Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?

Perkembangan sektor perikanan budidaya di Indonesia untuk saat ini dinilai masih kalah jauh dari ‘saudara’nya, sektor perikanan tangkap. Indikasi tersebut, dilihat dari jumlah produksi yang dilakukan sepanjang tahun sejak sektor perikanan budidaya dikembangkan di Indonesia pada 1950.

Praktisi Perikanan Budidaya Budi Prawira Sunadim dalam sebuah kesempatan di Bandung, Jawa Barat, Senin (06/02/2017), mengatakan, meski Pemerintah Indonesia terus menggenjot produksi perikanan budidaya dalam beberapa tahun terakhir, namun potensinya tidak sebesar perikanan tangkap.

Salah satu sebabnya, kata dia, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memanfaatkan dengan baik potensi keramba jaring apung (KJA) yang bisa membantu produksi dengan jumlah masif. Kenyataan tersebut, bertolak belakang dengan negara perikanan lain yang sudah memanfaatkan KJA untuk meningkatkan produksinya.

 

 

“Tiongkok itu sudah beberapa langkah di depan Indonesia. Mereka sudah punya KJA modern dan ramah lingkungan. Produksinya pun sudah jauh di atas Indonesia,” ucap dia.

Budi menjelaskan, bagusnya produksi perikanan budidaya di negeri Tirai Bambu, dilihat dari sumbangan produksi dari KJA yang bisa mencapai 39 juta ton ikan per tahun. Jumlah tersebut berasal dari 1,5 juta KJA yang semuanya sudah modern dan ramah lingkungan.

Sementara, di Indonesia, kata Budi, produksi ikan dari KJA jumlahnya masih di kisaran 3,1 juta ton per tahun. Jumlah tersebut, berasal dari 30.000 unit KJA dan 15.000 unit KJA diantaranya sudah berstatus modern dan ramah lingkungan.

“Itu sangat jauh jumlahnya. Jangan dilihat dari jumlah penduduk, karena itu berbeda. Jumlah penduduk sedikit bisa juga menghasilkan produksi yang banyak. Tapi di Indonesia tidak. Penduduknya banyak, tapi produksinya sedikit,” sebut Presiden Direktur PT Gani Arta Dwitunggal itu.

Menurut Budi, sedikitnya jumlah KJA yang modern dan ramah lingkungan di Indonesia, ikut mempengaruhi jumlah produksi perikanan budidaya secara keseluruhan. Karena itu, harus ada revitalisasi menyeluruh KJA hingga semuanya sudah memenuhi standar internasional dan ramah lingkungan.

“Jelas kalau 15 ribu KJA yang ada harus dilakukan revitalisasi. Harus dilakukan segera,” sebut dia.

Mengingat keterbatasan jumlah KJA yang ada sekarang, Budi terlihat pesimis kalau target produksi perikanan budidaya akan tercapai pada 2017 ini. Dia melihat, justru produksi akan kembali melambat di tahun ini.

Dengan tegas, Budi juga melihat bahwa tahun ini, produksi perikanan budidaya justru akan mengalami keterpurukan melebihi dari capaian 2016. Prediksi itu, dilihat dari semakin sulitnya pengusaha budidaya untuk melaksanakan usahanya dengan baik.

“Salah satunya, karena berkaitan dengan regulasi yang dibuat oleh KKP. Beberapa regulasi KKP itu tidak populer. Itu yang menyebabkan produksi tidak akan bertambah baik lagi,” kata dia.

 

Salah satu keramba jaring apung (KJA) di Simalungun, Danau Toba, Sumatera Utara. Foto : Jay Fajar

 

Salah satu contoh regulasi yang dinilai tidak tepat adalah kebijakan tentang pengaturan pengangkutan ikan hidup yang ada di KJA di seluruh Indonesia. Dalam regulasi tersebut, ikan hidup dibatasi pengangkutannya dengan jumlah kapal yang terbatas.

“Saya melihat 2017 ini menjadi puncak kematian usaha budidaya (KJA) di Indonesia. Itu semua Karena regulasi pemerintah yang mematikan,” tegas Budi.

 

Target Produksi  22,46 Juta Ton

Mencegah terjadinya kembali kegagalan produksi seperti 2016, KKP fokus untuk mempelajari kelemahan yang menjadi penyebab utama pada tahun lalu. Dengan cara itu, diharapkan tahun ini produksi bisa kembali bagus. Adapun, KKP menargetkan bisa mencapai produksi 22,46 juta ton atau naik tiga juta ton dari target produksi 2016 sebanyak 19,46 juta ton.

