Mongabay.co.id

Dorong Pengembangan Listrik Surya Atap, Berikut Ini Masukan kepada Pemerintah

 

Listrik tenaga surya atap merupakan salah satu potensi besar guna mendukung target bauran 23% energi terbarukan pada 2025. Sayangnya, walaupun Peraturan Presiden Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah mewajibkan bangunan, baik komersial maupun milik pemerintah memasang panel surya atap, hingga kini belum ada aturan memadai mendorong pengembangan ini.

“Jumlah listrik surya atap tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) meningkat dua kali lipat dalam enam bulan,” kata Andhika Prastawa, Ketua Umum AESI dalam diskusi awal Juli lalu. Kondisi ini, katanya, menunjukkan animo masyarakat tinggi dalam gunakan listrik surya atap.

Tak hanya gedung pemerintah, kata Andhika, gedung perkantoran, bangunan komersial dan perumahan yang dikembangkan oleh developer juga mulai beralih gunakan energi cahaya matahari ini.

Listrik surya atap, katanya, juga jadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik dari bahan bakar fosil. Secara tak langsung, penggunaan listrik surya atap oleh publik dan non state actors lain juga berkontribusi terhadap pencapaian penurunan emisi sesuai dengan yang dijanjikan Presiden Joko Widodo dalam COP 23 di Paris pada 2015.

Saat ini,  PLN mencatat 414 pelanggan telah memasang listrik surya atap.  “Sekitar 80 sudah bergabung di PPLSA,” kata Ketua PPLSA, Yohanes Bambang Sumaryo.

Pada September 2017,  sejumlah lembaga antara lain, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Institute for Energy Services Reform (IESR), bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi surya atap hingga mencapai satu gigawatt pada 2020.

 

Aturan malah menyulitkan?

Sayangnya,  hingga kini belum ada regulasi memadai untuk pengembangan listrik surya atap.

“Bahkan Permen ESDM No 1 tahun 2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap khusus bengunan komersial dan industri serta fasilitas publik,” kata Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Permen ESDM No 1/2017 tentang Operasi Paralel Pembangkit Tenaga Listrik dengan Jaringan Tenaga Listrik PT.PLN menyatakan, untuk sistem pembangkitan lebih dari 25 kVA harus membayar biaya kapasitas (capacity charger).

Regulasi ini, katanya,  secara tak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang pembangkit tenaga surya di atap bangunan mereka. Secara ekonomi, kata Fabby,  jadi lebih mahal dengan ketentuan bayar biaya kapasitas kepada PLN.

 

Modul surya di atas carport di kediaman
Bambang Sumaryo. Foto: dari buletin Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM

 

Gerakan RE100

Saat ini ada gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multi nasional, termasuk yang punya investasi di Indonesia, berkomitmen gunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100%. Gerakan ini dinamakan RE100.

Beberapa perusahaan yang jadi anggota RE100 di Indonesia antara lain, AEON, Akzo Nobel,  Aztra Zeneca, AVA, Citi, Coca Cola, Danone, DBS Bank, GM, Google, H&M, HP, HSBC, IKEA, Johnson & Johnson, M&S, Nestle, Nike, P&G, Prudential, Phillips, Ricoh, Schneider Electric, SGS Starbucks, Tetra Pak, Unilever, dan lain-lain.

“Pemanfaatan teknologi surya atap salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan ini memenuhi komitmen dan target mereka karena dapat langsung dipasang di atap fasilitas produksi atau kerjanya,” kata Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI.

Mantan Dirut PLN ini juga mengatakan, perlu ada regulasi guna mendorong perusahaan-perusahaan ini memasang listrik surya atap dengan kapasitas besar dan biaya ekonomis.

Saat ini,  pemasangan listrik surya atap berkisar antara US$15.000-US$20.000 per kWp (killo watt peak). Rata-rata pemasang dapat masa garansi 25 tahun karena perangkat mudah dioperasikan, nyaris tak ada biaya perawatan.

Untuk itu,  AESI, IESR, dan PPLSA meminta KESDM segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. Regulai memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi fotovoltaik di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi, serta membuka lapangan kerja.

AESI, kata Nur,  siap menjadi mitra pemerintah dalam menyusun regulasi tenaga surya atap hingga potensi ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan optimal oleh berbagai pihak non pemerintah.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia menargetkan peningkatan energi terbarukan dari 5% pada 2015 jadi 23% tahun 2025. Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan 45 gigawatt.

Dengan kata lain perlu sekitar 36 gigawatt dari kapasitas pembangkit saat ini. Pembangkit listrik tenaga surya ditargetkan mencapai 6,4 gigawatt.

Saat ini, kapasitas pembangkit energi terbarukan baru 9 gigawatt. Total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp. Padahal,  potensi nasional tersedia mencapai 560 GWp.

Sejauh ini beberapa regulasi mengatur tentang energi terbarukan tenaga surya, seperti UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan Pasal 6 dan Pasal 33, UU No 30/2007 tentang Energi. Juga, Peraturan Pemerintah No 74/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional huruf f angka 1.

Juga ada Peraturan Presiden No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) lampiran 1 halaman 64 menyatakan,  pengembangan tenaga surya untuk tenaga listrik diproyeksikan 6,5 gigawatt pada 2025 dan 45 gigawatt pada 2050 atau 22% dari potensi surya 207,9 gigawatt.

