Mongabay.co.id

Kemarau Datang, Air Telaga Jadi Andalan

Pagi jam 07.00 WIB. Suasana sekitar Telaga Merdada yang berada di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, sudah mulai riuh. Suara mesin penyedot air terdengar nyaring. Sebagian warga juga ada yang mulai memasang pompa air.

Pemandangan semacam itu telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Ratusan pompa air berjajar di pinggiran Telaga Merdada, salah satu telaga terbesar di kawasan dataran tinggi Dieng dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan Telaga Merdada dikelilingi perbukitan dengan luasan totalnya sekitar 75 hektare dengan luasan genangan sekitar 25 hektare.

Salah seorang warga, Yeyen (23) misalnya sejak pagi telah membuka semacam kotak penutup pompa air yang ia tinggalkan di pinggir Telaga Merdada. Kotak itu pengaman agar pompa tidak dicuri orang. “Kalau dulu, setiap hari harus bawa mesin pompa ke sini. Bolak balik, repot. Makanya, lebih baik saya tinggal di sini supaya saja, karena setiap hari harus menyedot air,”katanya yang ditemui Mongabay-Indonesia pada Minggu (8/7/2018).

Ia mengungkapkan kalau air Telaga Merdada bagi masyarakat Desa Karangtengah sangat vital. Bukan saja untuk menyirami tanaman, melainkan juga menyuplai kebutuhan air bersih. “Ada satu RT yang menyedot air bersih dari Telaga Merdada, karena sumber air bersih biasanya sudah surut saat memasuki musim kemarau. Lihat saja, banyak sekali paralon-paralon masuk ke dalam telaga untuk saluran pengambilan air,”ungkapnya.

baca : Menangkap Air di Lereng Dieng

 

Telaga Merdada di kawasan Dieng, Banjarnegara, Jateng, yang disedot airnya untuk keperluan air minum dan irigasi pertanian terutama tanaman kentang. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Jadi, kata Yeyen, meski setiap hari disedot, namun warga tetap berusaha untuk bijak dalam menggunakannya. Sehingga ada kesepakatan supaya penggunaan air sewajarnya saja dan dibatasi waktu penyedotan.

Warga lainnya, Kabid (45) mengungkapkan air Telaga Merdada dimanfaatkan untuk minum dan menyiram tanaman kentang oleh warga di Dusun Pawuhan dan Simpangan di Desa Karangtengah dan Dusun Buntu, Desa Bakal. “Ada yang menyedot air dari telaga sejauh 3 kilometer, namun rata-rata sekitar 1 km. Karena air telaga sangat vital bagi masyarakat, maka saat sekarang telah ada kesepakatan untuk bijak dalam menyedot air,”ujarnya.

Kalau dulu penyedotan air telaga dilakukan 24 jam penuh oleh sekitar 150 warga dan petani di sekitar Telaga Merdada. “Namun, untuk menghemat air, maka penyedotan dilaksanakan mulai jam 07.00 WIB hingga 16.00 WIB. Hal itu dilakukan supaya air telaga tetap tersedia sampai akhir musim kemarau,”katanya.

Penyedotan air telaga setiap hari oleh petani kentang butuh dana besar. “Para petani memiliki mesin pompa air masing-masing, sehingga membutuhkan dana tidak sedikit. Kami harus membeli 4 liter solar untuk menghidupkan pompa untuk operasional selama sekitar 8-9 jam,”jelasnya.

baca juga : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet

 

Petani di kawasan Dieng, Jateng menyirami tanaman kentang. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Para petani dan warga, juga menyedot air Telaga Balekambang yang terletak di kompleks Candi Ajurna di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur yang menjadi andalan bagi para petani di sekitar desa setempat. “Telaga itu memiliki luas sekitar 7 ha tersebut, baru terbuka sekitar 1 ha dengan kedalaman sampai 15 meter. Keberadaan telaga ini sangat vital bagi para petani di sini terutama di Desa Dieng Kulon dan juga Desa Dieng Wetan,”ujar Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono.

Tetapi ada petani yang memilih membuat sumur untuk menyirami tanaman kentang. Misalnya Umar (35) yang menggali sumur hingga kedalaman 8 meter. “Daripada menyedot air telaga yang cukup jauh, saya lebih memilih membuat sumur. Dengan kedalaman 8 meter, air dari sumur mampu mencukupi kebutuhan penyiraman sayuran. Biasanya sampai panen kentang masih tetap cukup airnya,”katanya.

