Mongabay.co.id

Setahun Lebih Putusan Mahkamah Agung, ATR Belum Buka Data HGU Sawit

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Foto: dokumen Laman Kinipan

Hampir 54.000 warga mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membuka informasi dokumen hak guna usaha perkebunan sawit lewat dukungan di change.org berjudul,” Hentikan Konflik berkepanjangan! Menteri ATR/BPN Sofjan Djalil Harus #BukaInformasi HGU!” Hingga kini, ATR/BPN belum membuka data HGU sawit Kalimantan, sesuai putusan Mahkamah Agung.

Pada 28 Mei 2018, pejabat ATR/BPN menerima petisi di kantornya, antara lain Horison Mocodompis, Kepala Bagian Biro Humas, Suratmin, Kepala Seksi HGU Wilayah I, Sri Pranoto, staf Pusat Data dan Informasi dan pejabat lain.

Baca juga: Mahkamah Agung Putusan Pemerintah Wajib Buka HGU Sawit di Kalimantan

Setelah sekitar 40 menit aksi damai Forest Watch Indonesia (FWI) dan Greenpeace Indonesia di depan ATR/BPN. Ia bentuk protes atas pembangkangan berlarut terhadap putusan Mahkamah Agung, agar ATR/BPN membuka informasi dokumen HGU. Pada 16 Maret 2017, MA memutuskan, ATR/BPN wajib membuka data HGU di Kalimantan dengan dengan nomor register 121 K/TUN/2017.

”Kami sambut baik aspirasi masyarakat dan keinginan pemerintah membuka akses masyarakat terhadap mengawasi pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas KKN dan praktik tidak baik lain mendorong good government tentu kami sambut baik,” kata Horison,  saat menerima FWI dan Greenpeace akhir Mei lalu.

Baca juga:KIP Putuskan Data HGU Kebun Sawit di Kalimantan Terbuka buat Publik

Menurut Suratmin, ATR/BPN telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU. Tata cara keterbukaan informasi ini, katanya, ada pada Pasal 61. ”Sudah menyiapkan juknis mekanisme kepada pihak yang membutuhkan. Juknis sudah di pimpinan, sedang proses. Untuk kepentingan apa saja diatur di situ,” katanya.

Regulasi ini, katanya,  sedang didiskusikan dengan Ombudsman Indonesia. Horison menjanjikan, segera bertemu, supaya tim ATR/BPN sebagai wali data, bisa menyelesaikan ini dengan beberapa pihak.

Linda Rosalina, pengkampanye FWI mengatakan, dalam pertemuan itu masih belum melihat itikad baik ATR/BPN dalam melaksanakan putusan MA membuka dokumen.

ATR/BPN masih menyetok informasi yang akan diberikan dan apa kepentingan permintaan informasi bukan teknis pemberian data.

”Selama satu tahun, jawaban selalu sedang dikerjakan, tanpa melibatkan kita dalam penyusunan, padahal kita salah satu stakeholder dalam perkara ini.”

 

Hutan berubah jadi kebun sawit di Sare Rangan, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Pilkada korup memicu izin-izin konsesi lahan keluar sebagai modal kampanye politik. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

Mekanisme pembukaan data?

Diapun terbuka jika ATR/BPN berinisiatif menyusun bersama-sama mekanisme keterbukaan HGU. Tak hanya itu, FWI mendesak, pembahasan tak perlu menunggu Ombudsman. “ATR/BPN malah gantungkan putusan itu pada mediasi yang akan dilakukan Ombudsman.”

Aksi damai FWI dan Greenpeace,  menunjukkan sebuah ekspresi ketidakpuasan publik terhadap sikap ketertutupan ATR/BPN dalam pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia. ”Ini bentuk kekecewaan dan kegeraman kami. Satu tahun Mahkamah Agung menyatakan dokumen HGU belum juga mendapatkan dokumennya.”

Dokumen HGU, katanya, pokok kebijakan yang mengandung kontroversi. Pasalnya, pemberian HGU konsesi perkebunan kelapa sawit banyak menimbulkan masalah, deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, konflik tenurial dan ketimpangan kepemilikan lahan antara masyarakat dan swasta.

Asep Komarudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, HGU merupakan informasi kunci tata kelola lahan dan kehutanan. Keterbukaan HGU, katanya, bisa meminimalisir korupsi bidang perizinan dan konflik agrarian di masyarakat.

Kalau HGU disebut clean and clear itu, katanya, tak ada konflik dan mencaplok tanah. Tak hanya bersinggungan dengan masyarakat, HGU yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN juga kerap kali bersinggungan dengan kawasan hutan.

Kalau beroperasi di wilayah hutan, perusahaan harus lebih dulu mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah itu baru perusahaan mengurus HGU.

Sikap pembangkangan ini jadi tanda tanya soal komitmen Presiden Joko Widodo dalam keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan kenegaraan, yakni dalam komitmen kebijakan satu peta.

 

Menyerahkan petisi ke Kementerian ATR/BPN. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version