Mongabay.co.id

Pengakuan Bersyarat Hambat Implementasi Hutan Adat

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan atas permohonan pengujian UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat dari Kenegerian Kuntu, Riau dan Kasepuhan Cisitu, Banten. Putusan ini biasa dikenal dengan Putusan MK-35.

Inti putusan menyatakan, hutan adat yang sebelumnya bagian dari hutan negara sesuai UU Kehutanan, jadi suatu kategori hutan hak masyarakat adat.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Putuskan Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Pasal-pasal mengenai status dan penetapan hutan adat dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pasal-pasal terkait bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat adat, dinyatakan tak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional bersyarat) dan tetap berlaku.

Untuk menikmati hak asal-usul termasuk atas wilayah adat di dalam kawasan hutan (hutan adat), keberadaan masyarakat adat secara yuridis formal harus diakui atau ditetapkan terlebih dahulu melalui peraturan daerah.

Pasca putusan MK-35, beragam upaya dilakukan masyarakat sipil agar mandat “koreksi konstitusional kebijakan negara atas hak dan wilayah masyarakat adat di kawasan hutan” dapat segera terlaksana.

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun: Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

AMAN bersama gerakan pendukung telah mendeklarasikan gerakan legislasi pengakuan hak-hak masyarakat adat baik pusat dan daerah. Saat sama,  Komnas HAM sudah lakukan inquiri nasional hak masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Secara singkat, temuan Komnas HAM menyatakan, telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM bagi masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Menurut Komnas HAM, pelanggaran HAM itu terjadi karena ketiadaan pengakuan hukum dan sektoralisme pengaturan pengakuan masyarakat adat dan hak-hak jadi “jantung” tindakan diskriminasi dan kriminalisasi. Juga terdapat penguasaan kawasan hutan secara ilegal oleh korporasi yang mengambil alih paksa wilayah adat dan melakukan penguasaan kawasan hutan tanpa izin.

Tulisan ini mencoba memaparkan hal-hal mendasar dalam putusan MK-35. Baik peluang dan tantangan dalam implementasi, capaian-capaian selama lima tahun pasca dan upaya jalan keluar dari tantangan yang dihadapi dalam kaitan karakter hukum otonom Indonesia.

Karakter hukum otonom selalu mengedepankan tertib hukum melalui model peraturan (model of rules), menjadikan prosedur sebagai “jantung hukum.” Juga ketaatan pada hukum positif yang harus disalurkan melalui proses politik jadi salah satu problem menjawab kebutuhan dan keadilan substantif masyarakat termasuk masyarakat adat.

 

UU khusus

Melalui putusan MK-35, Mahkamah Konstitusi menetapkan, hutan adat tak lagi sebagai hutan negara. MK tegas menyatakan,  hutan adat bukan lagi hutan negara melainkan bagian dari hutan hak.

MK berpandangan, dengan memasukkan hutan adat sebagai hutan negara– sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan– adalah tindakan inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan MK-35 menegaskan, masyarakat adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas wilayah adat mereka. Meskipun begitu, putusan MK-35 meninggalkan celah dan pekerjaan rumah yakni penolakan permohonan atas penghapusan pengakuan bersyarat masyarakat adat. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) dan (3) UU Kehutanan.

MK berpandangan,  pengaturan keberadaan masyarakat adat dalam UU Kehutanan sejalan dengan konstitusi Pasal 18B ayat (2). Ada empat persyaratan keberadaan menurut Pasal 18B ayat (2). Pertama, sepanjang masih hidup, kedua, sesuai perkembangan masyarakat, ketiga, prinsip NKRI dan keempat, diatur dalam Undang-undang.

Dalam pandangannya, Hakim MK menyatakan, pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat untuk menjawab kekosongan hukum atas masyarakat adat dan hak-haknya sebelum ada UU khusus tentang masyarakat adat. Hal ini tercermin dalam pandangan Hakim MK:

“Undang-undang yang diperintahkan oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Oleh karena kebutuhan yang mendesak, banyak Perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-undang yang dimaksud terbentuk.”

Jelas, putusan MK-35 menghendaki ada UU khusus mengenai masyarakat adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, semua peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, termasuk peraturan daerah haruslah dimaknai sebagai langkah antara (transisi) untuk mengisi kekosongan hukum UU khusus masyarakat adat.

Putusan MK-35 sekaligus menunjukkan koreksi mendasar mengenai konsepsi hak menguasai negara. Dalam amar putusan, menyatakan,” dengan memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian hak-hak masyarakat (hukum) adat.”

Pernyataan ini sekaligus mengoreksi asas domein verklairing yang diadopsi dalam UU Kehutanan tahun 1999. Suatu konsep warisan kolonial yang menyatakan tanah-tanah yang mampu dibuktikan oleh pemiliknya melalui bukti kepemilikan sah secara hukum merupakan tanah tak bertuan. Karena itu, penguasaan jadi domein negara.

Doktrin ini,  berimplikasi lebih lanjut pada teralienasi (tersingkirkan) masyarakat adat dari tanah di mana mereka hidup dan tinggal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber penghidupan ekonomi, lebih dari itu.

