Mongabay.co.id

Abdon Nababan: Mafia Tanah Sumut Tawari Saya Rp300 Miliar untuk Menangkan Pilgub

Abdon Nababan. Foto: Philip Jacobson/Mongabay

 

Sekitar Juli tahun lalu, Abdon Nababan, aktivis senior di Indonesia, mengumumkan tekad maju merebut kursi calon Gubernur Sumatera Utara (Sumut), tanah kelahiran dia.

Sebelumnya, Abdon dikenal sebagai Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi besar yang menyuarakan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Di bawah kepemimpinan selama satu dekade, Abdon sukses mengantarkan AMAN dan masyarakat adat pada berbagai prestasi gemilang. Kemenangan yang berhasil diraih itu mencakup pula berbagai terobosan hukum maupun keputusan pengadilan yang mengikis klaim negara terhadap wilayah adat.

Ada begitu banyak tanah adat, termasuk hutan adat, dirampas dan tergadaikan oleh politisi-politisi korup demi kepentingan perusahaan perkebunan dan industri ekstraktif. Tak terkecuali, terjadi di Sumut. Dua gubernur terakhir di daerah ini terjerat perkara korupsi.

Sumut berpenduduk hampir 14 juta jiwa, salah satu benteng pertahanan penting bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia. Abdon Nababan adalah sosok ideal dalam banyak hal. Sepak terjang dia tak bisa diremehkan dalam urusan politik. Abdon dikenal sebagai aktivis karismatik, juru kampanye handal, melek media sosial, dan seorang pembaharu lahir di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pilkada di Sumut 27 Juni ini, Abdon yang maju sebagai calon independen, tak lolos. Kursi panas Gubernur Sumut diperebutkan dua kandidat yang tak asing lagi di dunia politik. Salah seorang dari mereka adalah pensiunan jenderal, lawannya berpasangan dengan pengusaha yang punya pengaruh dalam urusan sawit.

Akhirnya, fakta bahwa Abdon tak ikut bertarung dalam pilkada Sumut, merupakan cerminan dari fenomena yang diselidiki oleh Mongabay dan The Gecko Project selama 18 bulan terakhir ini, yaitu peran uang dalam politik elektoral dan hubungan dengan kepentingan bisnis destruktif. Hal ini jadi penghambat bagi kemajuan demokrasi di Indonesia yang masih proses pemulihan setelah lebih dari tiga dekade berada dalam cengkeraman kekuasaan militeristik Orde Baru.

Untuk mendapatkan tiket maju jadi kandidat, Abdon mengutarakan kalau dihadapkan pada dua pilihan berat, antara lain menyuap orang-orang yang duduk di partai politik (parpol) dengan taksiran nilai sampai jutaan dolar demi mendukung pencalonannya. Atau mengusulkan diri sebagai calon independen dengan mengumpulkan tanda tangan dan salinan KTP 800.000 pemilih. Dia mengambil pilihan kedua.

Dalam waktu kurang empat bulan, Abdon sukses mengumpulkan lebih setengah juta pendukung. Itu belum cukup. Akhirnya, dia tak dapat memenuhi tenggat waktu yang ditentukan.

 

Kotak pencoblosan di Indonesia. Foto: PIkhlasul Amal/Flickr

 

Ketika Abdon berupaya menggalang dukungan suara, saat itulah sekaligus diberi peluang melihat apa yang sesungguhnya terjadi di dalam. Kepentingan bisnis dan politik saling terjalin.

Di sanalah korupsi kian merajalela menjelang detik-detik menuju perhelatan pesta demokrasi di Indonesia. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Mongabay dan The Gecko Project ini, Abdon menyajikan sekumpulan potret buram  ini.

 

Mengapa Anda mencalonkan diri untuk maju sebagai Gubernur Sumut?

 Pertama, karena merek- kelompok masyarakat adat, petani, dan aktivis di Sumut-meminta saya maju. Kedua, karena Sumut saat ini salah satu (provinsi) terburuk di Indonesia dalam tata kelola pemerintahan. Sumut,  berada pada indeks kebahagiaan paling rendah, hampir sama dengan Papua. Ada korupsi dan mafia tanah. Jadi alasan kedua itu karena memang ada persoalan. Saya ingin melakukan sesuatu berbeda di Sumut.

Ketiga, karena itu adalah rumah saya, tanah leluhur saya. Maka, saya punya alasan pribadi untuk melakukan hal-hal baik di tanah saya sendiri.

