Mongabay.co.id

Usulkan Tiga Cagar Biosfer Baru ke UNESCO, Ini Alasannya

Danau Sentarum. Inilah penampakan Danau Sentarum dari puncak Bukit Tekenang, Kabupaten Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia

Pada 23-28 Juli 2018, akan ada sidang The International Coordinating Council of The Man and The Biosphere Programme (ICC-MAB) ke-30 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Palembang.  Indonesia akan mengajukan tiga cagar biosfer baru, yakni Berbak Sembilang (Sumatera Selatan-Jambi), Betung Kerihun Danau Sentarum (Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), dan Rinjani (Lombok, Nusa Tenggara Barat).  Kini, Indonesia memiliki 11 cagar biosfer dan dunia ada 669 tersebar di 120 negara.

Baca juga: Madu Hutan Asli Danau Sentarum Istimewa

Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu mengatakan, pengajuan ketiga cagar biosfer ke UNESCO dilakukan karena memiliki keunikan tersendiri. Selain itu, komitmen pemerintah daerah juga terlihat kuat mendorong ini.

“Kita mengajukan tiga cagar biosfer baru ini karena ada keunikan, misal, keragamanhayati. Pulau Komodo kita pilih karena ada komodo. Lore Lindu karena ada rangkong, maleo dan lain-lain. Tanjung Puting karena ada orangutan. Plus kalau ada culture lebih bagus. Komitmen pemerintah daerah juga penting,” katanya.

Keunikan Danau Sentarum, katanya,  merupakan danau air tawar kaya keragamanhayati. Kawasan ini juga ekosistem gambut. Berbak Sembilang juga wilayah gambut. Di situ, katanya,  ada restorasi gambut sekaligus membuktikan lahan ini bisa terkelola baik . Lalu, Rinjani juga terkait keragamanhayati khas dan lanskap ekosistem pegunungan.

“Semua ada ciri khas tersendiri. Sebelum mengajukan cagar biosfer baru, kami selalu meminta komitmen pemda terlebih dahulu,” katanya.

Enny mengatakan, komitmen pemerintah daerah dalam pengajuan cagar biosfer sangat penting. Dia contohkan, pengajuan Cagar Biosfer Bromo Tengger-Semeru Arjuno, melingkupi delapan kabupaten, LIPI keliling ke delapan kabupaten itu.

Sebelum mengajukan, katanya, harus membuat rencana kelola selama 10 tahun. Pengelola harus benar-benar siap. Pengelola merupakan gabungan dari berbagai pihak dalam satu konsorsium, mulai pemerintah daerah, swasta dan organisasi masyarakat sipil.

Biasanya ketua konsorsium dipegang pemerintah daerah, wakil dari Kepala Balai Taman Nasional. Anggota ada dari perguruan tinggi, swasta, dan organisasi masyarakat sipil.

 

Perambahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Riau. Foto: Aji Wihardandi

 

Dari ketiga kawasan itu, Rinjani sebelumnya sudah jadi cagar geopark. Enny bilang, jika Rinjani sebagai cagar biosfer, akan lebih melengkapi.

“Kalau hanya geopark kan, mungkin hanya mendatangkan banyak turis. Belum memikirkan sustainability-nya. Guide di Rinjani harus kita bina untuk menjelaskan mengenai konservasi. Bukan hanya menarik banyak turis datang.”

Dia bilang, pengakuan tiga cagar biosfer ini merupakan rekor tersendiri. Biasa, hanya mengusulkan satu. “Pernah juga langsung mengusulkan dua cagar biosfer yakni Bromo Tengger-Semeru Arjuno dan Takabonerate.”

Dalam pengelolaan cagar biosfer, katanya, harus seimbang dalam menjalankan tiga pilar, yakni konservasi, pengembangan komunitas dan pemanfaatan ilmu pengetahuan.

Kalau sudah penunjukan sebagai cagar biosfer, katanya, banyak keuntungan. Konsorsium yang mengelola cagar biosfer akan berjejaring dengan berbagai negara lain yang juga memiliki cagar biosfer. Dengan begitu, katanya, memungkinkan transfer ilmu pengetahuan soal cara mengelola cagar biosfer yang baik.

Selain itu, bantuan dari donor untuk pengembangan cagar biosfer akan lebih mudah.

