 2000, perusahaan masuk, masyarakat mulai khawatir perekonomian memburuk. Kala itu, tak ada sosialisasi ke masyarakat, tiba-tiba perusahaan muncur. Warga satu-persatu jual sawah mereka. Raswi yang hanya buruh tani tak lagi bisa kerja.

Tak hanya itu, kini air saja warga harus beli, air sumur sudah tak layak, kalau dipakai kulit gatal.

“Kami minta relokasi tak dipenuhi. Saya ingin dipindahkan saja, sudah tak layak. Takut kalau rumah roboh ketika peledakan,” kata Raswi.

Bicara pilkada, Raswi tak peduli. Baginya, mencari kerja agar tetap bisa makan lebih penting. Dia tak pernah melihat wajah para pasangan calon gubernur. Jikapun nanti harus memilih, hanya ikut-ikutan.

Meskipun begitu, Raswi ingin gubernur terpilih memikirkan masyarakat agar layak hidup dan tak sulit air bersih.

Menurut dia, dampak tambang mulai dari penyakit, debu, sampai pernapasan. Perusahaan, katanya,  hanya berikan kompensasi perbulan Rp300.000, tak semua warga dampak dan jelas tak cukup.

Duit sebesar itu, katanya, buat beli air bersih sudah habis. “Ketika menstruasi benar-benar bingung. Kami harus beli tapi duit tak ada. Kami disini ingin menjerit, tapi ke siapa lagi,” kata Raswi.

Tiap hari, dia harus keluarkan uang Rp5.000, untuk beli satu gallon air bersih di agen. Empat galon dua hari. Beli satu tandon ukuran 500 liter air bayar Rp50.000 untuk tiga hari. Sedangkan penghasilan tak ada, semua harus beli. (Bersambung)

 

Spanduk protes warga di Sungai Nangka terhadap Pilgub di Kaltim. Mereka pertanyakan apa manfaat memilih terhadap kelestarian alam. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version