Mongabay.co.id

Saatnya Indonesia Kembangkan Kedokteran Kelautan untuk Lindungi Wilayah Laut

Pemerintah Indonesia mengakui sektor kemaritiman, khususnya di bidang keselamatan kerja maritim dan pariwisata masih belum berkembang dengan baik. Salah satunya, adalah kedokteran kelautan yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan di seluruh Negeri. Kehadiran profesi tersebut, hingga saat ini masih sangat minim walaupun berbagai kejadian banyak bermunculan di wilayah kelautan.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agus Purwoto mengatakan, sektor kemaritiman nasional, khususnya bidang keselamatam kerja maritim dan pariwisata hingga saat ini masih membutuhkan kehadiran dari sumber daya potensial dan sekaligus produk inovatif dari kedokteran kelautan.

Agus mengungkapkan, agar kebutuhan bisa dipenuhi dengan segera, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan membukan program studi pendidikan kedokteran kelautan di perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Program pendidikan itu, menjadi kebutuhan mendesak, karena saat ini kehadiran kedokteran kelautan menjadi profesi sangat penting di wilayah kelautan.

“Kebutuhan terkait tenaga kesehatan dan spesialis di bidang kedokteran kelautan juga mendesak untuk segera ditambah, salah satunya dengan cara segera membuka program studi lanjutan spesialis kedokteran bidang kelautan,” jelasnya, di Jakarta, belum lama ini.

baca : Banyak Kecelakaan Wisata Laut di Nusa Penida Bali. Ada Apa?

 

Sekelompok nelayan dalam perahu berangkat melaut di perairan Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Nelayan merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami kecelakaan di laut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Perlunya dibuka prodi khusus, menurut Agus, karena saat ini sumber daya kedokteran kelautan masih sangat sedikit, sementara permintaan sangat tinggi. Untuk itu, perlu segera dibuat prodi baru yang resmi dan dilembagakan. Dengan cara itu, ketergantungan Indonesia terhadap luar negeri untuk kedokteran kelautan secara perlahan bisa dikurangi dan dihentikan.

“Untuk beberapa hal kita masih bergantung dari luar Indonesia, ini yang sangat menyedihkan padahal peluang itu sangat terbuka lebar,” sebutnya.

Agar terwujud keinginan membuka prodi kedokteran kelautan, Agus berjanji akan melakukan sinergi dengan kementerian atau lembaga Pemerintah lain dan membicarakan tentang rencana tersebut. Namun, dia tidak berani menjanjikan kapan waktu tepat prodi tersebut akan dibuka untuk bangsa Indonesia.

“Untuk targetnya seperti yang saya katakan tadi, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena ini bukan bentuk latihan saja akan tetapi bentuk keahlian profesi, dan ini akan terus kita perjuangkan itu,” tegasnya.

 

Poros Maritim

Terpisah, Ketua Persatuan Kedokteran Kelautan (Perdokla) Ari Riono mengungkapkan, kebutuhan pendidikan kedokteran kelautan saat ini memang sudah sangat mendesak untuk diselenggarakan di Indonesia. Untuk itu, pihaknya sebelum ini sudah mulai melakukan pendekatan dan pembicaraan kepada sejumlah dekan dari beberapa perguruan tinggi yang menyelenggarakan prodi pendidikan dokter.

“Belum lama ini, Kemenko Bidang Kemaritiman telah mengumpulkan beberapa Dekan dari beberapa universitas terkemuka di seluruh Indonesia, yang bertujuan untuk membantu upaya pembukaan prodi baru tersebut , yang notabene sangat dibutuhkan bagi kemajuan dunia maritim Indonesia itu,” tuturnya.

baca : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Nelayan merupakan salah satu profesi yang rentan mengalami kecelakaan di laut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dengan dukungan langsung yang diberikan Pemerintah melalui Kemenkomar, Ari menilai itu menjadi awal yang bagus karena pembukaan prodi khusus kedokteran kelautan menjadi semakin cepat terwujud. Jika itu terjadi, maka fungsinya untuk membantu mewujudkan Nawacita Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia juga semakin jelas.

