Mongabay.co.id

Pemerintah Ambil Alih 51% Saham Freeport, Akankah jadi Kabar Baik bagi Lingkungan dan Orang Papua?

Kondisi di pertambangan Freeport di Papua. Foto: dari Youtube

 

Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (Freeport) sepakat divestasi saham bisnis pertambangan emas di Pegubungan Grasberg, di Papua. Kamis (12/7/18), BUMN, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan Freeport menandatangani head of agreement dengan pokok perjanjian menyatakan pemerintah Indonesia ambil alih 51% saham Freeport.

Baca juga: Kementerian Lingkungan Permasalahkan Penanganan Limbah B3 Freeport di Mimika

Pengambilalihan ini dengan akuisisi hak partisipasi (participating interest) Rio Tinto,-perusahaan asal Inggris-Australia sebanyak 40%. Pemerintah juga membeli semua saham PT Indocopper Investama,  anak perusahaan Freeport,  yang sebelumnya berafiliasi dengan Bakrie Group.

Head of agreement yang ditandatangani ini langkah maju dan strategis dalam mewujudkan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport dan FCX (Freeport Mc Moran Inc) 27 Agustus 2017,” kata Sri Mulyani Indarwati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers di Jakarta.

Dalam kesepakatan sebelumnya, kata Sri Mulyani, ada lima pokok landasan hukum mengatur hubungan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport. Pokok perjanjian ini pula yang akan menentukan apakah perusahaan tambang ini mendapatkan perpanjangan kontrak dua kali, masing-masing sepuluh tahun, hingga 2041.

Pertama, Freeport harus mengubah status aktivitas di Pegunungan Grasberg, dari kontrak karya menjadi izin usaha operasi khusus operasi produksi (IUPK-OP). Konsekuensinya, Freeport harus mengikuti aturan perpajakan Indonesia dan membayar royalti untuk penerimaan negara.

Kedua, Freeport harus memberikan minimal 51% saham perusahaan untuk Pemerintah Indonesia. Ketiga, Freeport harus membangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri.

Keempat, penerimaan negara secara agregat atau total harus lebih besar dari penerimaan negara saat status aktivitas perusahaan kontrak karya.

Kelima, perpanjangan masa operasi maksimal dua kali 10 tahun akan diberikan setelah Freeport memenuhi kewajiban dalam IUPK-OP.

 

Freeport dan Inalum saat penandatanganan head of agreement disaksikan para menteri antara lain, Menteri BUMN, Rini Soewandi dan Menteri LHK, Siti Nurbaya (seperti dalam foto). Hadir juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati dan Menteri ESDM, Ignasius Jonan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Saham Papua

Selain itu,  katanya, sesuai kesepakatan 12 Januari 2018,  Pemerintah Papua dan Pemerintah Mimika–lokasi di mana tambang berada–, akan dapat saham 10%.

Untuk mendukung peningkatan penerimaan negara sesuai amanat Pasal 169 UU Pertambangan Mineral dan Batubara, katanya, Kemenkeu juga mengupayakan untuk memastikan pengenaan tarif dan penerimaan negara dapat memenuhi Pasal 169 UU Minerba,” katanya.

Pasal 169 mengamanatkan,  penerimaan negara dari IUP-OP harus lebih besar dari kontrak karya.

Sri Mulyani menjamin,  ada regulasi bagi investasi di Indonesia yang menjamin stabilisasi pembayaran penerimaan negara. Penerbitan IUPK-OP berdasarkan Pasal 48 UU Minerba yang memberikan kepastian hukum bagi pemegang izin selaku pengusaha bidang mineral.

Rini Soemarno, Menteri BUMN mengatakan, proses mencapai kesepakatan ini memakan waktu hingga dua tahun. Karena itu, Kementerian BUMN selalu menekankan dengan divestasi ini harus ada program kesejahteraan masyarakat Papua.

Dengan akuisisi Rio Tinto dan Indocopper Investasma, total investasi Indonesia di Freeport jadi 51,38%. Untuk akuisisi ini, pemerintah Indonesia akan membayar US$3,85 miliar dengan target transaksi paling lambat akhir Juli 2018.

