Mongabay.co.id

Memetakan Sampah Laut di Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Begini Hasilnya..

Sampah yang memenuhi pantai di Pulau Mare. Sampah-sampah ini diduga 'kiriman' dari Ternate dan Tidore. Foto: M Rahmat Ulhaz/Mongabay Indonesia

Jika sudah menonton film keluarga ‘Ku Lari ke Pantai’ karya anyar Riri Riza dan Mira Lesmana, maka terselip nama Nemberala, sebuah pantai yang makin masyur di kalangan traveller dan surfer di Pulau Rote, NTT. Di Rote dengan pantai berpasir putih ini, keluarga Samudera Biru, tokoh utamanya tinggal membuat usaha homestay dan perkebunan.

Meski relatif terpencil, Nemberela ternyata tidak lepas dari masalah sampah laut. Sebuah penelitian tentang sampah laut di Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu menunjukkan salah satu titik-titik yang tercemar sampah laut adalah area wisata. Di antaranya Oisina, Nemberala, Oiseli, Pulau terluar Ndana, dan pantai Tiang Bendera. Sampah juga terpetakan di perairan seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang.

Tak ada pantai yang bisa steril dari sampah laut saat ini. Laut menghubungkan semua perairan di bumi, juga mendaratkan sampah termasuk di pulau-pulau kecil.

Noir P. Purba, Ketua Peneliti dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, kepada Mongabay-Indonesia melalui surat elektronik memaparkan lokasi difokuskan pada pantai wisata. Pada hasil awal menunjukkan bahwa di pantai-pantai wisata, hampir 1/5 area destinasi terdapat sampah.

baca : Wisata Bahari, Kian Disukai Tapi Ancam Kelestarian Ekosistem Laut

 

Titik sampah laut (warna biru) ukuran besar (macro debris) di pesisir Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT. Foto: Unpad/Tim Peneliti Sampah Laut Sawu/Mongabay Indonesia

 

Area penelitian meliputi TNP Sawu bagian timur, yakni wilayah perairan Kupang, Rote bagian barat dan pulau terluar Ndana. Data yang diambil adalah macro debris dan micro debris di ekosistem mangrove, lamun, dan karang, sedimen, pantai  serta kolom air.

Tahapan penelitian dimulai dari pengumpulan sampah, lalu dilihat sampah dengan merk lokal untuk ditimbang beratnya. Hal ini nantinya berguna untuk memodelkan sampah di permukaan dan di badan air.

“Kita mau lihat apakah sampah dari Sawu akan menyebar ke Australia dan Samudra Hindia. Hal ini sangat penting karena wilayah ini merupakan perbatasan dengan negara lain,” jelas Noir. Selanjutnya menggabungkan data di Laut Sawu dengan 60 stasiun lain yang di Indonesia sehingga mendapatkan kesimpulan terkait sampah laut.

​Sebaran makro debris di pantai yang diteliti dipetakan sementara untuk mikro debris masih dianalisis di laboratorium​. “Dari gambar tersebut menunjukkan masyarakat atau turis adalah faktor yang mengakibatkan banyak sampah di pantai,” imbuh Noir.

Analisis data menunjukkan sampah terbanyak berada di pantai dan mangrove. Berat sampah per 200 meter dapat mencapai 9,42 kg. Jenisnya seperti plastik, foam, gelas, kaleng, pakaian, jaring, puntung rokok, dan lainnya. Ada pantai dengan sampah terbanyak plastik dan pecahan kaca​.

baca : Mengolah Sampah Anorganik di Kawasan Wisata Komodo

 

Titik sampah laut (warna biru) ukuran besar (macro debris) di pesisir Pantai Tiang Bendera, Pulau Rote, NTT. Foto: Unpad/Tim Peneliti Sampah Laut Sawu/Mongabay Indonesia

 

Tim ini bekerja pada Juni 2018 melakukan kajian sampah laut di sebagai perairan laut Sawu. Kolaborasi ini terdiri dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Unpad dan lembaga seperti Diver Clean Action (DCA), Manta Watch, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Indonesia Waste Platform (IWP), serta Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang sebagai pengelola TNP Laut Sawu. Didanai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam project Drive Demand Research Grant (DDRG).

