Mongabay.co.id

Jambi Menanti Kepala Daerah yang Bisa Atasi Berbagai Persoalan Lingkungan

Konflik gajah dan manusia di Jambi, seperti di Kawasan Ekosistem Bukit Tigapuluh, makin parah. Makin ada kebakaran hutan dan lahan, kondisi makin sulit bagi kawanan gajah hidup. Foto: Frankfurt Zoological Society/ Mongabay Indonesia

Ada  tiga kota dan kabupaten di Jambi, akan meramaikan pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni 2018, yakni, Kota Jambi, Kabupaten Merangin dan Kerinci. Isu sosial, pembangunan infrastruktur, menjadi ikon selalu diusung setiap calon kepala daerah untuk mendapatkan suara.

Persoalan lingkungan, tampaknya tak jadi obrolan menarik. Isu lingkungan sampai kini sebatas sebagai obyek penunjang bagi pelaksanaan pemerintah padahal persoalan lingkungan menumpuk.

Kota Jambi, sebagai ibukota provinsi, misal,  ada 13 sungai kecil dan tiga danau sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan karena jadi saluran pembuangan limbah rumah tangga  dan sampah.

Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi, dalam Diskusi Pilkada dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diadakan Mongabay Indonesia mengatakan, kondisi sungai-sungai ini sangat memprihatinkan dan terancam hilang.

“Dalam  peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, penanganan sempadan sungai dalam kota masih terabaikan. Cobalah lihat sekarang kondisi sungai-sungai kecil ini selain Sungai Batanghari berubah jadi got saja,” katanya.

Dalam ketentuan mengacu UU Nomor 11/1974 tentang Pengairan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35/1991 tentang Sungai, soal sempadan sungai di perkotaan harusnya paling tidak menyisakan 30 meter dari bibir sungai jika kedalaman sungai lebih dari 20 meter. Untuk sungai kedalaman tiga meter atau lebih paling tersisa dari pinggir sepanjang 10 meter.

Selain persoalan sungai yang jadi saluran pembuangan, katanya, Kota Jambi juga dihadapkan ruang terbuka hijau minim. Hingga kini,  RTH di kota itu tidaklah mencapai 30% luasan Jambi.

Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi, mengatakan,  RTH saat ini juga tak memenuhi standar, karena banyak kepala daerah yang terpilih maupun calon berpikir RTH hanya bangunan fisik dan infrastruktur. Rudi khawatir soal sampah dan air Sungai Batanghari tercemar.

“Faktanya kualitas air Sungai Batanghari tercemar. Kalau gunakan PP Nomor 82/2001 soal bahan baku air minum, batas aman merkuri 0,001 mg/l, arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l. Data kita dapatkan melebihi ambang normal. Ini membahayakan,” katanya.

Kota Jambi juga alami permasalahan sampah dengan produksi 1.539 meter kubik per hari. Dari jumlah itu hanya 7% dikelola, sisanya masuk ke tempat pembuangan akhir.

Walhi mencatat, persentase palayanan sampah di Kota Jambi baru 76%, berarti jika timbulan setiap hari 1.539 m3, bisa terlayani hanya 1.169,6 m3 perhari, masih menyisakan 369, 4 m3. “Peggunaan bahan ramah lingkungan maupun pengelolaan sampah jadi sesuatu yang harus dikembangkan.”

 

Warga kesulitan air bersih setelah perusahaan tambang datang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Sementara, dua Kerinci dan Merangin merupakan kabupaten yang memiliki topografi dan kedekatan bentang alam hampir serupa. Kawasan hutan Merangin dan Kerinci tersisa hanya 23% dari total 603. 578 hektar.

Menurut Rudi, kajian Warsi kehiangan hutan terbanyak di Merangin karena alih fungsi ke perkebunan besar dan pertambangan emas ilegal.

“Kami mencatat ada 27.000 hektar tambang emas terbuka di Merangin dan Sarolangun. Kerinci alih fungsi hutan untuk pertanian holtikultura cukup masif,” katanya.

Kepala daerah Kerinci terpilih, katanya, harus menyelamatkan Renah Kasa, ia merupakan gambut lindung dengan luasan 1.500 hektar.

“Ini digadang-gadang mau jadi lokasi pembukaan sawah baru, padahal pemerintah harus lebih jeli jadikan sebagai kawasan ekowisata juga memberikan pendapatan tambahan bagi masyaakat, namun tidak merusak.”

Kehilangan hutan, katanya,  tentu saja menimbulkan konflik terlebih antara satwa dan manusia. Baru-baru ini di Renah Pemetik, Kerinci, harimau masuk pemukiman warga. Perambahan hutan marak membuat habitat berkurang dan tempat perburuan mangsa makin sempit, hingga harimau keluar mengancam warga.

Yoan Dinata ,  Manajer Program  Konservasi Harimau ZSL mengatakan, perlu kebijakan inovatif yang memikirkan masalah ini tidak terulang.

“Satwa-satwa keluar karena habitat diganggu, ini juga menjadi catatan bagi pemerintah, siapaun kepala daerahnya untuk membuat kebijakan yang berlaku terus menerus,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Konflik gajah dan manusia di Jambi, seperti di Kawasan Ekosistem Bukit Tigapuluh, makin parah. Foto: Frankfurt Zoological Society/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version