Mongabay.co.id

Opini: Menagih Janji Perlindungan Hutan Adat

Hutan adat Depati Nyato, di Kerinci yang masih terancam karena belum ada pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Warga adat sudah menjaga wilayah adat termasuk hutan adat turun menurun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Hutan adat bukan hutan negara. Begitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Sejak putusan itu, hutan di wilayah masyarakat hukum adat bukan tergolong hutan hak yang dimiliki masyarakat hukum adat.

Akhir 2016, pemerintah menerbitkan surat keputusan berisi  pengakuan sembilan hutan adat. Presiden Joko Widodo, langsung yang menyampaikan surat penetapan hutan adat itu di Istana Negara Jakarta. Pengakuan hutan adat akhirnya ‘pecah telur’ dengan penetapan kali pertama itu. Langkah pemerintah inipun mendapat respon positif. Masyarakat adat dan berbagai pihak yang selama ini mendorong pengakuan hutan adat, menyambut gembira. Ada sebuah harapan baru.

Hampir setahun kemudian, dalam pembukaan Konferensi Tenurial 25 Oktober 2017 di Istana Negara, Presiden Jokowi kembali menyerahkan surat keputusan pengakuan sembilan hutan adat lagi. Hingga kini, penetapan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya sekitar 17.092 hektar, itupun ada beberapa hutan adat di luar kawasan hutan atau dalam areal penggunaan lain (APL). Penetapan hutan adat kedua ini alih-alih menggembirakan para pegiat masyarakat adat, justru menimbulkan pertanyaan dengan nada meragukan komitmen pemerintahan Jokowi kepada masyarakat adat.

Mengapa sedikit sekali hutan adat yang diakui pemerintah, dibandingkan data yang diserahkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) seluas 8,3 juta hektar?  Keraguan itu makin membesar kala belum ada kejelasan terkait pembentukan Satgas Masyarakat Adat, dan dukungan terhadap Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat,  yang jadi komitmen Jokowi belum terlihat.

Bahkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sempat berpendapat,  RUU masyarakat adat ini belum jadi keperluan konkrit bahkan, khawatir menimbulkan permasalahan baru. RUU ini juga dinilai bisa memberikan beban berat bagi APBN dengan ada konsep pemberian kompensasi terhadap hak ulayat bagi masyarakat adat.

Pendapat Kemendagri, sebagai kementerian yang memimpin proses pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) menimbulkan reaksi dan protes keras dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan berbagai kalangan gerakan masyarakat adat. Walau akhirnya dalam sebuah konferensi pers Sekjen Kemendagri menyampaikan, dukungan kementerian ini terhadap kelahiran UU Masyarakat Adat.

Salah satu penyebab pengakuan hutan adat lambat, karena pembebanan syarat pengakuan masyarakat hukum adat dengan peraturan daerah (perda) sesuai amanat Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan.  Selain itu, dinamika politik, kapasitas dan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat juga jadi persoalan dalam pembentukan produk hukum daerah untuk pengakuan masyarakat hukum adat.

Saat ini, baru ada 34 kabupaten dan provinsi yang menerbitkan produk hukum daerah yang terkait langsung dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Baru ada sekitar 15 rancangan perda masih pembahasan atau masuk dalam program legislasi daerah provinsi atau kabupaten dan kota.

 

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. HIngga kini, pemerintah masih belum memberikan penetapan terhadap hutan adat yang ada di wilayah ini. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Penanda baru?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 23-24 Januari 2018 menyelenggarakan rapat koordinasi nasional hutan adat.  Rapat ini dihadiri pemerintah daerah yang di wilayah mereka memiliki potensi hutan adat dan organisasi masyarakat sipil pendamping yang mengurus pengakuan hutan adat.  Sebuah penanda baru.

KLHK menganalisis potensi hutan adat berdasarkan peta wilayah yang mereka terima dari BRWA seluas 8,3 juta hektar. Tumpang susun peta wilayah adat dengan peta fungsi kawasan hutan menghasilkan potensi hutan adat seluas 6,2 juta hektar.

BRWA adalah lembaga yang melakukan pendaftaran peta-peta wilayah adat, memverifikasi dan mengkomunikasikan kepada pemerintah. Secara kumulatif pada akhir Desember 2017, BRWA menyampaikan kembali kepada KLHK, 777 peta wilayah adat dengan luas sekitar 9,3 juta hektar. Dari peta wilayah adat ini ada potensi hutan adat 7,1 juta hektar.