Sampah laut merupakan salah satu pencemar di lautan yang berbahaya dan menurunkan kesehatan laut. Indeks kesehatan laut kita berada pada peringkat 145 dari 221 negara, dan salah satunya diakibatkan oleh pembuangan sampah ke laut. Dalam rencana pengurangan sampah hingga tahun 2025 oleh pemerintah, salah satunya mendapatkan data sampah di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Kepala BKKPN Kupang, Ikram N. Sangaji yang dihubungi Mongabay-Indonesia mengatakan mendukung kegiatan ini, terlebih belum adanya penelitian terkait sampah di wilayah perairan ini. Hasil penelitian ini akan jadi dasar penanganan sampah di perairan Sawu.

Menurut Ikram, dua tahun terakhir BKKPN melakukan sosialisasi sekaligus bimbingan teknis pengelolaan lingkungan kepada 500 pembudidaya rumput laut dan masyarakat pesisir di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao. Kemudian diserahkan bantuan peralatan pengelolaan sampah plastik serta tempat penampungan sementara sampah plastik. Pada 2017 aksi bersih pantai di 10 kelurahan dalam Kota Kupang melibatkan lebih dari 2000 sekaligus pencanangan No More Marine Debris atau ‘Jangan Ada Lagi Sampah di Laut’.

baca juga : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini…

 

Sejumlah peneliti sedang mengumpulkan data sampah di pantai tempat wisata kawasan Laut Sawu, NTT. Foto: BKKPN Laut Sawu/Unpad/Mongabay Indonesia

 

Habitat Penting

Dikutip dari situs KKP, penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu yang dikelola sebagai Taman Nasional Perairan berdasarkan Keputusan No.5/KEPMEN-KP/2014, serta Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya Tahun 2014-2034 berdasarkan Keputusan No.6/KEPMEN-KP/2014.

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen kepada dunia berkomitmen menetapkan dan mengelola Kawasan Konservasi Perairan seluas 20 juta Ha pada tahun 2020. TNP Laut Sawu yang berada di jantung wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle) ini dalam rangka mewujudkan kelestarian, melindungi, dan memanfaatkan ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.

 

Seekor spinner dolphin terlihat di Taman Nasional Perairan Laut Sawu NTT pada 22 Maret 2016. Hasil penelitian Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) KKP pada 2014-2017 menunjukkan kemunculan satwa setasea (paus dan lumba-lumba) sangat tinggi di Laut Sawu. Foto : BRPSDI KKP/Mongabay Indonesia

 

Wilayah TNP Laut Sawu disebut koridor penting bagi perlintasan sedikitnya 22 spesies mamalia laut yang terdiri dari 14 spesies paus, 7 spesies lumba-lumba dan 1 spesies dugong, antara lain Blue Whale (Balaenoptera musculus), Sperm whale (Physeter macrocepahlus), Pygmi killer whale (Feresa attenuate), Short-finned pilot whale (Globicepalia macrohynchus), Rissos dolpin (Grampus griseus), Pantropical spotted dolphin (Stenella attenuate). Juga Spinner dolpihin (Stella longirostis), Bottlenose dolphin (Tursiops truncates) dan Duyung (Dugong dugong).

Tidak hanya itu, TNP Laut Sawu juga merupakan habitat bagi 6 spesies penyu yaitu Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus), dan Penyu tempayan (Caretta caretta). Sementara itu, Kerapu (Grouper), Humphead/Napoleon (Cheilinus undulatus), Hiu (Charcanidae), Bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum), Pari Manta (Manta byrostris), dan Tuna Sirip Kuning (Thunus albacores) adalah biota penting lain yang menetap di wilayah perairan TNP Laut Sawu.

 

Seekor paus sperma yang terlihat di Taman Nasional Perairan Teluk Sawu pada 21 November 2015. Hasil penelitian Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) KKP pada 2014-2017 menunjukkan kemunculan satwa setasea (paus dan lumba-lumba) sangat tinggi di Laut Sawu.Foto : BRPSDI KKP/Mongabay Indonesia

 

Kawasan ini terdiri dari Wilayah Perairan Selat Sumba dan sekitarnya seluas 557.837,40 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Timor-Rote-Sabu-Batek dan sekitarnya seluas 2.797.515,42 hektar. Totalnya 3.355.352,82 hektar.

Dalam Kepmen rencana pengelolaan ini disebutkan Laut Sawu bermakna strategis, karena hampir sebagian kabupaten/kota di NTT tergantung kepada Laut Sawu yang menyumbang lebih dari 65 % potensi lestari sumberdaya ikan di NTT .

***

Foto utama : Ilustrasi. Sampah yang memenuhi pantai di Pulau Mare, Kota Tidore Selatan, Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Sampah-sampah ini diduga ‘kiriman’ dari Ternate dan Tidore. Foto: M Rahmat Ulhaz/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version