Purwanto, Direktur Eksekutif Komite Nasional Program MAB Indonesia mengatakan, pemilihan tiga cagar biosfer karena masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Berbak Sembilang, katanya, merupakan kawasan penting sebagai wilayah migrasi burung dan lain-lain. Di kawasan ini,  ada  wisata sekitar tereksploitasi cukup keras hingga perlu menjaga.

“Itu kawasan untuk migrasi ribuan burung sangat bagus.”

Sisi lain, katanya, juga ingin mengangkat masyarakat di sekitar. “Jangan cuma  dimanfaatkan perusahaan, tapi ada keterlibatan masyarakat. Ditambah dari pemerintah daerah mendukung.  Jadi layak dijadikan cagar biosfer,” katanya.

Begitu juga Rinjani-Lombok. Rinjani sumber air untuk seluruh Pulau Lombok. Dia mengibaratkan,  Rinjani sebagai menara air. Etniknya juga penting, ada masyarakat Sasak di situ. Pemerintah daerahnya juga mendukung.

Begitu juga Betung Kerihun-Danau Sentarum. “Kawasan perbatasan dengan Malaysia. Menara air buat sungai besar dan masyarakat sekitar. Ada interaksi masyarakat dengan Danau Sentarum. Masyarakat sangat mengandalkan danau itu.”

 

Lebatnya hutan di Taman Nasional Gunung Rinjani terlihat dari bukit di Pusuk Sembalun. Foto Tommy Apriando

 

Cagar biosfer terancam

Dari 11 cagar biosfer Indonesia, katanya, yang sangat terancam Giam Siak Kecil. Pembalakan liar terjadi di kawasan ini. Berbagai upaya menyelamatkan terus dilakukan.

“Kanal kita blok terus. Kerjasama dan koordinasi dengan banyak pihak walaupun tantangan besar.  Di Giam Siak Kecil, selama 10 tahun ini bersama pemda kita sudah menyusun penguatan kelembagaan. Sekarang, ada sekretariat bersama di Bappeda. Ada SK Gubernur, baru proses.”

Hasil evaluasi setelah 10 tahun ini, dengan berbagai permasalahan itu Giam Siak Kecil,  jauh lebih terjaga. Jika tak jadi cagar biosfer, mungkin kerusakan lebih parah.

“Seandainya tak ada cagar biosfer, mungkin sudah bablas. Itu diakui UNESCO. UNESCO tak hanya melihat dari atas, juga bawah. Laporan lain kita kumpulkan. Waktu kebakaran,  misal, seperti apa, titik-titik api itu kan di tengah tidak ada. Itu penting.”

Selain tiga usulan itu, katanya, Indonesia sedang menyiapkan kawasan lain untuk diajukan sebagai cagar biosfer, seperti Togean, Halmahera, dan Merapi-Merbabu.

“Ini penting juga. Kami sudah menginisiasi. Mudah-mudahan tahun depan terlaksana.”

 

Pertemuan ICC-MAB UNESCO 2018

Enny mengatakan, dalam pertemuan ICC-MAB UNESCO Juli mendatang, selain agenda memutuskan pengajuan cagar biosfer baru, juga mengevaluasi cagar biosfer yang ada.

Pertemuan tahunan ini jadi spesial bagi Indonesia karena pertamakali menjadi tuan rumah. Sebelumnya,  pertemuan ini pernah terselenggara di Prancis, Jeju (Korea Selatan), Dresden (Jerman), Jonkoping (Swedia), dan Lima (Peru).

“Nanti waktu sidang, yang lama dievaluasi. Memang tak segalak World Heritage, kalau dirasa ada gak benar, langsung dikeluarkan dari list. Untuk cagar biosfer, kalau 10 tahun performa tak bagus, negara bersangkutan sukarela diminta menarik diri. Mengundurkan diri dengan hormat. Maka kita harus hati-hati,” ucap Enny.

Sebagai tuan rumah, Indonesia perlu mengambil peran dengan mengusulkan “rekomendasi Palembang.” Dia berharap,  rekomendasi ini disetujui dalam sidang dan diacu dunia.

Fokus pertemuan ini, katanya, membahas pengembangan sistem kelola cagar biosfer yang efektif dan efisien.

Sidang ICC-MAB UNESCO juga memberikan kesempatan bagi Indonesia membuktikan pengakuan dan peran sebagai negara kaya keragamanhayati di dunia. Utamanya, dalam mengembangkan cagar biosfer sebagai wahana penerapan pembangunan berkelanjutan dengan tetap melestarikan keragaman hayati dan pemanfaatan ilmu dan teknologi.

 

 

 

 

Exit mobile version