Mongabay.co.id

Bakal Perburuk Kualitas Lingkungan, Koalisi Tolak Pembangunan Enam Ruas Tol Jakarta

Ruas jalan tol dalam kota Jakarta. Crossing dengan W1. Sumber: paparan Jakarta Tollroad Development

 

Proyek pembangunan enam ruas tol Jakarta, mulai berlangsung. Seksi Semanan-Sunter, sudah mulai konstruksi. Kalau berjalan sesuai rencana enam ruas tol— Semanan-Sunter, Sunter-Pulo Gebang, Duri Pulo-Kampung Melayu, Kemayoran-Kampung Melayu, Pasar Minggu-Casablanca dan Ulujami-Tanah Abang—ini akan membentang sepanjang 69,77 kilometer dan menelan dana sekitar Rp41,17 triliun.

Koalisi masyarakat sipil menolak pembangunan enam ruas tol dalam kota Jakarta ini karena dinilai bakal menimbulkan banyak kerugian, terutama sisi lingkungan.

Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) dalam diskusi bersama media di Jakarta, pekan lalu mengatakan,  sejak awal koalisi menolak pembangunan ini. Mereka nilai, pembangunan enam ruas jalan tol bukan solusi tepat mengurai kemacetan Jakarta.

“Pembangunan jalan tol dalam kota, jalan layang, itu hanya memindahkan kemacetan. Dalam konteks ini hanya menunda kemacetan berikutnya terjadi kembali.”

Dia bilang,  membangun jalan baru, rata-rata hanya bertahan tiga sampai enam bulan. Setelah itu, katanya, rata-rata malah menimbulkan sumber kemacetan baru.

Puput, biasa dia disapa, mengatakan, para ahli transportasi dunia, rata-rata tak menghendaki ada tol dalam kota, termasuk jalan layang atau fly over kecuali perlintasan sebidang untuk rel kereta api.

Dia mendorong,  pemerintah membatalkan proyek ini. “Solusi kemacetan itu transportasi publik harus terintegrasi dan lebih komprehensif.”

Elisa Sutanudjaja, dari Rujak Center for Urban Studies mengatakan, kondisi Jakarta hari ini buruk. Ibukota Indonesia ini disebut sebagai salah satu kota di dunia dengan kualitas udara buruk. Ia juga kota termacet di dunia.

Saat bersamaan, katanya, Presiden Joko Widodo punya komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030. Ia sudah ratifikasi jadi UU dengan segala aturan turunan.

 

Sumber: paparan Jakarta Tollroad Development

 

Pada rencana jangka menengah Jakarta baru saja ketok, Anies Baswedan (gubernur) akan memotong emisi lebih besar daripada tingkat nasional, sebesar 30%.

“Kalau membuat kebijakan, jangan membuat sesuatu yang kontradiktif. Seharusnya,  kebijakan yang dibuat, diturunkan dengan aksi mendorong supaya target-target tercapai,” katanya.

Pembangunan enam ruas tol ini, katanya,  banyak kerugian. Ia akan memperburuk kualitas udara Jakarta hingga berdampak pada kesehatan warga.

Data KPBB per 2016 menyebutkan, kerugian warga karena sakit pencemaran udara Rp51,2 triliun. Jumlah pengidap penyakit ISPA setahun 2,7 juta jiwa, bertambah 12,5% dibandingkan 2010. Selain ISPA, pencemaran udara juga berdampak pada penyakit asma (1,4 juta), bronchitis (214.000), COPD (172.000), pneumonia (373.000), dan jantung coroner (1,4 juta).

“Enam ruas jalan tol ini, kalau misal, hukum ekonomi sederhana, kalau dikasih suplai lebih banyak, otomatis akan ada orang banyak beli. Kalau dikasih jalan tol lebih banyak, otomatis akan ada banyak orang atau kendaraan mengalir ke sana. Akhirnya macet juga.”

Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan ada jalur khusus bus Transjakarta di enam ruas jalan tol ini. Menurut Elisa, sama sekali tak akan efektif.

Berkaca pada pengalaman pembangunan jalan layang khusus Transjakarta koridor 13, dalam perjalanan tak efektif.

“Lihat saja jalur Trans Jakarta koridor 13 seperti apa? Siapa yang mau naik 20-25 meter sebegitu tinggi dengan tangga? Sebegitu susah. Di ruas tol dalam kota itu, paling rendah tinggi 15 meter. Ada lebih 25 meter.”