 

Siapa itu “mafia tanah”?
Ada beberapa kelompok keluarga di Medan yang memegang kontrol transaksi lahan. Mereka bekerja dengan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), paramiliter sipil (kelompok masyarakat sipil yang bersifat kemiliteran). Hampir semua mafia terhubung dengan organisasi itu. Mereka menguasai pasar dan mengendalikan birokrasi terkait lahan. Mereka mengontrol sistem pengalihan lahan dari masyarakat (termasuk masyarakat adat), bahkan tanah negara, menjadi real estate atau zona khusus untuk industri dan lain-lain. Mereka adalah organisasi kriminal.

 

Kita bicara tentang transaksi lahan dalam skala besar, termasuk real estate. Apakah itu termasuk proyek-proyek perkebunan raksasa?

Ya. Ya.

 

Anda memilih maju sebagai calon independen. Apa pengalaman yang Anda alami selama proses jadi kandidat?

Saya memilih maju sebagai calon independen karena bukan orang parpol (partai politik). Itu adalah satu-satunya jalan bagi saya untuk maju. Itu cara termurah. Seandainya saya masuk melalui kendaraan parpol, itu membutuhkan uang sangat besar. Memang hampir semua parpol di Indonesia tidak berlandaskan pada ideologi. Mereka berlandaskan pada politik transaksional.

 

Itu artinya apakah Anda harus membayar mereka untuk menjadi kandidat?

Ya. Anda harus membayar parpol. Bahkan, jika Anda sendiri adalah anggota parpol, Anda tetap harus membayar. Seperti itulah sistem bekerja.

[Catatan editor: Secara halus, hal itu disebut dengan ‘mahar politik.’ Faktanya, berbagai parpol di Indonesia mengenakan biaya yang terlampau besar untuk mendukung para calon kandidat agar bisa maju ke dalam bursa pertarungan politik elektoral di daerah. Praktik ini terus berlanjut karena sangat kecil peluangnya, bahkan begitu sulit, bagi calon independen dapat ambil bagian. Para calon gubernur dan bupati atau walikota harus mengantongi dukungan parpol dengan jumlah paling sedikit 20% kursi di parlemen lokal.]

 

Apakah parpol mencoba mengendalikan kandidat dengan cara lain?

Ya, karena parpol juga menempatkan operator mereka (juru kampanye) untuk mengendalikan alokasi anggaran, proyek, dan segalanya. Jadi,  jika Anda mau sungguh-sungguh membuat suatu perubahan, satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan itu adalah dengan mencalonkan diri melalui jalur independen.

 

Bagaimana Anda bisa maju sebagai calon independen?
Untuk bisa maju menjadi kandidat, Anda harus mendapatkan tanda tangan dari pendukung Anda (pemilih). Jumlahnya mencapai 800.000 tanda tangan (dan salinan KTP) untuk Sumut. Tentu saja, saya tidak bisa meraihnya. Saya hanya mendapatkan sekitar 560.000 tanda tangan. Ini waktu yang terlalu singkat. Mereka meminta saya mengumpulkan dukungan sebanyak itu hanya dalam waktu empat bulan sebelum pendaftaran.

Kami (saya dan para pendukung) bekerja keras selama tiga setengah bulan. Jika kami diberikan waktu selama enam bulan, kami mungkin bisa mencapai target karena ada makin banyak pemilih yang kemudian ingin benar-benar mendukung saya.

Kami tak memiliki cukup waktu mengembangkan sistem pengelolaan (berbasis pendukung) terhadap bagaimana cara mendapatkan tanda tangan, menyalin KTP, dan mendaftarkannya (dokumen tanda tangan dan KTP) berdasarkan sistem Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dari pengalaman itu, saya yakin, seandainya pun Anda ingin maju sebagai calon independen, setidaknya membutuhkan waktu satu tahun. Saat itu, popularitas dan elektabilitas saya secara konsisten terus meningkat. Itu memberikan saya suatu keyakinan, memang ada peluang maju lewat jalur independen. Tetapi, kita perlu bekerja keras dan mengelola itu dengan baik. Jadi, ya, itu sangat mungkin, tetapi tetap tidak mudah.

 

Bagaimana caranya Anda mengumpulkan tanda tangan dan salinan kartu identitas?
Saya sudah bekerja dengan masyarakat adat dan gerakan sosial di Sumut hampir 20 tahun. Memang tidak intensif, tetapi saya terus memberikan dukungan kepada mereka. Sudah ada sejumlah organisasi lokal memiliki infrastruktur untuk mendukung keseluruhan proses. Itu tak cukup. Jika kita (calon independen) mau bertarung tanpa infrastruktur dari organisasi-organisasi pendukung itu, mungkin perlu modal hingga Rp20-Rp30 miliar. Sementara itu, (dengan dukungan mereka) saya hanya menghabiskan uang sekitar Rp400 juta.

