Mongabay.co.id

Kepala Daerah Baru, Masyarakat Pesisir Harus Sejahtera

Masyarakat pesisir saat ini menanti kiprah kepala daerah yang baru terpilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang digelar serentak pada 27 Juni lalu. Para pemimpin baru tersebut, diharapkan bisa meneruskan pembangunan di kawasan pesisir yang keadaannya sangat jauh tertinggal dibandingkan kawasan lain di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, pilkada tahun ini harus menjadi momentum bagi kawasan dan masyarakat pesisir untuk melakukan perbaikan kehidupan. Apalagi, saat ini banyak sekali rumah tangga masyarakat pesisir yang sangat menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut.

Dari data KIARA, Susan menyebut, terdapat 17 provinsi yang sejak lama menggantungkan hidupnya pada kawasan pesisir beserta sumber daya laut yang ada dan pada pilkada lalu ikut menjaring pemimpin baru. Provinsi-provinsi tersebut, sudah selayaknya untuk menggunakan momentum pilkada sebagai jalan untuk perbaikan kesejahteraan hidup mereka.

baca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

 

Kondisi  kawasan pesisir Pandan. Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Utara, jangan sampai merusak ruang kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Adapun, 17 provinsi tersebut adalah:

  1. Sumatera Utara               : 44.062 rumah tangga perikanan
  2. Riau                                   : 11.945 rumah tangga perikanan
  3. Sumatera Selatan           : 2.365 rumah tangga perikanan
  4. Lampung                          : 6.729 rumah tangga perikanan
  5. Jawa Barat                       : 13.558 rumah tangga perikanan
  6. Jawa Tengah                    : 21.526 rumah tangga perikanan
  7. Jawa Timur                      : 60.631 rumah tangga perikanan
  8. Bali                                    : 16.624 rumah tangga perikanan
  9. Nusa Tenggara Barat     : 25.461 rumah tangga perikanan
  10. Nusa Tenggara Timur   : 24.981 rumah tangga perikanan
  11. Kalimantan Barat           : 1.595 rumah tangga perikanan
  12. Kalimantan Timur         : 22.262 rumah tangga perikanan
  13. Sulawesi Selatan             : 28.370 rumah tangga perikanan
  14. Sulawesi Tenggara         : 25.503 rumah tangga perikanan
  15. Maluku                             : 52.123 rumah tangga perikanan
  16. Papua                                : 12.277 rumah tangga perikanan
  17. Maluku Utara                  : 3.465 rumah tangga perikanan

Jumlah                                        : 373.477 rumah tangga perikanan

 

Dalam pilkada yang sudah dilaksanakan, Susan mengingatkan, masyarakat pesisir harus memantau dengan baik setiap hasil yang ada. Jangan sampai, pemimpin yang terjaring, adalah sosok yang terbukti melakukan korupsi, melakukan perusakan terhadap lingkungan baik di darat atau laut, terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tidak berpihak kepada perempuan dan anak-anak, tidak menjadi kepanjangan tangan dari investasi yang ekstraktif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam yang ada.

“Masyarakat pesisir harus memiliki sikap politik yang jelas dalam memilih pemimpin daerahnya,” tegasnya.

baca : Janji Pemerintah untuk Masyarakat Pesisir Diragukan?

 

Suasana di salah satu pesisir di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku. Foto : Ditjenpdt Kemendesa

 

Dengan semua fakta di atas, Susan meminta kepada kepala daerah yang terpilih untuk bisa menempatkan masyarakat pesisir dan keberlanjutan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan laut sebagai pusat pembangunan. Kepala daerah yang baru, wajib menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menurut Susan, kawasan pesisir dan laut adalah hak bersama yang dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia serta peraturan perundangan, di mana seluruh lapisan masyarakat memiliki hak untuk mengaksesnya. Untuk itu, kepala daerah yang baru harus bisa memastikan tidak akan ada lagi privatisasi dan komersialisasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Dengan mengusir masyarakat pesisir dari ruang hidupnya,” tegasnya.