Kepala Dinas Kesehatan TNI Angkatan Laut Nora Lelyana menjelaskan, kehadiran prodi kedokteran kelautan memang sangat dinantikan oleh Indonesia. Pasalnya, saat ini Indonesia telah menempatkan pembangunan poros maritim sebagai salah satu prioritas nasional dan sudah masuk dalam rencana prioritas tahun 2015 – 2019.

Menurut Nora, parameter dari kedokteran kelautan ini adalah penguasan teknologi dari personel-personel pilihan di spesialis kedokteran kelautan, di antaranya adalah teknologi di bidang hiperbarik (terapi oksigen) dengan menggunakan teknologi chamber yaitu ruangan udara bertekanan tinggi dengan tekanan atmosfer lebih dari 1 atm, untuk mengatasi masalah fisiologis dan patologis dalam penyelaman.

“Pemerintah sudah mencanangkan di 2019 untuk membuka lebih banyak lagi chamber-chamber di daerah pariwisata, tetapi spesialis dokter di bidang hiperbarik di Indonesia belum terlalu banyak. Yang ada hanya diawasi oleh operator-operator saja,” tuturnya.

Kebijakan Pemerintah Indonesia yang bergerak cepat dengan menempatkan chamber-chamber di hampir seluruh seluruh wilayah Indonesia, menurut Nora, menuntut harus segera disediakan tenaga medis dari bidang kedokteran kelautan, khususnya dokter spesialis untuk hiperbarik.

“Oleh karena itu kita harus menyediakan dokter-dokter spesialis dan juga penataan regulasinya, itulah tantangan yang harus kita jawab,” pungkasnya.

 

Ruangan dengan alat hyperbaric chamber RSUP dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulsel. Foto : ksdae.menlhk.go.id

 

Riset Samudera

Sebelum ada desakan untuk menyelenggarakan pendidikan kedokteran kelautan, Pemerintah Indonesia lebih dulu menyadari pentingnya melakukan riset di wilayah kelautan. Kesadaran itu muncul, karena Indonesia adalah negara pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia dan pemanfaatan sektor kemaritiman hingga saat ini dinilai masih sangat kurang.

Padahal, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dengan segala potensi yang ada, sektor kemaritiman bisa memenuhi segala kebutuhan, terutama dari sektor perikanan dan kelautan. Rendahnya pemanfaatan potensi yang ada, menurut dia, salah satunya karena penelitian untuk sektor kemaritiman masih sangat rendah.

“Kita belum dapat memanfaatkan sumber daya laut secara maksimal,” ucapnya.

Rendahnya pemanfaatan, menurut Bambang, bisa dilihat dari sumbangan sektor kemaritiman dan kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sektor maritim, kata dia, hingga saat ini hanya sanggup menyumbang sekitar 4 persen saja terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Padahal, Bambang menyebut, dengan perairan laut seluas 5,8 juta km persegi atau seluas 2/3 dari total yurisdiksi nasional yang mencapai 7,73 juta km2, serta memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, harusnya sektor maritim Indonesia bisa berkembang pesat.

“Laut yang luas berisi sumber daya hayati dan non-hayati yang sangat kaya. Perairan laut Indonesia dikenal sebagai hot spot untuk marine biodiversity,” jelasnya.

baca : Pusat Riset Kelautan Didirikan untuk Imbangi Kemajuan Sektor Kelautan dan Perikanan?

 

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsah Suryadi menjelaskan, pemanfaatan sektor kemaritiman harus segera dilakukan sebanyak mungkin jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat. Tetapi, untuk mencapai itu, dipastikan perlu dilakukan penelitian (riset) yang mendalam dan berkesinambungan oleh para ahli di bidangnya.

“Ini bagus, karena memang riset sudah harus dilakukan. Kita samakan persepsi dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Riset seperti apa yang bisa dilakukan,” tuturnya.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Bappenas Arifin Rudyanto. Menurut dia, pembangunan kemaritiman mutlak untuk dilaksanakan bersama oleh semua pihak. Hal itu, karena pembangunan kemaritiman berdampak banyak untuk berbagai sektor kehidupan.