 

Bagaimana Anda mengumpulkan dana?
Saya mengumpulkan uang dari anggota organisasi (masyarakat sipil). Tak hanya dari Sumut, tapi juga dari seluruh tempat di Indonesia. Teman-teman dari masyarakat sipil ikut mendukung saya secara pribadi. Dan tentu saja, semua relawan memodali diri mereka sendiri (untuk mendukung dan menggalang dukungan). Itulah mengapa saya tidak memerlukan banyak uang untuk membayar para pendukung saya. Mereka tidak dibayar. Semua itu dilakukan secara sukarela.

 

Rumah sedang renovasi di Medan, ibu kota Sumatera Utara xel Drainville/Flickr.

 

Apakah normal dalam dunia politik di Indonesia di mana relawan bekerja tanpa dibayar?
Tidak, itu tidak normal. Pastinya, mereka (para kandidat lain) memiliki relawan, tetapi mereka membayar (untuk modal kampanye dan gaji para juru kampanye).

 

Apakah ada masyarakat atau kelompok tertentu yang menawarkan untuk menjual tanda tangan bagi kampanye Anda?

Oh, ya! Politik adalah bisnis. Jika Anda ingin maju sebagai calon independen, Anda bisa saja ‘membeli’ KPU. Ketika saya sedang mencoba mendapatkan nomor untuk pencalonan saya, ada oknum yang mendatangi saya untuk menawarkan bantuan. Yang perlu saya lakukan adalah memberi uang kepada mereka untuk membeli (tanda tangan dan salinan KTP). Jadi, saya punya peluang maju sebagai kandidat seandainya saya membayar. Ini bisnis.

 

Berapa banyak yang mereka minta?
Untuk sekitar 300.000 KTP, oknum itu meminta pada saya sekitar Rp40 miliar. Itu sudah beres. Anda tak usah repot melakukan apapun. Merekalah yang akan mengurus tanda tangan dan semua.

 

Apakah ada juga pebisnis yang mendekati Anda dan menawarkan untuk memodali kampanye Anda?
Oh, ya! Satu bulan setelah saya mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon Gubernur Sumut, survei membuktikan bahwa nama saya populer. Tiga orang datang kepada saya menawarkan suatu ‘kerja sama.’ (Mereka) meminta saya tidak mencalonkan diri sebagai calon independen. Mereka bilang kalau mereka bisa memberi saya dukungan lewat jalur parpol. Mereka akan bekerja untuk saya dan memberi saya uang Rp300 miliar. Saat itu, saya berkata tidak. Saya tetap maju sebagai calon independen. Saya hanya butuh sekitar Rp7 miliar. Cuma Rp7 miliar dan saya akan menang. Tetapi, mereka tidak menyukai gagasan ini. Mereka ingin saya maju dengan kendaraan parpol.

 

Siapa mereka?

Mereka menyebut diri mereka ‘bandar.’ Investor-investor politik. Mereka yang membayar segalanya. Mereka bisa ‘membeli’ Anda. Mereka akan menyediakan apa saja. Dan kemudian Anda dapat membalas apa yang telah mereka bayar dengan berbagai izin dan proyek. Sebetulnya, merekalah yang akan mengendalikan semua di pemerintahan Anda. Itu praktik umum yang terjadi selama ini karena mahalnya biaya politik.

Saya pernah mencoba menggali informasi tentang dari mana mereka berasal. Siapa yang ada di balik itu? Saya sampai pada kesimpulan awal, bahwa mereka adalah orang-orang yang berasal dari sektor perkebunan sawit, pertambangan, dan bisnis properti. Mereka membentuk konsorsium (yang terdiri dari sekelompok orang) yang memiliki beragam kepentingan di Sumut. Saya pikir mereka datang bukan hanya kepada saya, (tetapi) mereka pun mencoba melakukan hal yang sama kepada para kandidat lain.

 

Jadi, mereka ingin Anda menandatangani kontrak dengan parpol?

Iya. Karena sebenarnya mereka juga berurusan dengan parpol. Mereka tidak memiliki parpol, tetapi mereka akan pergi mendekati parpol dan berkata, ‘Kami membayar untuk dia (sebagai kandidat). Dia adalah pilihan yang baik dan lebih mudah untuk mendukungnya berkuasa (sebagai pemimpin daerah).’ Mereka akan berjalan di antara parpol dan kandidat. Jadi, parpol mendapat untung dan kandidat pun memperoleh keuntungan karena telah mengamankan proses pencalonan. Tetapi, semua transaksi di antara keduanya akan dilakukan melalui para mafia. Seandainya Anda menyelidiki lebih lanjut, Anda akan menemukan sosok siapa yang bertanggung jawab atas semua itu.

