Mongabay.co.id

Berbagai Persoalan Lingkungan dan Agraria di Jateng, Bisakah Berharap dari Gubernur Terpilih?

Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Unggul dalam pilkada Jawa Tengah, pertahana, Ganjar Pranowo, berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen dengan perolehan suara lebih 50%. Kalangan organisasi masyarakat sipil menuntut kepala daerah terpilih dapat memastikan lingkungan terjaga.   

 

Sebagian petani di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pergi ke sawah seperti biasa meskipun ada pemilihan gubernur.

Salah satu petani, Ngatiban, warga Tegaldowo, pada hari pemilihan itu berladang seperti biasa.  Dia tak peduli pemilihan kepala daerah.  Baginya,  tak ada pasangan gubernur dan wakil yang peduli penyelamatan Pegunungan Kendeng.

“Buat apa milih, rak ono seng peduli kelestarian Gunung Kendeng,” katanya, kepada Mongabay.

Tak hanya Ngatiban, minggu lalu, di Semarang, Jateng, 23 organisasi tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Keadilan Lingkungan Hidup dan Agraria di Jateng mendeklarasikan memilih gunung, tanah, pesisir, laut dan keberlanjutan lingkungan.

Pada 27 Juni itu, dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng, berlaga. Pertahana, Ganjar Pranowo bersama Taj Yasin Maimoen dengan partai pendukung PDI-P, Demokrat, Nasden dan PPP dan Golkar, lalu Sudirman Said-Ida Fauziyah usungan Gerindra, PKS, PAN dan PKB.

Ivan Wagner dari Lembaga LBH Semarang kepada Mongabay mengatakan, tak ada pernyataan kedua kandidat peka krisis ekologi maupun konflik lingkungan dan agraria di Jateng. Padahal, Jateng tengah menghadapi krisis ekologi dan banyak konflik.

Di Pegunungan Kendeng, katanya, eksploitasi karst lindung masih terus berlanjut, bahkan memunculkan banyak izin-izin baru jelang pemilihan gubernur.

Data Dinas energi dan Sumber Daya Mineral Jateng, menyebutkan,  ada 120 izin tambang baru.  Sedang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kendeng menyatakan, keharusan penghentian eksploitasi dan perizinan di Pegunungan Kendeng.  Dengan begitu, katanya, perusahaan-perusahaan seperti PT Semen Indonesia di Rembang, PT Sahabat Mulia Sakti di Pati maupun perusahaan lain seharusnya angkat kaki dari Kendeng.

“Siapapun terpilih kami menuntut komitmen masing-masing untuk melaksanakan KLHS,” katanya.

Dampak penambangan ini, tak hanya di wilayah eksploitasi juga tempat lain. Satu contoh, pembangunan pabrik semen di Rembang, ada tukar guling kawasan hutan di Surokonto Wetan, Kendal.

Tukar guling ini, katanya,  menyebabkan, kriminalisasi beberapa petani. Kiai Azis dan Sutrisno Rusmin,  diseret paksa ke penjara dengan hukuman delapan tahun, denda Rp10 miliar hanya karena menggarap lahan untuk kehidupan sehari-hari!  Mereka dituduh menyerobot kawasan hutan, padahal sudah puluhan tahun petani menggarap lahan itu.

Di Kecamatan Gombong, Kebumen, kata Ivan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT Semen Gombong ditolak pada 2016 karena kawasan karst ini tak boleh ditambang karena fungsi lindung.

Meskipun begitu, katanya, hingga kini warga terus menuntut penetapan jadi kawasan lindung, namun selalu mentah di pemangku kewenangan, antara lain kewenangan gubernur.

Di Kecamatan Nguter, Sukoharjo, terjadi pencemaran dari pabrik industri rayon dari PT Rayon Utama Makmur (RUM), sudah memakan korban masyarakat sekitar dan kriminalisasi empat warga serta seorang mahasiswa gara-gara memperjuangkan hak lingkungan sehat.

Mereka terancam pidana, sedang pelanggaran pidana RUM maupun tindak kekerasan aparat tak pernah diproses hukum.

