Mongabay.co.id

Isu Lingkungan Tidak Menjadi Perhatian Utama Para Cagub Sulsel

Perhelatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan tak lama lagi. Namun dalam serangkaian kampanye para kandidat, baik di media massa, kampanye langsung hingga debat, belum terlihat gambaran yang jelas bagaimana pengelolaan lingkungan hidup mereka.

Dalam dialog Mongabay-Indonesia bekerja sama dengan Kampung Buku, di Kampung Buku, Selasa (5/6/2018) lalu, sejumlah sorotan disampaikan oleh kalangan akademisi dan aktivis lingkungan di Sulsel.

“Kalau dikaitkan dengan isu lingkungan dalam kontestasi Pilgub, memang ada beberapa catatan-catatan yang penting. Dalam hal ini lingkungan masih dianggap sebagai isu sekunder atau malah tersier. Bukan isu yang bisa menaikkan citra elektoral yang bisa mengubah preferensi pemilih dengan cepat,” ungkap Luhur Andi Prianto, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar.

Justru kemudian yang dianggap seksi adalah isu pembangunan berbasis sumber daya alam yang pro-pertumbuhan. Kalau ada kandidat berjanji akan membangun sesuatu, justru itu yang akan menaikkan modal elektoratnya.

“Saya bicara dengan konsultan-konsultan politik, isu lingkungan memang dianggap tidak laku untuk menaikkan elektabilitas. Kalaupun dibicarakan, hanya pembicaraan sampingan saja,” tambah Luhur.

baca : Komitmen Lingkungan Para Cagub Sulsel Dipertanyakan. Kenapa?

 

Diskusi tentang Pilgub Sulsel diselenggarakan Mongabay dan Kampung Buku di Kampung Buku, Selasa (5/6/2018). Para panelis mengkritisi komitmen para kandidat gubernur dan wakil yang dianggap belum menjadikan isu lingkungan sebagai perhatian utama. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dikatakan Luhur bahwa inilah yang menjadi titik persoalannya. Bahkan dalam debat yang bertema lingkungan hidup pun perhatian akan hal ini tidak bisa diharapkan. Tak banyak gagasan terkait pengelolaan lingkungan hidup yang baik disampaikan oleh para kandidat.

“Saya malah melihat debat itu lebih pada aspek entertainment saja. Makanya yang paling diperhatikan gestur-nya, bukan gagasan. Dalam debat itu sangat disayangkan bahwa isu lingkungan direduksi dan disederhanakan, misalnya sekedar bicara tentang bank sampah, bukan lagi bicara tentang kebijakan sebagaimana diperjuangkan Walhi selama ini. Sehingga aspeknya terlalu teknis bukan aspek yang strategis, apalagi mengarah ke kebijakan yang lebih luas.”

Hal lain yang patut disoroti adalah terkait integrasi isu lingkungan dalam agenda kebijakan publik.

“Kalau kita periksa visi misinya, memang banyak istilah lingkungan, namun bagaimana mem-break down itu terutama nanti kita periksa di RPJMD pasti tidak akan operasional konsep-konsep itu. Pasti ada istilah-istilah lain yang tidak menggambarkan sama sekali dengan aspek-aspek lebih ramah dan berpihak pada aspek lingkungan.”

Luhur bahkan melihat keempat cagub ini cenderung bermain safe atau bermain aman. Misalnya tentang masalah reklamasi yang tidak ada yang singgung.

“Saya kira semua kandidat itu punya keterkaitan dengan aktivitas reklamasi. Begitu diungkit maka akan mempermalukan diri sendiri. Sehingga ini tidak mengemuka.”

baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

 

Empat pasang cagub Sulsel cenderung bermain safety atau bermain aman, dengan misalnya tidak mengangkat masalah reklamasi di pantai Makassar untuk pembangunan Center Point of Indonesia (CPI). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Isu-isu lingkungan secara global juga tidak ada yang masuk dalam visi misi mereka. bagaimana dengan climate changes, yang tidak disinggung sama sekali.

“Sebaliknya, semua bicara tentang investasi, pertumbuhan, pembangunan infrastruktur, sehingga aspek lingkungan memang ditempatkan dalam posisi yang menyedihkan.”

Asmar Exwar, aktivis lingkungan yang juga mantan Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, menilai pengarusutamaan isu lingkungan pada perhelatan demokrasi ini memang sangat penting, karena secara pasti akan ada salah satu kandidat yang terpilih dan nantinya akan memiliki kewenangan yang kuat dalam mengatur pengelolaan daerah lima tahun ke depan.

“Kalau terjadi kesalahan salah urus lingkungan di awal maka dampaknya seperti sekarang. Dari beberapa dekade ini sumber daya alam kita diambil terus menerus, padahal itu makin lama menyusut.”

Menurut Asmar, pengelolaan sumber daya alam selama ini selalu dilihat dari pengelolaan secara ekstraktif. Di Sulsel, misalnya terdapat dua tambang emas di Luwu, lalu ada nikel, dan tambang batuan di Takalar yang banyak menimbulkan masalah di mana-mana. Belum lagi kawasan karst yang dihancurkan untuk produksi semen.