 

Gerakan progresif di Indonesia, termasuk gerakan lingkungan, masyarakat adat, dan anti-korupsi, telah meraih banyak keberhasilan. Meskipun begitu, tampaknya ada banyak hal harus dikedepankan. Menurut Anda, apa langkah ke depan adalah mencoba merebut posisi di dalam proses pengambilan keputusan (masuk ke pemerintahan)? Atau, ada hal lain perlu dilakukan di luar pemerintahan?

Dari luar pemerintahan, Anda hanya bisa memberikan tekanan. Tetapi, di dalam politik itulah (akan menemukan) sumber persoalan untuk reformasi saat ini (setelah berakhirnya rezim otoriter Orde Baru) berasal dari partai-partai politik. Sebab, partai-partai politik tidak benar-benar bekerja untuk politik itu sendiri. Mereka tidak memiliki ideologi.

 

Apakah menurut Anda, tanpa merebut jabatan politik, gerakan progresif di Indonesia telah mencapai batas dari apa yang bisa dicapainya? Atau, apakah justru gerakan progresif masih bisa terus maju ke depan dengan tetap berada di luar pemerintahan?

Tujuannya, agar isu-isu gerakan sosial jadi politis. Sekarang di Sumut, bahkan dalam debat politik di televisi, mereka membicarakan tentang hak masyarakat adat. (Moderator debat politik di televisi) bertanya pada para kandidat tentang komitmen mereka– sejauh ini telah saya kampanyekan. Jika mereka gagal melakukan itu, ada peluang dalam lima tahun dari sekarang (pilkada berikutnya) untuk menantang mereka dengan persoalan sama.

 

Sistem oligarki berkuasa, yang mengutamakan kepentingan perusahaan, dan penuh korupsi terhadap eksploitasi sumber daya alam dan perizinan. Menurut Anda, seandainya seorang kandidat progresif bisa menduduki jabatan politik (kepala daerah), apakah mereka akan mempunyai kekuatan mengubah sistem yang ada?

Iya. Sesungguhnya, mereka memiliki kekuatan. Mungkin tidak untuk mencabut izin-izin, tetapi membuat sistem terbuka. Untuk mengekspos siapa mengontrol apa dan bagaimana mereka mengendalikannya. Jadi, kita tak perlu langsung menghadapi para mafia. Bangun saja sistemnya, hingga tidak ada tempat bagi mereka untuk main-main. Biarkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengurus sisanya (sesuai tugas dan fungsi). Kita pun tidak perlu melakukan dengan cara kontroversial. Karena semua ini sebetulnya tentang data.

 

Menurut Anda, apakah perlu reformasi sistem agar para kandidat progresif punya peluang menduduki jabatan? Atau, apakah perlu lebih banyak pengawasan organisasi non-pemerintah dan jurnalis (media) terhadap bagaimana sistem bekerja saat ini, hingga mendukung para kandidat progresif bisa maju?

Sistem baru yang ada di tingkat nasional, bisa digunakan. Contohnya, kebijakan satu peta (one map policy). Atau, Anda dapat menggunakan agenda reforma agraria yang diusung KSP (Kantor Staf Presiden). Semua kebijakan nasional ini belum berfungsi di level bawah. Anda harus (menggunakan) semua ‘barang’ bagus itu di satu wilayah tertentu, misal, Sumut. Seperti halnya tinjauan terhadap perizinan.

(Catatan: Pemerintah pusat baru-baru ini melakukan peninjauan besar-besaran terhadap izin pertambangan di seluruh Indonesia yang berujung pada pembatalan ribuan izin. Inisiatif yang sama sedang dilakukan di sektor perkebunan sawit.) Ada Keputusan Presiden (Kepres) tentang hal itu. Maka, cukup terapkan itu di provinsi Anda! Tinjau lagi izin-izin yang ada dan kemudian buka semua izin melalui website. Undang masyarakat melaporkan apa yang terjadi selama ini terkait keberadaan semua izin itu. Anda (sebagai kepala daerah) memiliki dasar hukum untuk melakukan itu).

 

Rumat tradisional Batak, di tepian Danau Toba, tempat Abdon Nababan, lahir. Foto: Axel Drainville/Flickr.

 

Menurut Anda, generasi pemimpin progresif berikutnya akan datang dari mana? Apakah mereka bakal muncul dari orang-orang dari organisasi masyarakat sipil? Atau, justru sebaliknya?

