Mongabay.co.id

Nurdin Abdullah: Sawit dan Tambang Bukan untuk Sulawesi Selatan

 

Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman, peraup suara terbanyak pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Juni lalu. Apa kata Nurdin Abdullah, yang biasa disapa Prof ini, soal arah pembangunan di Sulsel?

 

Pemilihan kepala daerah baru saja usai. Hari itu, 27 Juni 2018, sebanyak 171 wilayah lakukan pilkada serentak di Indonesia. Sulawesi Selatan, salah satu bagian. Empat pasangan calon berebut kursi gubernur dan wakil.

Ada pasangan Nurdin Halid-Aziz Qahhar Mudzakkar usungan Partai Golkar, Nasdem, PKPI dan PKB. Agus Arifin Nu’mang (kader Partai Gerindra)-Tanribali Lamo (non partai) diusung Gerindra, PBB dan PPP. Lalu, Nurdin Abdullah (non partai)-Sudirman Sulaiman (non partai), calon PDI-P, PKS dan PAN. Terakhir, calon independen: Ichsan Yasin Limpo (kader Partai Golkar)-Andi Mudzakkar (non partai).

Kandidat itu tarung visi misi dan melakukan debat terbuka. Selama empat bulan masa kampanye dan sosialisasi, mereka menyambangi berbagai kabupaten dan kota. Berebut simpatik untuk 4.334.359 suara daftar pemilih tetap.

Pasangan calon Nurdin Abdullah–Andi Sudirman Sulaiman, jadi peraup suara terbanyak, sekitar 41,36% dalam perhelatan itu. Pasangan ini mengumpulkan perolehan suara 1.867.303 dengan menaklukkan empat kabupaten.

Siapa Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman? Nurdin Abdullah–biasa disapa Prof – adalah seorang akademisi dan guru besar dari Universitas Hasanuddin. Dia menyelesaikan pendidikan di Jepang dengan mengambil konsentrasi konservasi untuk daerah aliran sungai (DAS). Dia bilang, ilmunya adalah river engineering.

Nurdin juga bupati dua periode Kabupaten Bantaeng. Salah satu wilayah kecil di bagian selatan Makassar. Dapat ditempuh tiga jam perjalanan darat. Bantaeng menjadi perbincangan setelah sang Prof menahkodainya. Dia membangun kebun agroforestri, membuat rumah sakit, mereklamasi pantai, dan mendatangkan mesin penggiling kopi.

Sang Prof, juga membangun Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), di dalamnya berdiri smelter nikel. Hal ini acap kali jadi perbincangan dan kritik untuknya. Dia membangun Bantaeng, dengan kemajuan infrastruktur cukup terlihat.

Sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia 2017 adalah 67,2%. Rata-rata lama sekolah 6,45 tahun. Di Bantaeng, perkawinan anak (usia dini) masih marak.

 

Konflik PTPN dan warga. Saparuddin (40 tahun) memandang lahan keluarganya yang telah ditanami sawit PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Andi Sudirman Sulaiman, adalah adik Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Seorang menteri yang tak pernah masuk kekisruhan resufle pemerintah Presiden Joko Widodo. Tak banyak yang tahu siapa Sudirman, sebelum jadi pasangan Nurdin Abdullah untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan.

Pada 2 Juli 2018, saya menemui Nurdin Abdullah di kediamannya di Perumahaan Dosen Tamalanrea Universitas Hasanuddin. Dia pakai baju terusan putih. Rambut tersisir rapi, dengan uban di mana-mana.

“Di Indonesia itu bekerja saja. Jangan terlalu banyak pendapat. Nda ada yang jadi kalau seperti itu,” katanya.

Bagaimana kelak roda kepepimpinan Sulawesi Selatan, akan dijalankan oleh seorang ahli konservasi? Di mana kawasan hutan kian waktu terus terambah demi keperluan manusia, dari izin-izin kepada perusahaan dan pemukiman. Mongabay mewawancarai Nurdin. Berikut petikannya:

 

 

Bagaimana Anda meihat kondisi hutan Sulawesi Selatan saat ini?

Selama masa kampanye, saya mengunjungi wilayah terpencil. Melihatnya dari perjalanan udara, ada banyak hutan kita sudah gundul. Di rambah sampai ke hulu. Yang dulu daerah tak terjangkau. Kini semua menjadi terjangkau. Ini menyedihkan.

Selama ini pemerintah daerah – Sulawesi Selatan – hanya mengandalkan polisi hutan. Padahal sebaiknya kebijakan harus merangkul masyarakat. Karena masyarakatlah yang sebenarnya memiliki hutan itu. Nah itu yang benar.

Perbandingnanya, kita misalkan memiliki, luasan hutan hingga 1 juta hektar, lalu djaga dengan 100 polisi, cukup nda? Iya kan. Kalau saya bukan soal security tetapi harus pendekatan kemanusiaan.

Kenapa hutan harus terjaga? Pertama, sebagai penyangga pangan. Sulawesi Selatan sebagai wilayah agraris, maka air harus dijaga baik-baik keberadaannya. Tutupan hutan yang baik, menjadi suplai air untuk cadangan sepanjang masa.

