Mongabay.co.id

Ikan Bubara Kini Tak Bergantung pada Alam Lagi. Kenapa?

Masyarakat yang tinggal di kawasan Indonesia Timur (KTI), selama ini sudah mengenal baik dan terbiasa mengonsumsi Ikan Bubara (Caranx sp) sebagai salah satu lauk andalan. Ikan tersebut disukai warga di sana, karena lezat dengan tekstur daging yang lembut. Biasanya, ikan bubara disajikan sebagai menu ikan bakar dan menjadi sajian khas di Indonesia Timur.

“Ikan bubara dikenal dengan cita rasanya yang lezat dan dikenal luas khususnya di kalangan masyarakat Indonesia Timur. Hampir secara umum restoran di kota-kota Indonesia Timur menyajikan ikan bakar bubara sebagai menu khas,” jelas Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto, belum lama ini di Jakarta.

Sehingga ikan bubara menjadi incaran para nelayan. Sejauh ini, menurut kebutuhan ikan tersebut masih sangat bergantung pada hasil tangkapan di alam.

baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

 

Seorang nelayan menangkap ikan kumbara atau ikan kuwe. Foto : khasiat.co.id/Mongabay Indonesia

 

Agar ketergantungan pasokan dari alam bisa terus berkurang, Slamet mengatakan, perlu ada terobosan baru untuk melakukan budidaya ikan tersebut. Dan, upaya tersebut dilakukan Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon melalui pengembangan teknologi untuk produksi massal ikan yang juga dikenal dengan sebutan ikan Kuwe.

“Ini terobosan baru, kita berhasil produksi massal ikan Bubara,” ucapnya.

Menurut Slamet, BPBL Ambon sukses membenihkan ikan kuwe secara massal melalui serangkaian uji perekayasaan yang cukup panjang. Keberhasilan tersebut, menjadi terobosan penting dalam pemanfaatan varian jenis komoditas ikan yang ada di Indonesia. Bagi sektor perikanan budidaya, itu menjadi tambahan ragam jenis komoditas yang diperhitungkan di masa mendatang.

Jenis ikan bubara memiliki pertumbuhan yang cepat, memiliki tingkat kelulushidupan (SR/survival rate) yang tinggi dan relatif tahan terhadap infeksi penyakit. Karakternya sebagai ikan pelagis dan sangat aktif menyebabkan ikan ini lebih adaptif terhadap pakan dan perubahan lingkungan.

Disisi lain, Slamet melihat kalau pangsa pasar ikan bubara cukup luas khususnya untuk mengisi kebutuhan domestik. Cita rasa dagingnya yang baik sehingga disukai masyarakat, khususnya yang tinggal di Indonesia Timur.

baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?

 

Seekor Ikan Bubara (Caranx sp). Foto : Agrowindo/Mongabay Indonesia

 

Dengan keberhasilan melakukan produksi massal, Slamet mengatakan, itu akan menjadi peluang bagus untuk dunia bisnis perikanan budidaya. Untuk itu, produksi ikan bisa ditingkatkan dengan cepat sesuai dengan permintaan pasar yang menjadi kebutuhan.

“Langkah awal, nanti saya akan minta BPBL Ambon mempercepat pengembangannya di masyarakat, baik melalui diseminasi maupun dukungan benih ke para pembudidaya,” tandasnya.

 

Kendala Induk

Sebelum meraih kesuksesan melakukan pembenihan massal, kesulitan sempat dirasakan oleh tim BPBL Ambon. Bahkan, Kepala BPBL Ambon Tinggal Hermawan menyebutkan jika proses panjang harus dilalui melalui perekeyasaan yang berkali-kali dengan berbagai kendala.

“Keberhasilan produksi benih ikan bubara merupakan buah hasil perekayasaan yang cukup panjang,” tuturnya.

Tinggal mengatakan, permasalahan yang dihadapi saat itu, adalah sulitnya mendapatkan induk yang matang dan kontinyu sepanjang tahun. Selain itu, ditemukan juga kesulitan teknik pemijahan yang belum optimal dan SR larva yang sangat kecil dibawah 1 persen. Akan tetapi, untuk saat ini, SR sampai ukuran benih siap tebar di keramba jaring apung (KJA) bisa mencapai 10 persen.

Menurut Tinggal, setiap pasang induk mampu melakukan produksi antara 1,5-2 juta butir telur. Sementara, pada fase pembesaran, sampai ukuran konsumsi rata-rata 500 gram/ekor dibutuhkan waktu pemeliharaan 5-6 bulan. Pada fase tersebut, tingkat SR mencapai 90 persen.

baca : KKP Bakal Kerja Keras Genjot Perikanan Budidaya Indonesia Timur

 

Ikan Bubara (Caranx sp) yang berhasil dikembangkan perbenihannya oleh Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, Tinggal menjelaskan, ada 73 ekor induk aktif dan 100 ekor calon induk, berbobot rerata 7-12 kg, dimana untuk mendapatkan induk aktif ini dibutuhkan waktu kisaran 3 hingga 4 tahun. Selanjutnya, stok akan terus ditambah untuk memenuhi kebutuhan benih yang diperkirakan akan terus mengalami kenaikan.

“Saat ini BPBL Ambon terus melakukan perekayasaan perbenihan, salah satunya dengan uji coba aplikasi hormon pada induk dan hasilnya sangat efektif dalam memproduksi benih berkualitas secara massal,” ungkapnya.

Tinggal memastikan pihaknya terus mendorong pengembangan budidaya ikan Bubara, terutama yang ada di masyarakat, dengan memberikan bantuan benih untuk pembudidaya.

