Mongabay.co.id

Buku Kondisi Hutan Indonesia Terkini, Seperti Apa?

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

Ada soal kebakaran hutan dan lahan, deforestasi juga penegakan hukum. Kebijakan alokasi lahan untuk masyarakat lewat reforma agraria dan perhutanan sosial juga ada di situ. Itulah antara lain isi buku State of Indonesia’s Forest 2018 atau Kondisi Hutan Indonesia, yang rilis baru-baru ini.

Lewat buku ini, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seakan ingin menyampaikan penjelasan mengenai perbaikan tata kelola kehutanan yang sudah mereka lakukan.

“Saya melihat ada keperluan cukup mendesak bagi Indonesia menjelaskan kepada dunia internasional dan publik, bagaimana posisi hutan Indonesia terutama berkaitan kebijakan-kebijakan yang membawa banyak perubahan yang diambil Presiden Jokowi,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan usai rilis buku di di Jakarta, pekan lalu.

Dia membenarkan, deforestasi jadi perhatian serius dunia internasional, seperti dalam Deklarasi Amsterdam, berisi negara Norwegia, Prancis, Inggris, Jerman dan Belanda.

”Mereka datang ke kita nanyain deforestasi,” katanya seraya bilang, melalui buku ini, data-data statistik bisa jadi acuan dan menjawab tuduhan-tuduhan kepada Indonesia terkait deforestasi.

Data deforestasi dan penurunan emisi dalam beberapa tahun ini ada di buku itu. Berdasarkan data KLHK, pada 2015, deforestasi 1,09 juta hektar, 0,63 juta hektar (2016), turun jadi 0,48 juta hektar pada 2017.

Kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca, katanya, Indonesia harus menekan deforestasi maksimal 0,325 juta– 0,45 juta hektar pada 2030. Restorasi gambut, kata Siti, berperan sangat penting dalam upaya ini.

Kebijakan lain, katanya, yang juga dipaparkan dalam buku itu yakni, penerapan sistem sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan guna menekan pembalakan liar. Buku itu juga memuat upaya penyelesaian konflik penguasaan hutan yang melibatkan masyarakat termasuk masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Buku ini pun Siti bawa dan jadi bahan paparan kepada dunia internasional dalam ajang Internasional, 24th Session of the Committee on Forestry (Cofo) yang digelar Food and Agriculture Organization (FAO) 16-20 Juli di Roma, Italia.

“Hutan sangat penting dalam pencapaian sustainable development goals. Kebijakan nasional kehutanan kini sejalan dengan tujuan itu. Perubahan besar terjadi di Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan,” kata Siti dalam pertemuan Cofo di Itali, Rabu.

Dia jelaskan, perspektif pengelolaan hutan lestari yang sedang dijalankan Indonesia, dengan menciptakan
keseimbangan sosial, menjaga lingkungan serta hutan bernilai ekonomi untuk kepentingan negara dan masyarakat.

 

Ancaman kebakaran belum usai. Meskipun titik api, sempat mereda, dan beberapa wilayah hujan, tetapi karhutla mesti tetap diwaspadai, terutama di Kalbar dan Papua. Foto: KLHK

 

Dia paparkan, status 25.800 dari 80.000 desa terletak di dalam atau sekitar kawasan hutan, sudah diperjelas,  1,73 juta hektar teralokasi kepada 390.000 rumah tangga.

Kebijakan ini, diklaim Siti,  dapat mengangkat sekitar 1,2 juta orang miskin dari sekitar 10 juta orang miskin di dalam dan sekitar hutan.

Siti sebutkan juga soal pengakuan hutan adat jadi salah satu dalam upaya mengaktualisasikan hak asasi manusia.

Soal kebakaran hutan dan lahan, Indonesia berhasil menurunkan area terbakar dari 2,6 juta hektar pada 2015, jadi 168 ribu hektar dalam 2017.

Dalam bidang pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, dia sebutkan, KLHK fokus pengembangan ekonomi pada 54 taman nasional di Indonesia dan memberikan akses legal kelola hutan melalui perhutanan sosial untuk memperkuat
ketahanan pangan.

 

 

Ketimpangan kepemilikan lahan

Kini, KLHK jalankan kebijakan alokasi lahan mengurangi ketimpangan karena selama ini 95,76% dipegang swasta, rakyat hanya dapat porsi sekian persen.

Upaya itu, katanya, pemerintah lakukan lewat reforma agraria dan perhutanan sosial. Hingga kini, pemberian akses perhutanan sosial sudah 1.729 juta hektar untuk 391.000 keluarga baik di dalam maupun sekitar hutan.

“Reforma agraria dan perhutanan sosial merupakan jawaban mengatasi ketimpangan dan kesenjangan penguasaan lahan serta akses bagi 25.000-an desa di sekitar dan dalam kawasan hutan,” kata Siti.

KLHK pun, katanya, berencana membuat peta jalan industri kehutanan untuk kayu dan non kayu menuju keberlanjutan, termasuk juga pembiayaan berkelanjutan.

Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK mengatakan, buku Kondisi Hutan Indonesia ini baru pertama kali disusun. Sebelumnya, hanya berupa laporan internal per akhir tahun dan akhir masa kabinet.

”Kebijakan sedang berjalan itu mengevaluasi kebijakan yang ada. Ada evaluasi perizinan dan lahir tata kelola baru, konfigurasi bisnis baru dan akses lahan ke masyarakat,” katanya.

Menurut Wahjudi Wardojo, penasehat senior Menteri LHK, Indonesia selalu dipertanyakan soal pengelolaan kehutanan oleh negara-negara maju. Mereka ketakutan jika sumber alam masa datang hilang.

Ageng Herianto, Assistance FAO Representative mengapresiasi peluncuran buku ini. ”Komunitas internasional sangat menanti apa yang disampaikan Indonesia mengingat peran penting Indonesia di global,” katanya.

Buku ini, katanya, tak hanya berbicara pada tataran kebijakan juga isu teknis yang selama ini jadi perhatian internasional.

Dia berharap, publikasi ini dalam terbit berseri memuat isu penting kehutanan di Indonesia.

 

Buku Kondisi Hutan Indonesia

Keterangan foto utama: Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version