“Belum transaksi, baru head of agreement,” katanya seraya menambahkan kedua pihak sepakat soal harga dan struktur transaksi. Selanjutnya perlu dibentuk perusahaan patungan (joint venture) yang akan mengatur lebih lanjut soal pajak, royalti dan IUPK-OP.

Rini memastikan, meski belum terjadi transaksi namun penandatanganan kesepakatan hari itu bersifat mengikat.

“Uangnya sudah siap,” kata Rini.

 

Konsesi tambng Freeport di Papua. Foto: Freeport

 

Perpanjangan ekspor

Sembari menunggu transaksi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperpanjang sementara izin ekspor konsentrat Freeport selama satu bulan, hingga akhir Juli. Dengan kata lain,  status Freeport hingga kini masih kontrak karya.

Ignatius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan,  setelah semua persyaratan dalam UU Minerb,–soal divestasi–, smelter, stabilitas penerimaan negara-, KESDM akan mengeluarkan IUPK-OP untuk Freeport.

KESDM juga harus menerima rekomendasi tertulis dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk persyaratan perpanjangan izin dua kali 10 tahun.

“Itu disyaratkan dalam UU Minerba, perpanjangan itu bisa diberikan dengan rekomendasi KLHK atau tak ada masalah lingkungan serius yang tak bisa ditangani oleh Freeport,” kata Jonan.

Maret lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dua dugaan pelanggaran Freeport yang merugikan keuangan negara Rp185 triliun karena penyalahgunaan kawasam hutan lindung dan perubahan ekosistem akibat limbah asil operasi tambang.

Menanggapi hal ini, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan,  KLHK akan terus mengawal dan menjaga pengawasan lingkungan karena tambang Freeport.

“Selain mengendalikan limbah tailing dalam lingkungan, Freeport agar dapat mencari terobosoan untuk pemanfaatan limbah tailing sebagai bahan baku industri. Hingga tidak hanya bermanfaat bagi Freeport, juga bermanfaat bagi industri lain,” kata Siti.

 

Luput dibahas?

Meski banyak pihak menyambut baik kesepakatan divestasi ini, Rudi Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Kepengurusan Pusat Partai Partai Rakyat Demokratik (PRD) menilai ada al luput dibahas dalam perundiangan antara pemerintah dan Freeport.

Pertama, harga harus dibayar Inalum (Persero) untuk membeli participating interest Rio Tinto dan 100% saham Indocopper Investama, US$3,85 miliar atau sekitar Rp55,44 triliun jauh lebih kecil dari biaya kerusakan lingkungan sesuai hitungan BPK.

“Biaya kerusakan lingkungan tiga kali lipat lebih besar dari biaya yang digelontorkan Inalum untuk membeli saham Freeport,” kata Rudi.

Saham 10% untuk Pemerintah Papua, tak sebanding dengan kerusakan ruang hidup yang mereka alami.

“Belum lagi menghitung biaya sosial akibat konflik dan pelanggaran HAM karena kehadiran Freeport di Papua.”

Rudi juga menyoroti siapa yang akan jadi operator di tambang Grasberg setelah divestasi 51% saham ini. Sebelumnya, Menteri Rini pernah menyebut, operasional tetap dikendalikan Freeport. Jika demikian, katanya, pemerintah hanya mengejar pajak, royalti dan tambahan penerimaan lain namun abai aspek mendasar, yakni, kedaulatan bangsa Indonesia atas tambang Grasberg.

 

“Daratan’ yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

 

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menilai divestasi saham Freeport bukan jawaban atas keselamatan rakyat dan lingkungan Papua.

“Kabar ini kabar istimewa bagi elit di Jakarta dan segelintir di Papua, tetapi bukan kabar baik bagi keselamatan rakyat dan lingkungan yang sudah ‘dijajah’ Freeport,” kata Kepala Kampanye Jatam, Melky Nahar.