Arifin menyebut, ada beberapa kerangka pembangunan maritim yang bisa dijadikan acuan, yaitu:

  1. Menegakkan kedaulatan dan yurisdiksi nasional Perbatasan, ZEE;
  2. Mengembangkan data dan informasi kelautan, potensi kelautan, koordinasi, jaringan sistem informasi kelautan;
  3. Meningkatkan pemanfaatan potensi laut dan dasar laut, industri pengolahan, aglomerasi industri, SDM;
  4. Mengembangkan potensi industri kelautan, keterkaitan antar industri, iklim kondusif, sistem transportasi, kawasan cepat tumbuh;
  5. Meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan;
  6. Mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut budaya kelautan, law enforcement; dan
  7. Memperkuat pertahanan maritim.

baca : Riset Kelautan Mulai Digelar 2020 hingga 2035, Seperti Apa Itu?

 

Konsorsium

Agar semua potensi kemaritiman bisa dimanfaatkan sebanyak mungkin, seluruh riset ilmiah yang dilakukan para pakar di perguruan tinggi, harus dilakukan sinkronisasi. Tujuannya, agar tercipta harmonisasi riset antar perguruan tinggi. Dengan demikian, akan tercapai efisiensi riset yang terarah dan sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin, melalui konsorsium riset samudera yang digagas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), keterpaduan riset akan bisa diwujudkan.

“Selama ini, kita tidak maju karena riset berjalan sendiri-sendiri. Sekarang riset dilakukan oleh konsorsium dan perguruan tinggi menyediakan SDM-nya,” ungkapnya.

Dengan adanya konsorsium, Safri mengatakan, riset tentang satu isu bisa dilakukan lebih dinamis dan itu dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Isu tersebut, mencakup juga isu utama yang sedang berkembang saat itu dan dinilai menjadi kebutuhan utama untuk segera dikembangkan.

Safri mengungkapkan, dengan dilaksanakan riset secara bersama yang dideklarasikan, dia optimis pada 2019 Indonesia sudah bisa melihat hasilnya. Jika itu bisa terjadi, maka kebutuhan teknologi dan yang lainnya untuk pembangunan maritim, bisa disediakan dengan cepat.

Untuk melaksanakan riset bersama di bawah konsorsium, Safri menyebut, perlu digandeng semua perguruan tinggi dan juga lembaga terkait yang ada di daerah maupun di pusat. Dengan demikian, kebutuhan sumber daya manusia untuk proses riset, diharapkan bisa terpenuhi dengan mudah.

 

Kapal penelitian Baruna Jaya milik LIPI. Foto : deepsea.lipi.go.id

 

Untuk konsorsium sendiri, selain LIPI yang menjadi penggagas, ada juga 10 lembaga/kementerian, perguruan tinggi di dalamnya. Mereka adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG); Universitas Sriwijaya; Institut Teknologi Bandung (ITB); dan Institut Pertanian Bogor (ITB).

Adapun, dari hasil deklarasi tersebut, disimpulkan bahwa riset samudera di Indonesia dibutuhkan untuk mendukung pembangunan dan daya saing riset nasional. Kemudian, perlunya penyusunan Master Plan riset samudra yang terintegratif, sinergis, fokus, dan mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional, serta didukung sarana prasarana dan peralatan yang dibutuhkan. Terakhir, semua pemangku kepentingan setuju untuk mengintegrasikan data hasil riset samudera lewat Pusat Data Nasional yang dapat diakses dan dimanfaatkan bersama.

Berdasarkan kesepahaman tersebut, semua pemangku riset samudera bersepakat untuk :

  1. Membentuk Konsorsium Riset Samudera sebagai wadah untuk harmonisasi program dan infrastruktur riset samudera;
  2. Menyusun dan melaksanakan program riset dalam Konsorsium tersebut di butir 1 yang mengacu pada:
  3. Prioritas nasional, meliputi: ketahanan pangan dan energi, pertahanan dan keamanan, kemaritiman, serta pembangunan wilayah.
  4. Klaster riset samudera yang mencakup: keanekaragaman hayati dan konservasi, ketahanan pangan, pembangunan sumber daya manusia kelautan, ketahanan energi, geosains kelautan, serta observasi laut dan iklim;
  5. Lokasi riset yang meliputi: Laut Banda dan sekitarnya, Laut Natuna Utara, Selat Makassar, Perairan Barat Sumatera, Perairan Selatan Jawa dan Nusa Tenggara, Perairan Utara Papua, dan Laut Sulawesi.

 

Exit mobile version