Mongabay.co.id

Kasus Pembangkit Batubara Riau Jerat Anggota Dewan, LSM: Proyek Listrik Rawan Korupsi

Kalimantan dan Sumatera, sudah menjadi sumber batubara besar Indonesia, dengan kerusakan lingkungan termasuk hutan dan pemukiman, parah. Beragam konflik sosial pun muncul. Kini, Papua, mau jadi sasaran baru eksplorasi batubara? Foto: Hendar/ Mongabay Indonesia

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih (EMS) sebagai tersangka dugaan korupsi suap,  proyek pembangunan PLTU Riau I, salah satu proyek listrik 35.000 Megawatt. Salah satu pemegang saham perusahaan pelaksana proyek pun jadi tersangka.

Basaria Panjaitan, Pimpinan KPK dalam konferensi pers akhir pekan lalu mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Eni terkait kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau I. Eni diduga menerima suap dari salah satu pemilik saham Black Gold Natural Resources, Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK), setidaknya Rp4,8 miliar dalam empat kali transaksi.

“KPK telah melakukan serangkaian penyelidikan kasus ini sejak Juli 2018 setelah dapat informasi dari masyarakat,” katanya.

OTT dilakukan beberapa tim KPK, Jumat (13/7/18), mengamankan 12 orang. Selain Eni dan Johannes yang jadi tersangka, KPK juga menangkap Tahta Maharaya (TM), keponakan Eni yang jadi pegawainya dan Audrey Ratna (ARJ), sekretaris Johannes.

Tak hanya itu, KPK juga mengamankan suami Eni, Muhammad Al Khadziq, supir, staf, dan ajudan tersangka.

Dari tangan Tahta dan Audrey ditemukan barang bukti berupa uang tunai Rp500 juta, dalam pecahan seratus ribuan dalam amplop coklat terbungkus plastik hitam, berserta tanda terima. Diduga, ini adalah transaksi keempat setelah tiga transaksi sebelumnya.

“Jumat siang tim mengidentifikasi terjadi penyerahan uang dari ARJ, sekretaris JBK, kepada TM, keponakan EMS, Rp500 juta di ruang kerja ARJ di lantai 8 Graha BIP, Jalan Gatot Subroto, Jakarta,” ucap Basaria.

Sorenya, sekitar pukul 14.27, tim mengamankan Tahta, di parkiran basemen Graha BIP. Audrey diamankan di ruang kerja. Eni sendiri ditangkap saat di rumah Dinas Menteri Sosial Idrus Marham di Widya Chandra sekitar pukul 16.30.

Bersamaan, tim KPK lain menahan seorang staf Eni di bandara. Dini harinya, tim KPK juga menahan tiga orang berikutnya, yakni suami Eni dan dua staf di kediaman Eni di Larangan, Tangerang.

Suap Rp500 juta yang ditemukan KPK, diduga bagian komitmen fee 2,5% dari total nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni dkk.

“Setidaknya Rp4,8 miliar diambil berturut-turut pada Desember 2017, Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 Rp300 juta. Terakhir Rp500 juta,” kata Basaria.

Penetapan tersangka terhadap Eni dan Johannes setelah KPK melakukan gelar perkara 1×24 jam dan berkesimpulan bahwa Eni menerima  hadiah atau janji terkait proyek PLTU Riau I. Tersangka kena Pasal 12 huruf a atau b Pasal 11 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah jadi UU No 20/2001 junto Pasal 5 ayat 1.

“Sektor energi yang meliputi hajat hidup orang banyak jadi perhatian serius bagi KPK,” katanya.

Tak berhenti hingga di situ, Minggu (15/7/18), KPK menggeledah rumah Direktur PLN Sofyan Basir. Saat itu,  Sofyan tak ada di rumah. Meski kaget, Sofyan mengatakan menerima dan akan berkoordinasi baik dengan KPK.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, karena ada ikatan hukum antara PLN dengan konsorsium pelaksana pembangunan PLTU Riau I. PLN, katanya,  sebagai penanggungjawab proyek listrik dan diduga ada pihak lain yang menerima fee, KPK menggeledah rumah Dirut PLN. Senin (16/7/18), KPK juga menggeledah kantor pusat PLN hingga malam hari.

Selain ruangan Dirut, KPK memeriksa dan mengambil sejumlah dokumen di ruangan kepala-kepala divisi PLN.

Dalam keterangan pers, Senin, Sofyan mengatakan, pertanggungjawaban kasus ini bukan di tangan PLN namun konsorsium yang bekerja sama dengan anak perusahaan PLN, PT. PJB.

Case ini terjadi di sebelah sana, konsorsium. Ada China, ada teman-temannya. Sama sekali bukan urusan kita,” kata Sofyan.

Dia memastikan,  meski karena kasus dugaan suap ini pembangunan PLTU setop sementara, anak perusahaan PLN segera meneruskan pembangunan saat masalah hukum selesai.

 

Rentan korupsi

PLTU Riau I,  merupakan salah satu pembangkit listrik yang termasuk dalam mega proyek 35.000 megawatt. PLTU mulut tambang ini, kata Sofyan,  akan dibangun dengan investasi US$900 juta. Jika sesuai rencana, PLTU  ini akan beroperasi (COD) pada 2022-2023.