Karena mahalnya biaya politik, sulit mendapatkan pemimpin baik dari organisasi masyarakat sipil atau organisasi non-pemerintah. Cara relaistis adalah dengan mendapatkan pemimpin baru yang tak lain ialah pengusaha progresif, seperti Jokowi. Mereka (para pengusaha progresif) tahu bagaimana bisnis dan politik bekerja. Seorang aktivis seperti saya, tahu bagaimana cara kerja pemerintah, tetapi kami tidak tahu bagaimana uang bekerja dalam sistem politik.

 

Menurut Anda, seberapa besar pengaruh perusahaan terhadap politik dapat jadi penghambat perubahan? Seandainya tak banyak politisi punya kedekatan dengan perusahaan yang mengeksploitasi suatu wilayah, apakah akan lebih banyak wilayah adat diakui negara?

Bahkan, kandidat berasal dari masyarakat adat sendiri, bisa terjebak ke dalam sistem itu. Mereka berusaha mengubah berbagai hal, tetapi sangat kecil. Jika kita punya uang sebagai suatu gerakan untuk mendukung kandidat-kandidat tertentu, mereka akan membuat perubahan nyata, contoh di Mentawai. Kami juga tahu, mereka juga mendapat dukungan dari sektor bisnis.

 

Apakah ada cara mendapat dukungan dari sektor bisnis dengan cara tidak korup? Orang-orang yang mendekati Anda sendiri ingin memberikan Anda uang dengan balas jasa berupa izin-izin perusahaan dan itu Anda tolak. Adakah cara agar bisnis dapat mendukung kandidat dengan cara tidak kotor?

Itu yang ingin saya usahakan. Saya ingin mengumpulkan uang dari perusahaan yang sejalan dengan visi saya. Pariwisata, ekonomi kreatif. Saya ingin bereksperimen karena sebagian besar uang masuk ke politik saat ini dari bisnis kotor, seperti sawit, pertambangan, dan lahan. Tidak ada uang dari … AirAsia atau Agoda, Anda tahu kan? Saya bukan anti-korporasi. Tapi, saya menentang bisnis kotor. Melalui politik, kita dapat mengubah ‘pemain,’ dari pembangunan yang merusak hingga pembangunan berkelanjutan.

Sekarang, pembangunan destruktif itulah yang mengendalikan politik. Kita harus mengidentifikasi siapa yang akan mendukung pembangunan berkelanjutan. Itu idenya.

 

Penelitian memperlihatkan, lebih sulit bagi seorang kandidat progresif di Indonesia menerobos perdesaan (ketimbang perkotaan) di mana tingkat pendidikan lebih rendah dan ekonomi mungkin terkonsentrasi di satu sektor. Menurut Anda, adakah yang bisa dilakukan untuk membantu kandidat progresif menerobos area itu?

Dalam situasi ini, -mengacu pada apa yang saya alami – itu justru lebih mudah bagi AMAN. Tetapi, AMAN harus berinvestasi dalam memperkuat organisasi (di tingkat lokal). Sebab, kita hanya harus melewati rintangan untuk jadi kandidat. Jika Anda jadi kandidat dan berasal dari gerakan, Anda akan menang. Jadi, itu alasan saya mengatakannya sejak lama kepada teman-teman. Fokus saja pada pencalonan!

 

Sepertinya yang Anda lalui dapat menginspirasi banyak orang mau maju mencalonkan diri?

Ya. Itulah pembelajaran yang telah saya pelajari.

 

Apa rencana ke depan?

Mereka (kelompok masyarakat adat dan aktivis) meminta saya maju di Banten. Kami masih mempertimbangkan itu. Termasuk, strategi apa yang bisa diambil jika saya terpilih menjadi anggota legislatif. Tantangannya, bagaimana kami dapat mengoptimalkan upaya-upaya kami di parlemen. Jadi, sekarang kami mempunyai satu atau dua atau tiga pilihan. Tetapi, saya belum tahu apa yang paling strategis bagi saya.

 

 

***

Wawancara ini telah diedit sesuai keperluan.

Artikel ini dibuat oleh The Gecko Project dan Mongabay sebagai bagian dari “Indonesia Dijual,” sebuah seri reportase mendalam tentang korupsi di balik persoalan deforestasi dan krisis agraria di Indonesia. Silakan membaca dua hasil investigasi utama kami, yaitu “Kerajaan Kecil Sawit danTangan-tangan Setan Bekerja.” Cerita lainnya juga dapat dibaca di sini.

Untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami, silakan terhubung dengan Facebook Mongabay dan The Gecko Project atau kunjungi situs The Gecko Project dalam versi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

 

Exit mobile version