(baca : Demi Target Produksi 2017, Perikanan Budidaya Pelajari Kegagalan Produksi 2016)

Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya akan menggenjot program kerja prioritas yang dilaksanakan pada 2017. Di antaranya, adalah produksi dari keramba jaring apung (KJA) lepas pantai (offshore) yang dibangun di tiga lokasi terpisah.

“Teknologi KJA lepas pantai tersebut mengadopsi dari teknologi yang diterapkan oleh Swedia sebelumnya. Kita optimis bisa membuat KJA lepas pantai sebagai salah satu lumbung produksi untuk perikanan budidaya,” ucap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebijakto.

Slamet menuturkan, yang membedakan produksi di Swedia dan Indonesia, adalah komoditas ikan yang dikembangkan. Jika di Swedia dipilih ikan salmon, maka di Tanah Air akan dikembangkan komoditas kakap putih.

(baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?)

Menurut Slamet, pemilihan kakap putih juga dilakukan karena komoditas tersebut menjadi andalan dan merupakan jenis ikan laut yang tidak harus dijual dalam kondisi hidup. Dengan kata lain, kata dia, kakap putih bisa dijual dalam bentuk olahan seperti fillet segar.

“Kita budidayakan kakap putih di offshore, juga karena pada pertimbangan bahwa komoditas tersebut bernilai tinggi dengan pasar jelas seperti Tiongkok dan Hong Kong. Kemudian, pasar kakap putih juga bisa dipasarkan hingga ke Eropa, Timur Tengah, dan juga Australia,” jelas dia.

 

Keramba budidaya ikan napoleon dan ikan kerapu di Pulau Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ikan napoleon dijual Rp1,2 juta per ekor dan kerapu Rp300 ribu per ekor. Perikanan menjadi sektor ekonomi utama di Natuna. Foto : M Ambari

 

Selain pasar luar negeri, Slamet menyebut, komoditas kakap putih juga diminati oleh pasar dalam negeri. Saat ini, pasar dalam negeri masih didominasi oleh Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bali, dan Jakarta.

“Di dalam satu unit KJA offshore yang mengapung di lepas pantai, dia menjelaskan, terdapat enam lubang dengan diameter 50 sentimeter,” tutur dia.

Dengan jumlah lubang tersebut, Slamet mengatakan, produksi kakap putih bisa didorong dengan hasil panen 568 ton per siklus. Untuk setiap panen, rerata kakap putih ukurannya mencapai 600 gram.

“Program KJA offshore tersebut berpotensi menghasilkan nilai Rp39,7 miliar untuk sekali panen,” jelas dia.

Untuk saat ini, Slamet mengungkapkan, program KJA offshore dilaksanakan di perairan Sabang (Aceh), Karimun Jawa (Jawa Tengah), dan perairan pantai selatan antara Cilacap (Jawa Tengah) dan Pangandaran (Jawa Barat).

“Dengan kegiatan offshore maka andalan kita di budi daya laut bisa meningkat seperti kerapu dan kakap saya yakin naik pada 2017,” ujarnya

 

Kakap putih atau barramundi. Foto : gomancing.com

 

Selain dari KJA offshore, Slamet mengungkapkan, target produksi perikanan budidaya juga akan dikerahkan dari unit lain, seperti operasional pabrik pakan ikan, minapadi, dan rumput laut. Khusus untuk pakan ikan, pada 2017 ini, DJPB akan membangun satu unit yang diharapkan bisa menggenjot produksi perikanan budidaya lebih bagus lagi.

Slamet menuturkan, target produksi 22,46 juta ton tersebut, jika dirupiahkan nilainya sekitar Rp100 triliun. Jumlah sebanyak itu, diperkirakan akan didominasi oleh komoditas unggulan seperti rumput laut, dan produk perikanan seperti ikan, udang, dan kerang.

“Jika dibandingkan dengan 2016, kita optimis tahun 2017 bisa lebih baik. Hal itu, karena faktor cuaca yang tidak seburuk tahun lalu. Juga, karena tahun ini gerakan pakan mandiri jauh lebih baik lagi dan itu akan meningkatkan produksi budidaya,” ucap dia.

Slamet sendiri mengakui, produksi perikanan budidaya pada 2016 memang tidak terlalu baik dan itu berakibat pada kegagalan mencapai target yang telah ditetapkan. Dari target 19,46 juta ton, hingga triwulan III 2016, baru tercapai 13 juta ton saja. Sementara, hingga Desember 2016, produksi baru mencapai 155,8 juta ton.

“Meski sampai sekarang kita masih menghitung produksi keseluruhan, namun target memang tidak tercapai. Kita tidak ingin mengulangnya di 2017. Pada 2016, cuaca yang buruk menjadi penyebab turunnya produksi dan semoga di 2017 cuaca bisa bersahabat,” terang dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,