“Respon masyarakat juga sangat baik, sehingga saya optimis ikan bubara ini akan menjadi primadona baru jenis ikan laut budidaya,” katanya.

Diketahui, di Teluk Ambon Dalam saat ini ada sekitar 10 pembudidaya yang telah menggunakan benih Bubara hasil budidaya, dengan target panen pada akhir Juni 2018. Di Kota Ambon, Maluku ikan dihargai antara Rp65 ribu-Rp75 ribu untuk 2-3 ekor/kg.

baca : Menjawab Tantangan Pangan Global, Ini Teknologi Budidaya untuk Industri Akuakultur. Seperti Apa?

 

Ikan Bubara (Caranx sp) yang berhasil dikembangkan perbenihannya oleh Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Teknologi Akuakultur

Sebelum mengembangkan pembenihan ikan Bubara, Slamet Soebjakto juga mendorong perikanan budidaya mengadopsi teknologi mutakhir untuk pelaksanaan produksi. Salah satu teknologi yang bisa menjawab tantangan saat ini, adalah Resirculating Aquaculture System (RAS). Teknologi tersebut sudah diterapkan dan membuahkan hasil yang bagus dalam industri perikanan budidaya.

Selain RAS, Slamet mengatakan, teknologi lainnya yang dikembangkan adalah biofiltration system, budidaya lele sistem bioflok, dan penerapan sistem resirkulasi tertutup (closed recirculation system). Semua teknologi tersebut, mampu mengefisiensikan penggunaan air hingga lebih dari 80 persen. “Namun menghasilkan output produktivitas ikan hingga 100 kali lipat dibanding sistem konvensional,” jelasnya.

 

baca : Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?

 

Sementara, teknologi biofiltration system, saat ini juga mulai diterapkan di Indonesia, dengan mengefektifkan sistem filtrasi sehingga menghasilkan kualitas air yang stabil dan penggunaan air yang efisien bahkan bisa ditekan dengan tanpa dilakukan pergantian air.

Selain itu, Slamet menambahkan, saat ini penerapan budidaya intensif lele dengan sistem bioflok juga telah dikenal luas di masyarakat. Penggunaan teknologi bioflok, juga mampu menghemat penggunaan air hingga lebih 80 persen, sementara output limbah budidaya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai tambah yakni diintegrasikan dengan sistem aquaponik.

“Sistem ini juga mampu menggenjot produktivitas ikan hingga 10 kali lipat dibanding konvensional,” sebutnya.

baca : Kampung Bioflok untuk Ketahanan Pangan Papua Barat. Seperti Apa?

 

Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Terakhir, Slamet menerangkan, teknologi yang sedang dikembangkan adalah closed recirculation system yang diterapkan pada budidaya di tambak. Teknologi tersebut, juga mampu menekan penggunaan air semaksimal mungkin, khususnya penggunaan air tawar.

Semua teknologi tersebut menjadi upaya menghadapi tantangan global ke depan, khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan di tengah krisis ekologi, utamanya keterbatasan sumber daya air. Ke depan, dia berharap paradigma pengelolaan akuakultur bisa lebih bijak dalam berfikir.

“Bahwa alam memiliki keterbatasan optimum dalam mendukung kehidupan, sehingga pengelolaan harus dilakukan secara bertanggungjawab,” tandasnya.

Slamet menambahkan, dari ulasan beberapa pakar di dunia, diketahui kalau pengembangan akuakultur akan memicu konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya air. Tetapi, jika digunakan teknologi yang tepat seperti dijabarkan di atas, pernyataan para pakar tersebut dapat dihindari.

“Melalui penerapan inovasi teknologi dan penerapan produksi bersih dalam proses budidaya, maka tantangan besar terkait krisis air dan ketahanan pangan mampu dihadapi dengan baik,” sebutnya.

Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Minahasa, Sulawesi Utara Fernando S mengungkapkan, prinsip dasar teknologi RAS di seluruh dunia memiliki kesamaan, yaitu memanfaatkan air sebagai media pemeliharaan secara berulang-ulang dengan mengendalikan beberapa indikator kualitas air agar tetap pada kondisi prima.

Untuk teknologi tersebut, Fernando mengatakan, pihaknya sudah melakukan modifikasi sesuai kondisi yang ada. Selain itu, untuk menekan biaya menjadi lebih murah, peralatan yang gunakan juga menggunakan produk dalam negeri.

“Tujuannya sudah jelas, produk dalam negeri bisa menekan biaya dari sisi investasi,” jelasnya.

Fernando memaparkan, penggunaan teknologi RAS dalam perikanan budidaya bisa dilakukan dengan biaya murah sebesar Rp80 juta saja. Dengan biaya sebesar itu, pembudidaya sudah bisa membiayai pemasangan teknologi RAS yang dikembangkan dan mencakup di dalamnya adalah alat-alat yang digunakan seperti O2 generator, tanki filter, venturi, blower, ultraviolet, dan material lainnya.

Dengan biaya tersebut, Fernando menuturkan, pembudidaya sudah bisa memiliki peralatan yang bisa digunakan untuk pemakaian selama enam tahun dan nilainya jauh lebih murah dibandingkan dengan sistem serupa yang didatangkan langsung dari negara lain dan nilainya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

“Saya katakan ini RAS hasil karya anak negeri, dengan hasil yang tidak jauh beda dengan sistem RAS lain, namun dengan harga yang jauh lebih murah,” sebutnya.

 

Exit mobile version