Lebih dari 20 tahun sejak pertama kali peta-peta wilayah adat dibuat masyarakat di Indonesia, baru pertama kali peta wilayah adat diotorisasi pemerintah sebagai sumber informasi dan rujukan pembentukan kebijakan dalam sekala luas.  Pada Rakornas Hutan Adat, KLHK bersama pemerintah daerah menggunakan peta wilayah adat dalam pengurusan pengakuan hutan adat.

Rakornas ini memberi penanda,  bahwa peta-peta wilayah adat terdaftar di BRWA yang disempurnakan dengan penambahan dan otorisasi dari pemerintah-pemerintah daerah akan jadi rujukan KLHK dalam merumuskan kebijakan hutan adat. Ia masuk dalam bagian kebijakan satu peta (one map policy). Hingga kini, kebijakan di bawah koordinasi Menko Perekonomian ini belum berhasil mengkompilasi peta wilayah adat, di samping peta batas-batas desa.

 

Tantangan

Percepatan pengakuan hutan adat sebagai perwujudan mandat Putusan MK 35/PUU-X/2012 menghadapi sejumlah tantangan, bila berhasil diatasi akan kita saksikan tak terlalu lama lagi, realisasi pengakuan hutan adat bakal signifikan baik jumlah (lokasi) dan luasan.

Untuk itu, beberapa hal perlu mendapatkan perhatian, antara lain, pertama, kehadiran pemerintah daerah dalam rakornas hutan adat sangat penting dalam menyambut arahan KLHK secara nasional mempercepat pengakuan hutan adat sekla luas. Terlebih pengakuan hutan adat jadi program pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota.

Sisi lain, dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,  ada hal perlu dicermati terkait pembagian kewenangan pemerintah daerah. Urusan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat jadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup pemerintah daerah kabupaten dan provinsi, sedangkan kewenangan pengurusan kehutanan jadi kewenangan Dinas Kehutanan pemerintah provinsi.

Perbedaan kewenangan mengurus subyek (masyarakat adat) dan obyek (hutan adat) perlu diantisipasi. Terutama,  perbedaan cara pandang dan sinergi antar organisasi pemerintah daerah dalam pengurusan hutan adat ini hingga sinergi provinsi dan kabupaten dan kota tetap terjaga.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasai PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kedua, data peta-peta wilayah adat dari BRWA sudah dibuat kluster-kluster berdasarkan kelengkapan data sosial, yuridis, dan spasial dari peta-peta wilayah adat. KLHK hendaknya segera verifikasi serentak kluster yang sudah siap, dan coaching clinic kepada pemerintah kabupaten dan kota maupun provinsi untuk tiap usulan hutan adat hasil rakornas hutan adat.

Ketiga, pengakuan hutan adat akan diproses kalau ada yang mengusulkan sesuai Peraturan Menteri LHK No. P.32/Menlhk-Sekjen/2015 tentang Hutan Hak. Untuk itu, masyarakat adat hendaknya segera mempersiapkan pengajuan pengakuan hutan adat kepada KLHK.

Keempat, perlu ada keputusan Menteri LHK untuk mencadangkan atau menerbitkan peta arahan lokasi hutan adat secara nasional, dan pembaruan regular berdasarkan usulan lokasi baru dari masyarakat adat dan pemerintah daerah.  Keputusan LHK ini, jadi rujukan penting pemerintah daerah dalam menguatkan dinamika politik yang mengarah pada pembentukan produk hukum daerah sebagai syarat pengakuan hutan adat.

Komitmen pemerintah sudah berulang disebutkan. Bahkan, penegasan buat pencadangan hutan adat ini disampaikan langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam sambutan Peringatan Hari Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 17 Maret lalu di Minahasa, Sulawesi Utara.

Semoga pengakuan dan perlindungan hutan adat ini tak hanya jadi daftar janji pemerintahan Jokowi…

Penulis adalah Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)

 

Keterangan foto utama: Hutan adat Depati Nyato, di Kerinci, Jambi,  masih terancam karena belum ada pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Warga adat sudah menjaga wilayah adat termasuk hutan adat turun menurun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version