Mongabay.co.id

Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

Kabut tebal menyelimuti kawasan dataran tinggi Dieng, perbatasan antara Banjarnegara dengan Wonosobo, Jawa Tengah nyaris setiap hari. Kadang pagi, siang, sore atau malam hari. Datangnya sulit diprediksi. Itu sudah biasa karena  Dieng berada di ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kalau suhu normalnya berkisar 5-12 derajat Celcius ketika malam dan siang hari antara 12-17 derajat Celcius.

Tetapi pada Kamis (5/7/2018) lalu, cuaca agak berbeda. Lebih dingin. Bahkan warga setempat mengatakan suhu lebih dingin dari biasanya. Sanroji (53) petani dan tokoh masyarakat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, mengatakan pada awal Juli jarang terjadi suhu dingin seperti itu.

“Biasanya, suhu dingin seperti Kamis lalu, terjadi pada akhir Juli hingga awal Agustus. Saya juga agak terkejut. Selain suhu dingin, juga ada ampak-ampak. Ampak-ampak adalah kabut tebal yang bergeraknya sangat lambat. Suhunya begitu dingin, para penduduk yang terbiasa dengan cuaca Dieng, merasakan menggigil. Harus pakai jaket rangkap dengan sarung,” ungkapnya saat ditemui Mongabay-Indonesia pada Minggu (8/7/2018).

baca : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet

 

Kabut tebal menyelimuti kawasan dataran tinggi Candi Dieng, perbatasan antara Banjarnegara dengan Wonosobo, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, beradasarkan ilmu titen atau kearifan lokal warga sekitar, tanda semacam itu adalah awal mula dari munculnya bun upas, embun beku akibat cuaca ekstrem bersuhu 0 derajat atau suhu minus. “Ternyata benar, selepas subuh, saya berkeliling di areal sekitar Kawasan Candi Arjuna Dieng. Meski masih gelap, sudah terlihat warna putih menghampar. Bun upas telah turun. Pemandangan putih itu terlihat di sepanjang areal tanaman kentang yang biasanya berwarha hijau. Bahkan, pada saat saya mengecek plastik penutup tanaman, ternyata di atasnya ada es batu tipis seperti kaca,” katanya.

Meski bakal mencair setelah matahari bersinar, tetapi bun upas meninggalkan dampak bagi tanaman kentang. “Setelah warna putih menghilang karena mencairnya embun beku, maka daun tanaman kentang tidak lagi biru, melainkan berwarna coklat kehitaman. Itu adalah tanda mengeringnya tanaman kentang. Biasanya, kalau daun sudah mengering nantinya juga diikuti batangnya. Kalau tanaman kentang yang terkena bun upas masih berumur di bawah 60 hari, dipastikan bakal puso. Namun, jika sudah cukup umur atau usia panen, maka akan lebih kuat. Paling dampaknya adalah penurunan produksi,”ungkapnya.

baca : Menangkap Air di Lereng Dieng

 

Pemandangan di kawasan dataran tinggi Dieng, Jateng yang diselimuti kabut tebal. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Petani kentang lainnya di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Tarno (42) mengungkapkan mereka hanya bisa pasrah dengan munculnya bun upas. Sebab, hampir setiap tahun embun beku terjadi. “Kami hanya bisa pasrah saja, karena antisipasi sulit dilakukan kalau sudah turun bun upas. Misalnya, bisa saja dengan menutup tanaman kentang menggunakan plastik di atasnya. Tetapi, berdampak pada tidak maksimalnya umbi kentang. Biasanya lebih kecil-kecil umbinya,” jelasnya.

Biasanya, lanjut Tarno, petani kentang di wilayah datar di kawasan sekitar Candi Arjuna Dieng, mengantisipasi bun upas dengan memajukan tanam menjelang Juli dan Agustus. “Tetapi perkiraan kami ternyata meleset. Bun upas datang lebih awal, karena biasanya bun upas datang pada akhir Juli hingga awal Agustus,”ungkapnya.

Sementara Umar (35) petani dari Desa Dieng Kulon mengatakan 1.500 m2 lahannya sebagian terkena bun upas. “Kalau dalam kondisi normal, areal luas itu mampu menghasilkan antar 2,5-3,5 ton kentang. Tetapi karena sebagian terkena bun upas, maka produksi dipastikan turun. Paling-paling, saya hanya dapat memanen 1,5 ton. Itu masih ada catatannya, kalau tidak ada bun upas turun lagi,”katanya.

baca juga : Belajar dari Letusan Sileri, Begini Berwisata Aman ke Kawah Gunung

 

Seorang petani kentang memeriksa tanamannya usai terkena kabut dingin beku (bun upas) di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jateng, pada Minggu (8/7/2018). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Umar mengatakan bila kondisi normal, untuk menggarap areal kentang, petani membutuhkan modal berkisar antara Rp40-60 juta, dengan pendapatan panen sekitar Rp100 juta, bahkan lebih. Tetapi bila bun upas terjadi lebih awal, petani rugi modal dan bisa tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. “Namun ini merupakan risiko. Kalau tahun ini, kami salah antisipasi karena bun upas datang lebih dini. Jika embun beku seperti biasanya muncul pada akhir Juli atau awal Agustus, mungkin tanaman kentang bisa selamat semuanya,”ungkapnya.

Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono mengatakan kalau sebetulnya petani di Dieng sudah akrab dengan fenomena frost (embun beku) tersebut. Masalahnya petani tidak tahu kapan datangnya bun upas tersebut. “Kalau dari pengalaman, bun upas biasanya datang pada saat puncak musim kemarau di saat suhu sedang dingin-dinginnya. Sekitar akhir Juli atau awal Agustus. Dan petani telah mengantisipasi, karena mereka telah tanam kentang lebih cepat. Jadi, pada akhir Juli diperkirakan sudah masuk musim panen kentang, sehingga begitu ada bun upas tidak ada pengaruhnya. Sebab, umur kentang sudah memasuki masa panen,”kata Slamet.

Pada musim kemarau, biasanya bun upas terjadi beberapa kali. “Jadi, ada kemungkinan masih ada lagi. Namun, apakah embun beku akan luas dan tebal atau hanya tipis. Itu saja. Sebab, saat sekarang masih musim kemarau dan perkiraan suhu dingin ekstrem bisa terjadi,”ujarnya.

baca : Ketika Burung Hantu Layani Sesi Foto Siang Hari di Wisata Dieng

 

Petani menunjukkan daun kentang yang mengering setelah terkena bun upas pada Jumat (6/7/2018). Bun upas biasanya saat puncak musim kemarau, sekitar akhir Juli atau awal Agustus, tetapi kali ini terjadi pada awal Juli 2018. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bukan Dampak Aphelion

Menanggapi fenomena adanya embun beku, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam rilis resminya menyatakan kalau spekulasi suhu dingin esktrem yang terjadi terkait dengan fenomena Aphelion tidaklah benar.

“Aphelion tak berkaitan dengan kejadian suhu dingin permukaan bumi yang tengah fenomenal di beberapa tempat di Pulau Jawa. Sebagai bukti, Aphelion tahun lalu terjadi pada 4 Juli 2017, namun suhu minimum terendah di Bandung justru terjadi pada 26 Juli 2017 yaitu 16,6°C yang tercatat di Stasiun Geofisika BMKG Bandung. Sedangkan untuk fenomena suhu dingin dan adanya embun beku di Dieng lebih disebabkan karena kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat sekarang berlangsung,”kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal dalam rilisnya.

Ia menerangkan, pada musim kemarau suhu udara memang akan lebih dingin, permukaan bumi lebih kering. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya, sehingga kelembaban udara rendah. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang ke angkasa. “Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan,”ujarnya.

 

Embun beku yang melanda kawasan Dieng, Jateng, pada Jumat (6/7/2018). Bun upas biasanya saat puncak musim kemarau, sekitar akhir Juli atau awal Agustus, tetapi kali ini terjadi pada awal Juli 2018. Foto : Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Pada musim kemarau, khususnya di wilayah pegunungan akan berpeluang mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celcius, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan. “Saat malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau 0 derajat,”tambahnya.

Sementara Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie menerangkan kalau berdasarkan pengamatan di lereng pegunungan Dieng pada awal Juli lalu, memang cukup dingin.

“Di Stasiun Geofisika Banjarnegara yang mempunyai ketinggian 608 mdpl saja,  tercatat suhu udara rata-rata dalam 4 hari terakhir (1-4 Juli) berkisar antara 20,7–23.4 derajat Celsius dan suhu minimum dapat mencapai 18,2–19,2 derajat Celsius. Dengan asumsi bahwa setiap kenaikan ketinggian 100 m terjadi penurunan suhu 0,5 derajat Celsius, maka di daerah Dieng yang memiliki ketinggian di atas 2.000 mdpl diperkirakan suhu udara rata-rata dalam 4 hari terakhir (1–4 Juli) berkisar antara 13,7–16.4 derajat Celsius dan suhu minimum dapat mencapai 11,2 – 12,2 derajat Celsius,”jelasnya.

 

Embun beku yang melanda kawasan Dieng, Jateng, pada Jumat (6/7/2018). Bun upas biasanya saat puncak musim kemarau, sekitar akhir Juli atau awal Agustus, tetapi kali ini terjadi pada awal Juli 2018. Foto : Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Ia mengungkapkan fenomena bun upas yang terjadi pada Jumat (6/7) lalu, tentu saja disebabkan oleh suhu ekstrem, antara 0 derajat Celcius sampai minus. Inilah mengapa kemudian muncul embun beku. Apakah kemungkinan embun beku masih bisa terjadi lagi? Setyoadjie memperkirakan bisa saja terjadi. “Embun beku masih berpotensi muncul lagi di dataran tinggi Dieng. Kalau waktunya tidak bisa dipastikan. Namun, kemungkinan terjadi masih ada, karena puncak musim kemarau di Banjarnegara diperkirakan pada bulan Agustus. Namun demikian, durasi fenomena embun beku tidak lebih dari seminggu,”katanya.

Fenomena embun beku terjadi pada saat suhu di titik beku. Di Dieng memang potensial terjadi, apalagi kawasan itu memiliki ketinggian 2.093 mdpl.

 

Exit mobile version