Lebih menyedihkan lagi,  katanya, 80% jalur enam ruas jalan tol ini, menumpang di jalur-jalur transportasi publik, seperti jalur kereta api, Transjakarta, bahkan ada di atas Banjir Kanal barat.

“Kalau kita ingat, pada 2013, ada dinding banjir kanal barat roboh gara-gara dipasang tiang reklame. Ini bahkan akan dipasangin satu ruas?”

Dia meminta Menteri Pekerjaan Umum, menimbang ulang rencana ini. “Kalau ingin target-target Paris Agreement tercapai, ya model-model seperti ini gak bisa jadi bagian dari proyek strategis nasional.”

Agus Pambagyo, dari Protes Publik mengatakan, jalan tol itu bukan untuk publik dan masyarakat umum,  tetapi mereka yang punya kendaraan pribadi.

Kota yang beradab, katanya, mengutamakan transportasi umum terkoneksi dengan baik untuk masyarakat. Membawa dari satu titik ke titik lain dengan biaya murah.

“Jadi kenapa sekarang ribut membangun jalan tol, padahal itu tidak murah, belum tentu bisa kembali. Belum tentu pemerintah tegas mengatur.”

Dia contohkan, tol JORR didesain buat kendaraan logistik, bukan pribadi. Dalam perkembangan, katanya, pemerintah daerah melanggar aturan sendiri. “Mobil pribadi bisa masuk.”

Jadi, katanya, sekarang kala macet, mobil angkutan logistik hanya bisa masuk pada jam-jam tertentu. “Itu kan sudah pelanggaran hak asasi. Daripada membangun enam ruas tol dalam kota, lebih baik uangnya untuk subsidi angkutan umum yang ada,” katanya.

Ari Mochamad dari Thamrin School mengatakan, meningkatkan kualitas udara harus lewat beberapa aspek dan terintegrasi satu sama lain. Dia sebutkan, misal soal tata ruang, kendaraan ramah lingkungan, akses publik yang baik, teknologi, dan kualitas bahan.

“Tidak ada satu pun penelitian mengatakan,  hasil pembangunan jalan tol itu solusi kemacetan. Kemacetan bisa terurai dengan sistem transportasi publik terintegrasi. Karena murah, emisi per kapita sangat sedikit, subsidi terarah,” katanya.

 

Sumber: paparan Jakarta Tollroad Development

 

Charlie Albajili, dari LBH Jakarta mengatakan, Penolakan enam ruas tol ini sudah sejak lama.

Dia bilang, agenda pembangunan pemerintah selalu diklaim untuk kepentingan publik. “Apakah unsur kepentingan publik dari agenda pembangunan itu, sesuai atau tidak? Dari berbagai kajian disebutkan dampak pembangunan enam ruas tol ini, tetapi pemerintah tetap bersikukuh. Pada 2016, malah jadi proyek strategis nasional,” katanya.

Dia bilang, dengan jadi proyek nasional akan terlindungi dari segi hukum. Perpres Proyek Strategis Nasional Nomor 3/2016, katanya, mengatakan, pemerintah daerah boleh lakukan diskresi-diskresi soal pelaksanaan proyek strategis nasional, salah satu terkait pembebasan lahan.

“Sangat sulit kita ingin memastikan, pembebasan lahan sesuai prosedur yang disepakati dalam sosial budaya. Prosesnya sangat cepat dan terkesan dipaksakan.”

Dulu, katanya, prosedur pembebasan lahan 20 hari kerja, sekarang hanya waktu tiga hari. Upaya menyampaikan keberatan, katanya, dulu 14 hari kerja, sekarang tiga hari. “Perhitungan ganti rugi juga cepat dalam waktu tujuh hari. Bagaimana kita bisa memastikan proses pembebasan lahan berlangsung adil dan melibatkan partisipasi warga terdampak?” tanyanya.

Dalam penelitian LBH Jakarta,  tentang penggusuran paksa di Jakarta 2015-2017, total 21 penggusuran untuk pembangunan jalan, baik tol, jalan inspeksi, ataupun jalan raya. Hanya 16%, melalui musyawarah. Sisanya, putus sepihak (84%).

“Proyek ini akan menimbulkan kerugian bagi warga yang terpaksa merelakan lahan.”

Padahal, katanya, proyek ini hanya akan menguntungkan korporasi pelaksana bukan demi kemaslahatan warga Jakarta.

 

Keterangan foto utama: Ruas jalan tol dalam kota Jakarta. Crossing dengan W1. Sumber: paparan Jakarta Tollroad Development

Sumber: paparan dari Jakarta Tollroad Development

 

Exit mobile version