 

Lahan petani produktif dipasangi papan larangan memasuki tanah di area PLTU. Padahal lahan ini lahan milik warga tolak PLTU Batang yang sah. Apakah ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo, yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan? Foto: Greenpeace Indonesia

 

Pabrik pun, katanya,  masih berdiri dan berpotensi beroperasi serta kembali mencemari.

“Pencemaran lingkungan makin masif di Jateng, LBH Semarang mencatat, dari 34 kasus lingkungan Jateng selama 2017, 16 kasus pencemaran lingkungan,” katanya.

Tak hanya itu. Ada beberapa proyek infrastruktur, seperti di Tambakrejo, berniat menggusur warga untuk normalisasi Kanal Banjir Timur tanpa pengakuan hak-hak konstitusional mereka. Juga reklamasi Pesisir Semarang, penyedotan air tanah massif, gedung-gedung maupun kawasan industri terus dibangun.

Kondisi ini, katanya, menyebabkan penurunan muka tanah, resapan di hulu hilang, air laut naik dan banjir rob.

Senada dikatakan Abdul Ghofar dari Walhi Jateng. Dia bilang, sektor energi, Jateng sasaran energi kotor lewat pembangunan pembangkit-pembangkit listrik tenaga batubara di Cilacap, Rembang, Jepara terakhir di Batang. Di Batang, proyek terus dipaksakan berlanjut dengan fakta merebut paksa lahan-lahan petani.

Saat ini, katanya,  PLTU mulai meresahkan masyarakat nelayan dengan pancang-pancang yang merebut area tangkap mereka.  Belum lagi material atau tongkang merusak jaring bahkan kapal nelayan. Lebih mengkhawatirkan, kelak area tangkap nelayan bisa hilang, polusi limbah, buangan air panas bahkan ikan-ikan tersedot mesin PLTU.

Isu energi lain, katanya, pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) Baturraden di Gunung Slamet juga terjadi konflik.   PLTPB baru tahapan eksplorasi, namun banyak merusak hutan di Jawa.

Dalam draf revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jateng, kata Ghofar, akan dibangun PLTPB di Cilacap, Rembang, Jepara, Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Brebes dan Semarang. Tentu kemungkinan serupa di Gunung Slamet menanti, padahal Jateng sudah surplus energi sejak 2012.

Diapun menuntut komitmen, gubernur terpilih menyelesaikan berbagai konflik lingkungan. “Krisis ekologi maupun dan agraria mendasarkan hak asasi manusia,” katanya.

Gubernur terpilih, katanya, harus menghentikan kebijakan-kebijakan infrastruktur dan tata kota mengalih fungsikan lahan lindung apalagi menggusur tanpa memperhatikan hak masyarakat.

“Sikap kami jelas, memilih lambang Jateng yaitu tetap jaya dan lestari gunung-gunung, tanah air, pesisir, laut, dan keberlanjutan lingkungan,” ucap Ghofar.

Adapun 23 Jaringan Masyarakat Sipil untuk Keadilan Lingkungan dan Agararia Jateng ini yakni, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag), Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW) Kendal, dan  Paguyuban Ujung Negoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonorekso, Roban (UKPWR) Batang.

Ada juga, Karang Taruna Roban Timur, YLBHI-LBH Semarang, Walhi Jateng, Yayasan Desantara, Jatam,  Greenpeace, LRC- KJHAM, maupun relawan integritas, Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng. Lalu, aksi Kamisan Semarang, Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Semarang, Batanglyon, GUSDURian Semarang, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Solidaritas Perempuan, Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), Kolektif Simpul Api, Mahasiswa Bergerak serta Perhimpunan Mahasiswa Hukum (Permahi) Semarang.

 

Keterangan foto utama: Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Aksi warga Kendeng didominasi perempuan di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut kejelasan sikap pemerintah atas tambang-tambang di Pegunungan Kendeng, seperti PT Semen Indonesia, yang mengancam sumber air warga. Foto: Andreas Iswinarto

 

Exit mobile version