Mongabay.co.id

Macan Tutul Jawa yang Mulai Terasing di Habitatnya

 

Sepuluh tahun terakhir, konflik macan tutul jawa dengan manusia di Jawa Barat sering terdengar. Predator tersisa di Pulau Jawa ini, acapkali “nyebrang” ke permukiman penduduk. Memangsa hewan ternak atau tersesat akibat habitatnya yang tak lagi nyaman.

Tahun 2018, satwa yang memiliki nama latin Panthera pardus melas ini dua kali tertangkap, pertengahan Mei dan awal Juni. Macan itu diketahui turun gunung di Sukabumi serta Pangalengan, Kabupaten Bandung. Nasib baik, keduanya berhasil dilepasliarkan kembali.

Macan tutul jawa merupakan spesies kunci ekosistem hutan yang mengalami ancaman degradasi kawasan. Keberadaannya masuk Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources dengan kategori Kritis (Critically Endangered), atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

Data Forum Pemerhati Macan Tutul Jawa mencatat, setidaknya sejak 2008 konflik macan tutul dengan manusia terjadi sebanyak 55 kasus. Hampir sebagian besar kejadian berada di tatar Pasundan.

Ironinya, setelah konflik–rasio dilepaliarkannya lebih kecil dari penangkapan. Sebagaian besar masih tanpa kejelasan. Pun dengan standar operasional penangkapan hingga proses rehabilitasi yang dinilai belum ideal.

“Kami mengamati dan menduga ada macan tutul yang sudah empat tahun belum dilepasliarkan,” ungkap Dewan Penasihat Profauna Herlina Agustin, beberapa waktu lalu.

Selama itu pula, belum ada tempat khusus rehabilitasi bagi macan tutul yang tertangkap. Biasanya, dititiprawatkan ke Taman Satwa Cikembulan Garut, Kebun Binatang Bandung, atau Taman Safari Bogor.

“Untuk mengukur angka macan tutul yang sudah dilepasliarkan juga sulit. Perlu kajian komprehensif, pasalnya macan yang ditangkap di suatu wilayah belum tentu dilepasliarkan di tempat yang sama,” jelasnya.

Baca: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Macan tutul ini di kandang pelepasliaran setelah direhabilitasi 17 hari di Kebun Binatang Bandung, Kota Bandung, belum lama ini. Rencananya, akan dilepasliarkan di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Habitat dan problematika pelepasliaran

Contoh kasus, keluarnya macan tutul jawa sering terjadi di kawasan hutan Suaka Margasatwa (SM) Gunung Sawal, Ciamis sejak 2001. Fenomena itu, cenderung meningkat hingga akhir 2016, yang secara kumulatif sudah terjadi 51 kasus di 20 desa sekitar kawasan konservasi tersebut. Kasus terbanyak terjadi di 2011, dengan desa paling sering didatangi adalah Kertamandala (10) dan Cikupa (8) yang berbatasan langsung dengan hutan.

Data tersebut dikeluarkan berdasarkan kajian kawasan pada 2017 oleh Forum Konservasi Macan Tutul Jawa (FORMATA), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar, bersama instansi terkait.

Disimpulkan bahwa macan tutul keluar dari habitatnya dikarenakan faktor persaingan teritori sehingga yang kalah harus terusir, mencari wilayah baru. Macan tutul yang keluar dan tertangkap hampir seluruhnya berjenis kelamin jantan dengan usia 2,5 -3 tahun, yang dinilai dalam masa-masa penyapihan.

Menurut Pemerhati Macan Tutul Jawa Erwin Wilianto, keluarnya macan tutul dari kawasan hutan tidak selalu menimbulkan konflik. Perseteruan terjadi ketika ada pihak yang dirugikan, baik manusia maupun macan tutul.

“Macan tutul sebenarnya lebih menghindari konflik dengan manusia. Kecuali ada faktor seperti murni persaingan atau fragmentasi hutan di jalur jelajahnya,” terang Erwin.