 

Daerah Tertinggal

Sementara, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohamad Abdi Suhufan menerangkan, pembangunan pulau terdepan yang diklaim Pemerintah Indonesia sebagai etalase Nusantara, hingga kini berjalan sangat lambat. Padahal, pembangunan pulau-pulau terluar sudah dimulai sejak 2005 lalu.

“Akibat kondisi tersebut, hingga saat ini masalah kemiskinan dan disparitas sosial masih terus terjadi di kawasan tersebut,” tuturnya.

Pembangunan fisik di kawasan pesisir dan pulau-pulau terdepan hingga saat ini dinilai masih terlalu lambat perkembangannya. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah berjanji kalau pembangunan Indonesia di masa kepemimpinannya akan dimulai dari pesisir.

“Komitmen pemerintah untuk mempercepat pembangunan pulau-pulau kecil terluar masih mengalami kendala karena keterbatasan infrastruktur dan tingginya angka kemiskinan,” ungkap dia.

baca juga : Komitmen Pembangunan Pesisir dan Pulau Kecil Diragukan, Kenapa Bisa Terjadi?

 

Kampung Limalas Kampung Limalas Timur, Distrik Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat meski memiliki struktur geologi yang didominasi oleh tanah yang keras dan kars namun sangat subur. Meski daerah pesisir, namun masyarakat kampung ini justru banyak bekerja di sektor pertanian. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Selain kendala tersebut, Abdi menjelaskan, lambatnya pembangunan juga karena perencanaan dan anggaran pembangunan pulau-pulau kecil terdepan berpenduduk oleh Kementerian dan Lembaga Negara masih belum fokus pada upaya mengatasi masalah mendasar di pulau-pulau tersebut. Padahal, pada 2017 ini Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan berupa Keputusan Presiden No.6/2017 tentang Penetapan Pulau Kecil Terluar.

“Terbitnya Keppres seharusnya bisa menjadi momentum bagi Negara untuk melakukan perbaikan pengelolaan pulau kecil terdepan di perbatasan Negara. Kenyataannya, implementasi peraturan tersebut hingga saat ini belum terlihat bagus,” ucapnya.

Dalam Keppres No.6/2017, menurut Abdi, Pemerintah resmi menambahkan jumlah pulau kecil terdepan dari 92 menjadi 111. Atau bertambah sebanyak 19 pulau pada 2017 ini. Penetapan 92 pulau sendiri dilakukan Pemerintah melalui Peraturan Presiden No.278/2005.

Menurut Abdi, angka kemiskinan masyarakat di pulau kecil terluar hingga saat ini masih sangat tinggi yaitu mencapai 35 persen. Angka tersebut masih jauh di atas angka kemiskinan nasional yang kini tinggal 10,64 persen saja. Tak hanya itu, dia menambahkan, saat ini sekitar delapan pulau masih belum terlayani sarana telekomunikasi.

Abdi mencontohkan, akibat buruknya sarana telekomunikasi, di pulau Liran yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, masyarakat lokal terpaksa masih mengandalkan telekomunikasi menggunakan fasilitas perusahaaan telekomunikasi asal Timor Leste. Dengan kondisi itu, jumlah penduduk di pulau terdepan seperti pulau Liran, dari waktu ke waktu terus menyusut.

“Pada tahun 2016 lalu jumlah penduduk di pulau-pulau kecil terluar berpenduduk sebanyak 305.596 jiwa,” tuturnya.

baca juga : Seperti Apa Keberpihakan Pemerintah pada Masyarakat Pesisir? Ini Salah Satunya..

 

Pulau Rajuni, salah satu pulau terluar dari Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan menghadapi banyak persoalan, mulai dari maraknya pengeboman ikan hingga keterbatasan sumber air bersih. Hampir setiap hari aktivitas pengeboman ikan masih dilakukan sejumlah warga setempat dan juga nelayan dari luar, berdampak pada semakin kurangnya tangkapan nelayan pancing dalam beberapa tahun terakhir. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Ego Pembangunan

Buruknya pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Abdi, disebabkan karena Pemerintah tidak memiliki cetak biru (blue print) atau desain khusus pembangunan pulau-pulau kecil terdepan. Akibatnya perencanaan yang dilakukan banyak yang salah kaprah.