Serupa disampaikan Dr Saafroedin Bahar,  dalam persidangan pada pokoknya menyampaikan, dari perspektif kesejarahan, kehidupan berbangsa dan bernegara, serta hukum internasional, materi UU Kehutanan sesungguhnya mempunyai akar sejarah sudah lama. Yakni, setelah dibentuknya otoritas politik lebih tinggi di atas kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang ada.

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Dalam zaman Hindia Belanda, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat dan hutan adat, berlangsung serta merta, tanpa kondisionalitas apapun. Para pendiri negara Indonesia, juga tanpa syarat mengakui hak asal usul dari kesatuan masyarakat adat, seperti tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya.

Sejak tahun 1960 sampai sekarang, dengan pencantuman berbagai kondisionalitas terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat, dan konstruksi hak menguasai negara atas tanah dengan cara melanggar hak asal-usul kesatuan masyarakat adat,  maka secara teoretikal telah terjadi tiga pelanggaran konstitusional. Pertama, terhadap original intent para pendiri negara. Kedua, terhadap tugas pemerintah seperti tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Ketiga, terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dengan begitu, tafsir mengenai hak menguasai negara dengan putusan MK-35 dibatasi hak menguasai (ulayat) masyarakat adat. Penguasaan oleh negara haruslah memperhatikan hak menguasai (ulayat) masyarakat adat dan tak boleh diabaikan apalagi dihapuskan oleh negara.

 

Tantangan

Ciri paradigma positivisme hukum adalah mengedepankan hukum tertulis sebagai landasan utama dalam mengatur tertib sosial masyarakat. Positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental khusus di Perancis dengan beberapa eksponen yang terkenal terutama Henri Saint Simom (1760-1825) dan August Comte (1798-1857).

Tujuan positivisme hukum adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Dalam positivisme yuridis menyatakan, hukum adalah closed logical system.

Masuknya aliran positivisme ke Indonesia diperkenalkan oleh kolonial Belanda. Konsep hukum Eropa Kontinental (Civil Law), akhirnya diadopsi Indonesia hingga kini. Konsep hukum Eropa Kontinental yang berlaku di Indonesia dapat dikategorikan sebagai hukum otonom.

Ia mengedepankan prinsip-prinsip antara lain, tertib hukum model peraturan, prosedur sebagai jantung hukum, dan ketaatan pada hukum sebagai kepatuhan sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum positif dan semua itu harus disalurkan melalui proses politik.

Tantangan politis-normatif yang sangat dipengaruhi pemikiran positivisme hukum ini terjadi dalam implementasi putusan MK-35. Dengan penolakan pasal-pasal pengakuan bersyarat masyarakat adat oleh MK, berimplikasi pengembalian wilayah adat (hutan adat), harus diakui terlebih dahulu melalui peraturan daerah. Jalur tempuh ini,  mengharuskan masyarakat adat menempuh jalan berliku melalui proses politik legislasi pembentukan peraturan daerah. Meski alasan hukum MK dapat diterima terkait penolakan pasal-pasal bersyarat pengakuan masyarakat adat, tetapi MK sepertinya lupa mempertimbangkan realitas politik lokal melalui perda sangat berat dan memerlukan biaya politik tak murah.

Jadi, harus ada terobosan konstitusional oleh MK,  misal, pengakuan masyarakat adat cukup dengan keputusan kepala daerah (SK bupati, kota atau SK gubernur). Karena pengakuan berada di level daerah,  sesungguhnya hanyalah tindakan administratif sebagai tindak lanjut pengakuan hak masyarakat adat dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

AMAN mencatat,  sejak 2015-2018, ada inisiatif 42 dari kabupaten dan kota untuk membentuk peraturan daerah tentang masyarakat adat. Meskipun begitu, sampai pertengahan Juni 2018, dari 42 daerah baru 15 kabupaten dan kota menetapkan rancangan peraturan daerah jadi peraturan daerah.

Situasi ini menunjukkan, pembentukan hukum melalui proses politik “persetujuan bersama DPRD dan pemerintah daerah” bukanlah hal mudah.

Selain persoalan proses pembentukan perda, masalah sektoralisme pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan jadi masalah yang tak bisa dihindari dalam pembentukan produk hukumnya.

Dalam praktiknya,  sektoralisme pengaturan saling menyandera dan tumpah tindih di lapangan. Sedikitnya, ada empat jalur tempuh pengakuan hukum masyarakat adat untuk mendapatkan hak wilayah (hutan/tanah) adat.

Rute-rute pengakuan masyarakat adat sebagaimana disebutkan memiliki cara pandang sendiri-sendiri terkait cara dan bentuk hukum pengakuan masyarakat adat. Celakanya,  semua berjalan berdasarkan kepentingan sektor masing-masing.

Sebagai contoh, Pasal 67 UU Kehutanan menghendaki pengakuan dengan perda penetapan sebagai subyek hukum. Satu entitas masyarakat adat harus ditetapkan dengan satu perda kabupaten/kota. Dalam realitasnya, satu kabupaten/kota lebih dari satu komunitas adat.