Menurutnya, saat ini jumlah izin pertambangan merujuk pada data tahun 2014 terdapat 414 izin pertambangan dengan luas wilayah konsesi 500 ribu hektar. Hutan di Sulsel seluas 2,1 juta hektar, sementara luas wilayah Sulsel hanya 4 juta hektar.

“Jadi wilayah izin tambang ini cukup banyak mengambil wilayah. Belum lagi perkebunan yang masuk di wilayah-wilayah hutan dan kelola rakyat, lahan produktif masyarakat. Kemudian di sektor pesisir juga begitu pembangunan infrastruktur yang juga sebenarnya banyak mengorbankan lingkungan dan masyarakat,” tambahnya.

baca : Pemberian Izin Tambang Rawan Korupsi? Begini Hasil Penelitian TII

 

Terdapat dua pabrik semen di kawasan karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, yaitu PT Bosowa dan Tonasa. Selain itu terdapat puluhan izin pertambangan lainnya yang berpotensi mengganggu keberlangsungan ekosistem karst. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, selama ini pembangunan semata diarahkan pada investasi yang lebih menguntungkan korporasi dan mengorbankan masyarakat lokal.

“Masyarakat mau masuk hutan ditangkap, tetapi kalau korporasi malah difasilitasi, dikawal tentara dan brimob. Jadi ada ketimpangan. Jadi kalau kita bilang sumber daya lama untuk siapa, lebih banyak untuk pemodal.”

Yusran Nurdin Massa, peneliti dari Blue Forests juga menyampaikan kritikannya terkait visi misi calon gubernur, berdasarkan dokumen visi misi yang diserahkan ke KPU, yang dinilai belum secara jelas menggambarkan komitmen para kandidat tersebut terhadap isu lingkungan hidup.

“Semua misi dari cagub tersebut sama sekali tidak ada yang menyatakan tentang pelestarian lingkungan. Kemudian kita masuk ke strategi, memang ada yang memasukkan isu-isu pembangunan berkelanjutan yang bisa dikaitkan dengan isu lingkungan. Tetapi misi yang menjadi upaya yang akan didorong gubernur nantinya tidak memasukkan satu kata pun terkait lingkungan. Artinya memang yang menjadi concern gubernur adalah isu pertumbuhan kawasan,” katanya.

Menurutnya, jika pertumbuhan kawasan ini tidak dibingkai dengan isu perusakan lingkungan maka ini akan berdampak besar, sehingga sangat penting untuk mengingatkan kembali para kandidat gubernur tersebut.

Yusran selanjutnya merinci sejumlah potensi ancaman yang menjadi isu penting nantinya, seperti pertambangan, reklamasi dan energi.

Khusus isu energi, sejumlah PLTU yang ada di Sulsel dibangun dan akan dibangun di kawasan pesisir, seperti di Lampoko, Kabupaten Barru, dan dua PLTU lagi di Kabupaten Jeneponto. Dampaknya sudah dirasakan di kedua daerah tersebut, seperti rusaknya ekosistem laut dan adanya kasus keracunan kerang. Satu lagi PLTU akan dibangun di Kabupaten Maros.

“Jadi PLTU dibangun di pesisir kemungkinan untuk memudahkan pembuangan limbah yang langsung ke laut. Ini tidak diperhatikan dengan baik.”

 

Batubara, di tambang timbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga, di hilir, antara lain, pembangkit batubara, juga ciptakan beragam masalah. Apakah para calon pemimpin daerah, tak ada yang peka masalah rakyat ini? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Polling Cagub

Pada dialog ini Yusran juga menjelaskan hasil polling yang pernah mereka lakukan terkait karakter gubernur yang diinginkan oleh masyarakat pesisir, melibatkan 385 responden dari seluruh wilayah kecamatan pesisir yang ada di Sulsel.

Polling yang dilakukan pada Mei 2018 lalu menemukan beberapa hal penting terkait akses pada layanan publik dan bagaimana mengatasi perusakan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdampak langsung terhadap masyarakat yang ada di pesisir dan pulau.

“Pada umumnya harapan responden menuntut perbaikan akses layanan yang tidak sekedar layanan kelurahan dan administrasi pemerintahan tetapi juga kepada akses ketersediaan atas sandang pangan dan papan,” katanya.

Terkait perusakan pesisir, responden berharap bagaimana persoalan-persoalan destructive fishing bisa diselesaikan.

Menurut Yusran, sekarang yang menjadi perhatian pemerintah pusat adalah illegal fishing atau perikanan yang ilegal terutama penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan asing. Nelayan Thailand datang ke Indonesia menangkap ikan, dibakar dan ditenggelamkan oleh Menteri Susi.

Padahal isu yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat pesisir adalah destructive fishing, karena sasarannya adalah perairan-perairan pesisir atau lokasi terumbu karang yang merupakan wilayah tangkap nelayan-nelayan kecil.

“Ini jadi persoalan di mana pemerintah belum sangat kuat mendorong penanganan destructive fishing ini.”

Menurut Yusran, harapan kepada gubernur terpilih mendatang akan memperhatikan hasil polling yang mereka lakukan, karena sebagian besar wilayah pesisir memang menjadi pusat-pusat pelaku destructive fishing.

 

Exit mobile version