Pada halaman 79 RUEN dinyatakan, guna mencapai pengembangan PLTS itu, langkah antara lain, memberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum 30% dari luas atap untuk seluruh bangunan pemerintah, 25% dari atap bangunan mewah, kompleks perumahan, apartemen, kompleks melalui izin mendirikan bangunan (IMB), dan memfasilitasi pendirian industri hulu hilir PLTS.

Ada Permen ESDM No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, namun hanya mengatur pembelian tenaga listrik dari IPP oleh PLN.

Sementara itu,  dalam Peraturan Direksi PLN No 0733.K/DIR/2013 tentang Pemanfaatan Energi Listrik dari Fotovoltaik oleh Pelanggan PLN, menerapkan net metering.

Standar PLN No. SPLN D5.005-1: 2015 tentang persyaratan teknis interkoneksi sistem fotovoltaik pada jaringan distribusi tegangan rendah adalah sampai kapasitas 30kWp.

“Belum ada standar PLN lebih dari 30 kWp, belum ada net-metering bagi pelanggan tegangan menengah karena persoalan komerisal, bukan teknis,” kata Nur.

 

Panel surya atap. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah,  sudah menyatakan sampai akhir 2019,  tak ada kenaikan tarif listrik. Implisitnya, kata Nur, dalam waktu dekat ini tak akan ada kebijakan baru berupa pengumpulan dana energi terbarukan dari pelanggan PLN, sebuah praktik yang dijalankan di banyak negara.

“Pemerintah berupaya keras tidak menaikkan subsidi listrik misal dengan mengatur pembelian batubara oleh PLN dengan harga non market. Kenaikan porsi energi terbarukan dalam bauran energi Indonesia harus ditempuh tanpa menaikkan tarif listrik dan tanpa menaikkan subsidi listrik.”

Mungkinkah tanpa menggunakan APBN? “Bisa saja,” kata Nur.

Namun, katanya,  pemerintah perlu menerbitkan regulasi agar pelanggan PLN dapat memasang pembangkit listrik solar PV baik pada bangunan mereka maupun orang lain.

Untuk itu, perlu diatur pemakaian sendiri dan tak dijual ke PLN. Pelanggan perlu mendapat izin operasi paralel dengan PLN (grid connected) agar kontinuitas pasokan listrik terjaga dan ekonomis tanpa baterai dengan net metering.

“Ini akan lebih stabil karena dipasang di banyak titik. Bukan seperti PLTS besar di satu titik,” katanya.

Selain itu,  pelanggan perlu diberi kelonggaran menyewa pembangkit Solar PV dari provider dengan proses perizinan lebih sederhana dibanding izin sewa pembangkit listrik asal energi fosil.

Untuk kapasitas lebih dari satu MWp,  katanya, pelanggan perlu mendapatkan kelonggaran memasang pembangkit solar PV di tempat terpisah dari tempat konsumsi listrik dan memanfaatkan grid PLN untuk renewable power wheeling (RPW)dengan tarif dibayar ke PLN secara posted stamp.

Penting juga, usulan insentif lewat net metering. Kapasitas solar PV milik pelanggan ditentukan oleh kapasitas inverter dalam satu watt yang harus kurang dari kapasitas tersambung dalam satuan VA, misal, pelanggan 5,5 kVA  kapasitas inverter kurang dari 5,5 kW.

Hal lain yang diusulkan AESI yakni insentif buat pelanggan, misal selama 10 tahun pertama penerapan regulasi ini, listrik yang dikirim ke grid dalam metode net metering dihargai dalam tiga tahap.

Untuk kapasitas kurang dari 3 kW, 100% tarif jual PLN ke pelanggan, kapasitas lebih 30 kW-1 MW, 95% tarif jual PLN ke pelanggan dan lebih 1 MW, 90% dari tarif PLN ke pelanggan.

“Untuk kapasitas lebih 30 kW ini belum ada regulasinya.”

Kredit fotovoltaik dalam rupiah, katanya,  hanya berlaku selama tahun berjalan, dan dihibahkan ke PLN akhir tahun. Dengan begitu, pemerintah dan PLN tidak mengeluarkan biaya apapun. ‘Tabungan’ pelanggan pemilik rooftop PV di PLN ini, katanya,  akan membantu keuangan PLN.

Untuk renewable Power wheeling (RPW), dia  usulkan ada semacam ‘jalan tol’ listrik hingga perusahaan yang tergabung dalam RE100 bisa membeli tenaga listrik renewable dengan tarif bussines to bussines di wilayah usaha pembangkit listrik. Pemerintah, katanya,  memfasilitasi mengirim tenaga listrik ke lokasi pabrik via sewa jaringan tenaga listrik yang diatur pemerintah.

 

Potensi

Indonesia memiliki potensi energi surya besar untuk pembangkitan listrik. Dengan teknologi PV saat ini potensi listrik terbangkitkan 3,2-4,2  kWh/kWp atau setara 1.170 kWh/kWp per tahun.

“Variasi musim sangat rendah hingga produksi listrik setiap tahun cenderung stabil,” kata Fabby.

Potensi energi surya terbuka lebar dikembangkan sebagai sumber pembangkit energi bersih. Sayangnya, Indonesia relatif tertinggal dalam pemanfaatan energi surya buat pembangkitan listrik dibanding kondisi global termasuk negara-negara ASEAN.

Potensi listrik surya atap, katanya,  belum dimanfaatkan optimal padahal dapat mencapai satu GWp per tahun sampai 2030.

Deklarasi PF Rooftop

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto: dari buletin Ditjen EBTKE Kementerian ESDM

 

 

 

Exit mobile version