Pembangunan PLTU ini disponsori oleh Black Gold Natural Resources, tergabung dalam bursa efek Singapura (44%), China Huadian Engineering (51%), Samantaka batubara dan PLN Pembakitan Jawa Bali (PJB) 5%.

Samantaka adalah anak perusahaan Black Gold yang punya konsesi seluas 15.000 hektar dengan lebih dari 500 juta ton sumber daya batubara.

 

Pembangkit energi kotor. PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

PJB menunjuk konsorsium yang kelak akan punya saham 49% di industri ini. PLN sesuai Perpres No 4/2001 akan punya 51% saham.

Hingga kini,  proses perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement) belum final. Karena itulah,  diduga, anggota DPR Eni Saragih berperan memuluskan penandatanganan kontrak dengan imbalan 2,5% dari nilai proyek.

Setelah ditahan KPK,  Eni mengaku tak tahu kalau imbalan yang dia terima ilegal.

Organisasi lingkungan menilai, proyek PLTU dinilai sarat korupsi. Catatan Walhi, kasus serupa pernah terjadi, melibatkan kepala daerah dan pengembang pembangkit listrik kotor batubara.

Contoh kasus korupsi PLTU batubara yang sudah diputus pengadilan antara lain adalah kasus mark up harga lahan PLTU Indramayu 1 oleh mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin.

Ada juga kasus pembebasan lahan PLTU Bunton, Cilacap, melibatkan mantan Sekretaris Daerah Suprihono vonis tahun 2013. Kasus PLTU Tarahan juga menjerat politisi Emir Moeis kala memuluskan perizinan proyek.

“Preseden ini menunjukkan, moda korupsi di sektor ketenagalistrikan terjadi di sepanjang rantai nilai pengembangan proyek, pengadaan dan pengoperasian PLTU,” kata Dwi Sawung, Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi.

Korupsi dapat terjadi di proses pengadaan lahan, proses perizinan, pengadaan teknologi maupun bahan bakar.

PLTU Riau I, katanya, merupakan proyek pembangkit mulut tambang, berarti akan berlokasi dekat tambang batubara pemasok bahan bakar.

“Ini juga berarti kerusakan lingkungan dan polusi dari tambang batubara dan PLTU juga akan berlipat ganda bagi masyarakat sekitar.”

Samantaka,  selaku anak perusahaan Black Gold akan memasok 3,5 juta ton batubara setiap tahun dalam suatu ikatan kontrak jangka panjang.

Rio Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan, Sumatra kini alami  kelebihan pasokan listrik. Jaringan Sumbagut saja pada 2017,  kelebihan pasokan listrik 10% di atas beban puncak.

“Hal ini jadikan penambahan kapasitas pembangkitan di Sumatera patut dipertanyakan untuk kepentingan siapa? Karena proyek energi kotor PLTU mulut tambang Riau 1 justru menghancurkan lingkungan dan sarat korupsi. PLTU Riau 1 sudah selayaknya dihentikan,” katanya.

Meski mengalami kelebihan pasokan listrik, pengadaan pembangkit swasta (IPP) dengan skema pembelian take or pay selama 20-25 tahun mengharuskan PLN tetap membayar listrik pembangkit swasta itu walaupun energi tidak digunakan konsumen.

Sawung menambahkan,  KPK harus mengusut PLTU batubara IPP lain yang terindikasi tak diperlukan tetapi dipaksakan dibangun. PLTU IPP itu, katanya, terutama PLTU di Jawa-Bali dan Sumatera yang mengalami surplus listrik.

China Huadian Engineering Co (CHEC) adalah perusahaan rekayasa tenaga listrik milik negara di China. Bisnis inti CHEC meliputi riset dan pengembangan produk berteknologi tinggi, desain teknik, umum kontrak, serta riset dan  teknologi energi. Saat ini CHEC terlibat dalam proyek konstruksi, investasi, operasi dan pemeliharaan berbagai proyek pembangkit listrik di Indonesia.

Dua proyek China Huadian lain yang sedang menghadapi masalah yakni, pertama,  PLTU Celukan Bawang 2 (ekspansi) di Bali sedang tersandung gugatan masyarakat dan Greenpeace terkait dampak lingkungan dari PLTU eksisting. Ekspansi PLTU berkapasitas 2×330 MW ini tersandung masalah izin lingkungan yang diberikan tanpa konsultasi dengan warga. Selain itu, katanya,  ada pelanggaran zonasi tata ruang. Kasus ini sedang disidang di PTUN Denpasar.

Kedua, PLTU Sumsel 8 dengan pembangunan terseok-seok lantaran ada perubahan harga (tarif) yang diminta PLN, berujung pada negosiasi alot antara pengembang, PT Bukit Asam,  selaku pemasok dan PLN.

 

Keterangan foto utama: ilustrasi. Pembangkit bahan baku batubara (PLTU), masih andalan pemenuhan energi di negeri ini. Pemerintah menargetkan banyak pembangunan pembangkit baru, salah satu di Riau, yang terjerat dugaan korupsi. Foto: Hendar

 

 

Exit mobile version