 

Kondisi Telaga

Untuk merawat telaga-telaga sumber air itu, warga berusaha melakukan penyelamatan. “Salah satunya dengan menjaga telaga agar tidak terlalu banyak sedimentasi. Setiap hari Jumat ada kerja bakti yang melibatkan warga untuk membersihkan sekitar telaga untuk menyingkirkan lumpur. Harapannya, telaga tidak berlumpur yang bisa menyebabkan dangkal, sehingga mengurangi volume air yang tertampung,”kata Kades Dieng Kulon.

Menurut Slamet, normalisasi lingkungan sekitar telaga menjadi sebuah keharusan sebagai upaya agar telaga tidak hilang. “Kesadaran warga telah terpupuk, karena mereka telah merasakan pentingnya keberadaan telaga setempat,”ujarnya.

baca : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

 

Petani di kawasan Dieng, Jateng menyirami areal tanaman kentang. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Juga dibatasi penyedotan air untuk Telaga Merdada. “Kebijaksanaan memanfaatkan air telaga harus dilakukan. Misalnya saja dengan membatasi ukuran diameter pipa yang masuk ke dalam waduk. Pipa yang digunakan untuk menyedot hanya diperbolehkan memiliki diameter 1-1,5 inchi,”ungkap Kabid.

Kabid juga menerangkan bahwa beberapa waktu lalu juga dilakukan pengerukan di Telaga Merada, agar kapasitas air lebih banyak lagi. Upaya pengerukan dilaksanakan, karena terjadinya sedimentasi dalam telaga setempat.

Sementara dalam Jurnal Sains yang diterbitkan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 22 Desember 2015, tiga peneliti yakni Sudarmadji, Heri Supriyono dan Sri Lestari dari Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UGM yang melakukan riset danau-danau vulkanik di dataran tinggi Dieng. Mereka mengatakan salah satu yang disorot adalah Telaga Merdada yang kondisi lingkungannya kritis akibat penyusutan air. Terutama pada saat musim kemarau, volume air semakin susut karena disedot untuk kepentingan irigasi.

“Kualitas air Telaga Merdada mendekati kualitas air hujan, artinya air telaga ini tidak memiliki zat kimia yang berlebihan, seperti danau vulkanik yang airnya bersumber atau ada kaitannya dengan aktivitas vulkanisme,” jelas artikel ilmiah tersebut.

baca juga : Ketika Burung Hantu Layani Sesi Foto Siang Hari di Wisata Dieng

 

Kawasan datarang tinggi Dieng di Banjarnegara dan Wonosobo, Jateng yang sebagian besar ditanami kentang. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurut para peneliti, Telaga Merdada tidak memiliki inlet maupun outlet, sehingga pengurangan volume air hanya dengan cara evaporasi dan pengambilan air irigasi. Volume air juga berkurang akibat adanya sedimentasi yang merupakan dampak dari dibukanya lahan pertanian. Adanya sedimentasi tersebut menyebabkan pendangkalan telaga.

Di sisi lain, peneliti juga menyoroti soal penggunaan pupuk dan pestisida dalam budidaya kentang. “Sisa pupuk yang tidak terserap oleh tanaman dapat terbawa masuk ke dalam telaga melalui aliran permukaan dan menyebabkan penyuburan kondisi perairan, sehingga tanaman air akan tumbuh subur,” kata peneliti.

Mereka juga mengungkap dampak ceceran oli dari pompa yang digunakan para petani, yang dapat menurunkan kualitas air telaga, meski tidak terjadi di seluruh tubuh perairan. Penelitian menyatakan jika kualitas air pada musim penghujan lebih buruk jika dibandingkan saat kemarau. Hal itu mengindikasikan unsur hara yang masuk melalui aliran air hujan ke dalam telaga. Sedangkan pada musim kemarau air telaga semakin keruh, menandakan tingginya sedimentasi.

Dalam sarannya, para peneliti meminta supaya kondisi Telaga Merada yang sudah memprihatinkan tersebut tidak boleh berlangsung terus. “Harus ada usaha dari pemerintah dan warga untuk mengendalikan lingkungan telaga secara sungguh-sungguh,”tegas para peneliti UGM tersebut.

 

Exit mobile version