Kesepakatan ini,  katanya, baru sebatas kemungkinan Pemerintah Indonesia memiliki 51% saham Freeport, bukan kedaulatan (pemerintah) untuk mengatur Freeport agar taat dan patuh hukum maupun peraturan berlaku.

Merujuk kontrak karya Freeport dan UU Mineral, kewajiban divestasi saham 51% kepada peserta Indonesia (pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, atau swasta nasional), mestinya dilakukan pada 2011 atau 20 tahun setelah kontrak karya  kedua (1991) ditanda-tangani, seperti tertulis pada Pasal 24, ayat 2 (b).

Catatan Jatam, sejumlah divestasi di Indonesia kerap gagal,  justru hanya ditunggangi dan menguntungkan oligarki dan mafia pertambangan belaka. Melky contohkan, divestasi saham pertambangan PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur dan PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang berubah nama menjadi PT Amman) di Nusa Tenggara Barat.

Dalam kasus korupsi divestasi saham KPC, pemerintah pusat dan daerah kehilangan kesempatan mendapatkan saham divestasi dan kerugian negara mencapai US$63 juta atau Rp576 miliar dan lingkaran korupsi melibatkan gubernur hingga bupati di Kalimatan Timur.

Begitu juga kasus AMMAN, pemegang kontrak karya generasi keempat yang menambang konsentrat tembaga, emas, dan perak ini sedang dililit juga kasus kegagalan divestasi saham yang diduga terlilit korupsi merugikan negara US$237 juta, dalam kasus divestasi 24% saham.

Jatam mencatat, pelanggaran UU oleh Freeport dan pemerintah sudah delapan kali. Rekomendasi ekspor yang dikeluarkan memberikan keleluasaan Freeport tetap ekspor bahan tambang mentah, melalui delapan kali perpanjangan selama 2014-2018.

Jatam juga mencatat sejumlah pelanggaran lingkungan mulai temuan 22 kegiatan dan operasi Freeport melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).  Beberapa temuan itu, misal, perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektar jadi 584 hektar, perluasan ini tak dicantumkan dalam amdal.

Overburden (lapisan tanah dan batu) yang dibongkar sudah melewati batas maksimum amdal dari batas yang ditentukan hanya 2,67 miliar ton jadi 2,80 miliar ton. Operasi dan pembangunan fasilitas tambang bawah tanah tanpa izin amdal hingga tanggul penahan tailing di luar amdal.

Freeport juga jadikan sungai sebagai tempat membuang limbah beracun . Lima sungai,  yaitu Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe, jadi tempat pengendapan tailing tambang. Sungai Ajkwa di Mimika bahkan jadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988-2016. Sampai 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.

Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK pun menyebutkan, Freeport memiliki masalah dalam penggunaan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan ( IPPKH) dalam operasi produksinya.

“Karena itu, dapat disimpulkan, kita sedang dipertontonkan praktik bussines as usual, atau praktik berbisnis biasa antara pemerintah Indonesia dengan Freeport. Keduanya tak menjawab dan menyelesaikan deretan pelanggaran hukum apalagi menyelesaikan masalah keselamatan rakyat dan lingkungan,” katanya, seraya bilang,   yang terjadi bisnis jual beli saham, sekadar perubahan komposisi dan konsolidasi aktor baru belaka.

Saatnya, kata Melky, pemerintah menghentikan dan menutup operasi pertambangan Freeport di Papua, selain tak menguntungkan apalagi menyejahterakan, pemberian kontrak karya dulu tanpa persetujuan rakyat Papua. Sejak 1967,  katanya, telah diperjualbelikan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan Freeport.

Dia bilang, harus ada proses penegakan hukum atas pelanggaran UU dan pelanggaran HAM. Freeport pun, katanya,  harus dituntut memulihkan kerusakan alam selama 51 tahun beroperasi di Papua. “Indonesia mampu sejahtera tanpa tambang Freeport.”

 

Foto utama: dari video soal Freeport

Aksi massa protes Freeport di Jakarta. Foto: Della Syahni

 

 

Exit mobile version