Terlebih, macan tutul sangat tidak selektif dalam menentukan habitatnya. Mereka hanya menggunakan wilayah hutan yang memiliki kecukupan akan ketersediaan sumber pakan, air dan shelter, berdasarkan data Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978.

Bila diasumsikan (Gunawan, 2010), seekor macan tutul memerlukan ruang habitat antara 600-800 hektar per ekor. Dengan luasan SM Gunung Sawal sekitar 5.000 hektar, diperkirakan dapat menampung sekitar 6-8 ekor macan tutul.

Hasil analisis populasi menggunakan kamera jebak, menunjukkan bahwa kepadatan relatif (relative density) macan tutul jawa di SM Gunung Sawal yaitu satu individu per 6,4 kilometer persegi. Ini menunjukan, kepadatannya tidak berbeda jauh dengan kawasan hutan lain.

“Sejauh ini kami masih melakukan berbagai kajian, termasuk populasi dan inventarisasi kawasan habitat,” ujar Sustyo Iriyono, ketika masih menjabat Kepala BBKSDA Jabar. “Estimasi kami, 100 ekor lebih macan tutul ada di wilayah Jawa Barat dan Banten.”

Secara matematis, habitat dengan luas kurang dari 1.000 hektar, diperkirakan sudah tidak dihuni lagi. Atau sudah tidak ada secara lokal. Hal ini secara biologis menyulitkan untuk reproduksi. Jika daya tampung hanya dua ekor dan keduanya memiliki jenis kelamin sama, sementara tidak memiliki kesempatan untuk mengakses populasi lain di sekitarnya, maka tidak akan dapat berkembang biak.

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Bertahan hidup

Berdasarkan SK MENHUT No.195/KPTS-II/2003 luasan lahan konservasi di Jawa Barat sekitar 132.180 hektar tersebear di 50 kawasan hutan. Sebagai informasi, lanskap (ekosistem) hutan secara ekologis tidak mengenal batas-batas administratif dan batas fungsi kawasan. Sehingga sangat memungkin bila daya jelajah macan tutul juga terdapat di wilayah hutan lindung.

Macan tutul biasanya hidup menyendiri atau soliter, kecuali pada musim kawin dan mengasuh anak. Meski kurang suka menetap, namun jenis ini tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan masih mencukupi (Ahmad, 2007).

Dari informasi yang dihimpun, macan tutul mempertahankan daerah teritori melalui tanda–tanda berupa suara, cakaran, maupun urine dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat–tempat yang terbuka sebagai tanda batas.

Guggisberg 1975 memperkirakan, rentan hidup macan tutul di alam antara tujuh sampai sembilan tahun. Rata–rata masa buntingnya, 90-95 hari dengan Jumlah anak per kelahiran adalah 1-3 ekor setahun.

 

Macan tutul jawa, yang sering disebut macan kumbang ini, tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Meski begitu, ancaman perburuan masih jadi ancaman serius setelah penyempitan kawasan hutan. Peristiwa mencemaskan itu terjadi lagi awal Febuari 2018. Seorang pemuda memamerkan hasil buruannya, seekor macan tutul ke beranda Facebook. Diketahui, perburuan itu berada di Garut Selatan.

Miris, sampai saat ini pelakunya belum ditangkap. Padahal penegakan hukum terhadap satwa dilindungi tertuang dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Daya Alam dan Ekosistemnya. Diharapkan, hadirnya sanksi hukum dapat memperlambat macan tutul dari kepunahan.

“Pada saatnya, kehadiran macan tutul di ekosistem akan dianggap penting. Bukan lagi sebuah ancaman. Kesadaran masyarakat diharapkan tumbuh untuk hidup berdampingan,” jelas Kepala Bidang KSDA Wilayah II Memen Suparman.

 

 

Exit mobile version