Begitu juga dengan UU Desa. Paradigma UU Desa hendak mengakui keberadaan masyarakat adat melalui desa adat lewat perda. Untuk penetapan “desa adat” terlebih dahulu harus terbentuk perda payung di level provinsi.

Perda provinsi inilah yang jadi basis penetapan “desa adat” pada kabupaten dan kota, dan penetapan harus dengan perda kabupaten dan kota. Selain persoalan birokrasi pengaturan mengenai desa adat, secara antropologis UU Desa,  tidak mampu menjawab keberagaman masyarakat adat.

 

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Setengah hati?

Hutan adat adalah pernyataan yang muncul dalam dokumen peraturan perundangan, dan makin ditegaskan dengan putusan MK-35. Sisi lain, implementasi putusan masih bersifat involusi alias berjalan di tempat. Kebijakan pemerintah, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum mencerminkan komitmen kuat jalankan amanat putusan MK.

Nugroho (2014) melihat, ada dua perspektif kebijakan publik, yakni kebijakan publik adalah tugas pemerintah semata, dan situasi saling mempengaruhi antara pemerintah dan masyarakat.

Perspektif pertama sering disebut kontinental dan kedua, anglo saxon. Untuk perspektif pertama, kebijakan publik diartikan sebagai hukum yang dibuat pemerintah dan harus diikuti. Partisipasi publik hanyalah instrumental. Perspektif kedua, kebijakan publik adalah proses politik, hingga partisipasi publik bagian dari demokrasi.

Riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengutip data BP-REDD soal laju deforestasi selama 2000–2012 adalah 840.000 hektar. Kerugian dapat terlihat dari aspek ekonomi (kerugian penerimaan negara), kemiskinan, dan ekologis. Masih dari riset KPK, kelompok yang langsung dan lebih dahulu terdampak adalah masyarakat lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Ada sekitar 38.565 desa di dalam sekitar kawasan hutan. Data Biro Pusat Statistik (BPS) 2014 menyebutkan,  sekitar 8.643.228 kepala keluarga menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Meskipun telah lahir produk hukum pengakuan, pengembalian hutan adat tidak serta merta dapat dinikmati. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Permen LHK No.32/2014 tentang Hutan Hak menyatakan, untuk mendapatkan hak atas hutan adat, warga adat harus mengajukan permohonan penetapan hak kepada menteri. Selanjutnya,  menteri akan memverifikasi dan validasi pengajuan permohonan itu.

Dengan logika macam itu, percepatan reforma agraria sektor kehutanan tak berjalan sesuai harapan. Ia ikut diperparah dengan tidak ada keberpihakan politik anggaran dalam penetapan hutan adat.

Padahal,  penetapan (pemulihan) hak atas hutan adat sebagai salah satu cara penyelesaian konflik tenurial di dalam kawasan hutan. Dari data lansiran Indonesian Budget Center (IBC),  menyebutkan terjadi kesenjangan antara target dan politik anggaran pada 2017.

Anggaran belanja kegiatan hutan adat pada 2017,  masih sangat minim yaitu 23% atau Rp2.522 miliar terdiri dari anggaran pusat dan balai, 77% untuk penanganan konflik, pelayanan internal dan layanan perkantoran.

Politik anggaran minim berimplikasi pada capaian target penetapan hutan adat. Hingga 2018,  baru 17.089,99 hektar ditetapkan sebagai hutan adat dari target rencana pembangunan menengah nasional (RPJMN) seluas 5.008.000 hektar.

 

 

Strategi pengakuan

Dalam konteks mewujudkan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat secara komprehensif, dan menjawab persoalan-persoalan, maka upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu, pertama, dengan mengajukan kembali permohonan judicial review (JR) terhadap ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan yang mengharuskan pengakuan masyarakat adat melalui perda sebagai syarat pengembalian hutan adat.

Meskipun dalam permohonan JR sebelumnya ditolak MK, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) hukum acara MK menyatakan, permohonan JR dapat dilakukan kembali apabila materi muatan dalam UUD 1945 yang jadi dasar pengujian berbeda dari permohonan sebelumnya.

Kedua, melalui pembentukan UU masyarakat adat yang sedang dalam pembahasan DPR bersama pemerintah. Draf RUU masyarakat adat harus menyatakan dalam ketentuan peralihan atau penutup mencabut semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan pengakuan masyarakat adat melalui perda termasuk hal yang diatur di dalam Pasal 67 ayat (2) dan ayat (3) UU Kehutanan.

Melalui UU masyarakat adat (jika disahkan), hal-hal teknis hukum pengakuan bersyarat dan beragam itu dapat “diamputasi” dengan menyederhanakan bentuk pengakuan hukumnya. Hal ini untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum masyarakat adat dalam menikmati hak-hak tradisional (hak bawaan, hak asal-usul) terutama hak atas tanah adat baik di dalam maupun luar kawasan hutan negara. Semoga!!

Penulis adalah Pengurus Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Keterangan foto utama: Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version