“Pemerintah tidak menetapkan satuan unit pembangunan pulau terluar pada skala apa, apakah provinsi, kabupaten, kecamatan atau desa, sehingga masing-masing Kementerian melakukan intervensi sesuai dengan pemahamannya masing-masing,” jelasnya.

Mengingat ada ego pembangunan yang sama besar antara satu pihak dengan pihak yang lain, Abdi meminta Pemerintah untuk mendorong dilakukan pengawasan dalam pemanfaatan dana desa yang sudah dialokasikan untuk desa-desa kecil di pulau terdepan. Pengawasan perlu dilakukan, karena saat ini ada potensi anggaran pembangunan sebesar Rp525 miliar untuk 350 desa di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan.

“Mengingat kapasitas aparat desa, akses informasi yang terbatas dan minimnya tenaga pendamping desa, maka perlu ada strategi khusus untuk memastikan dana desa tersebut digunakan untuk membantu masyarakat pulau terluar agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan,” paparnya.

Abdi menjelaskan, berdasarkan Keppres No.6/2017 saat ini Indonesia memiliki 111 pulau kecil terdepan. Dari 111 pulau tersebut, terdapat 42 pulau berpenduduk dan 69 pulau tidak berpenduduk. Pulau kecil terluar tersebut tersebar di 18 provinsi, 27 kabupaten, 57 kecamatan dan sekitar 350 desa. Berdasarkan Perpres No.78/2005 terdapat 17 Kementerian/Lembaga yang diberi tugas untuk berkoordinasi dan melakukan intervensi pembangunan di pulau-pulau kecil terluar.

Untuk penanganan perbatasan sendiri, pada 2015 lalu Presiden Jokowi sudah memberikan instruksi agar semuanya dilakukan pada empat Kementerian yaitu : Kementerian Pertahanan, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

baca juga : Dengan Abon Ikan, Kelompok Ini Sukses Berdayakan Masyarakat Pesisir

 

Pelabuhan Kaiwatu di Pulau Moa yang menjadi terdapat kota Tiakur, ibukota kabupaten Maluku Barat Daya, propinsi Maluku. Beberapa pulau terluar pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya. Foto : imamtrihatmadja-journal.com/Mongabay Indonesia

 

Buruknya pembangunan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman, bisa terjadi karena Pemerintah belum bisa membedakan strategi pembangunan perbatasan Indonesia yang berbasis darat dan laut atau pulau-pulau kecil.

“Penelitian kami di pulau kecil terluar berpenduduk, menemukan bahwa kemiskinan yang terjadi dikarenakan keterbatasan akses dan minimnya pilihan hidup masyarakat. Beberapa pulau kecil di Maluku Barat Daya seperti pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar dilayani dengan sarana transportasi laut yang terbatas,” jelasnya.

Minimnya sarana transportasi laut, kata Subhan, terlihat dari pelayanan kapal reguler milik Pemerintah yang tidak memiliki jadwal tetap keberangkatan. Kondisi itu, membuat masyarakat tidak memiliki kepastian dan itu menyebabkan biaya menjadi tinggi dan investor enggan datang ke pulau kecil terluar.

“Dari sisi transportasi udara, karena kendala teknis, maskapai penerbangan tidak mau mengangkut hasil laut seperti ikan, udang dan lobster dari ibukota kabupaten ataupun kawasan pesisir lainnya,” katanya.

Agar persoalan tersebut bisa dipecahkan, Subhan meminta Negara untuk hadir di pulau terdepan dengan fokus memperbaiki penyediaan sarana transportasi, telekomunikasi, dan membangun infrastruktur yang saling terhubung. Pemerintah, sambung dia, perlu memastikan bahwa program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertujuan untuk membangun infrastruktur yang terhubung antara ibu kota kabupaten dengan pulau kecil terluar.

 

Exit mobile version