 

 

Bagaimana cara Anda kelak menghentikan pembabatan hutan?

Ya bukan melarang, kita harus buat aturannya. Bagaimana menjaga hutan ini tetap eksis, dan bisa mendapat keuntungan di dalamnya. Ya seperti misal, tumpang sari juga bisa. Tanaman-tanaman butuh naungan juga bisa seperti kopi.

Kalaupun, kelak harus menggarap lahan-lahan kritis, maka kaidah-kaidah konservasi harus juga di jalankan.

 

Pasca kebakaran beberapa tahun lalu di Pos VII Gunung Bawakaraeng. Pohon tampak mengering dan tak tumbuh lagi. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Di Sulawesi Selatan, wilayah konservasi (taman nasional) dan hutan lindung kerap berbenturan dengan masyarakat sekitar hutan. Bagaimana Anda menyikapinya?

Saya tahu itu (wilayah lindung dan konservasi) aturannya saklek. Tapi daripada hancur, ya lebih bagus dijaga sama rakyat. Kalau saya, satu kata kunci. Tidak akan mungkin, kita mengandalkan polisi hutan dengan menjalankan aturan yang tegas, sementara masyarakat di sekitar hutan ini lapar.

Jadi kasi mereka kewenangan. Suruh jaga hutan lindung kita.

 

Apakah seperti model hutan adat?

Nah itu juga. Dari dulu hutan kita tidak pernah rusak. Karena hutan adat kan. Lalu akhir-akhir ini, pemerintah dan beberapa lembaga membuatkan aturan macam-macam, terjadilah konflik kepentingan. Iya kan.

Saya percaya, konsep hutan adat seperti masa lalu itu akan sangat baik. Kalau itu dihidupkan kembali, pengetahuan mengenai kearifan lokal pasti terjaga.

Saya ambil contoh, di Bantaeng, semua hutan sudah mendapatkan SK (surat keputusan)menteri dan terjaga baik. Lalu ambil pelajaran di Jepang, itu nda ada hutan negara. Semua hutan rakyat. Di sana (Jepang), pemerintah memberikan biaya untuk menanam. Bukan dia (penanam) yang dapat hasilnya, tetapi anaknya, atau cucunya kelak.

Jadi pemerintah kasi duit. Nanam. Tanamannya sudah masa tebang, pemerintah lagi yang beli. Tugasnya nanam kembali, itu tentu saja dengan kayu-kayu atau tanaman yang berfungsi untuk konservasi.

 

 

Sekarang ada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), apakah menurut Anda ini efektif untuk menjaga hutan?

Anda tahu tidak, persolannya hutan kita ini hancur, karena PTPI itu diartikan salah. Tebang Pilih Tanam Indonesia, menjadi, Tebang Pasti Tanam Insya Allah.

Coba, sebelum rencana kerja tahunan (RKT) itu turun, kelompok masyarakat atau juga perusahaan diminta dulu inventarisasi tegakan. Itu kan semestinya untuk menjaga kawasan, jadi tak semua tegakan ditebang. Harus ada tegakan tinggal. Setelah penebangan, inventarisasi ulang tegakan tinggal. Itu yang seharusnya.

Di kita, konsesi RKT-nya, untuk lima tahun, satu tahun dihabisin pohonnya. Dia punya izin nebang lima tahun, punya rencana area penebangan. Di kertas sangat bagus. Di lapangan tegakan dihabisin. Maka ;lima tahun lagi, urus RKT lagi. Itu kan salah. Itu banyak terjadi. Yang seperti ini harus kita rapikan.

 

Infrastruktur jalan rusak parah menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto

 

Apa target Anda kelak?

Kalau saya, ingin semua ada kepastian. Yang utama masyarakat sekitar hutan, tidak boleh lapar. Coba ya, kalau ini tidak terkontrol dengan baik, saya khawatir nanti akan booming cengkih. Itu hutan dimana-mana itu uda gundul semua. Uda pada mulai nanam cengkih.

Di Luwu Raya – meliputi Kabupaten Luwu, Palopo, Luwu Utara, Luwu Timur – cengkih sudah di puncak-puncak gunung. Jika sudah demikian akan muncul sengketa lahan.

Di Kabupaten Gowa, di wilayah dataran tinggi, hampir semua itu ditanam jagung. Siapa yang punya jagung dan lahan itu? Nda ada yang paham. Saya ingin semua ini harus jelas.

 

 

Di Gowa, Gunung Bawakaraeng telah kritis. Apa yang Anda akan lakukan?

Mari coba perhatikan DAS (daerah aliran sungai) Jeneberang, itu sudah super kritis. Bukan lagi sangat kritis, tapi super..super kritis. Indikasinya jelas, kalau mau lihat hulu, lihat warna air. Kalau sudah coklat susu, berarti hulu sudah rusak.

Coba juga lihat Sungai Wallanae dan Danau Tempe di Wajo, itu juga super kritis. Makanya harus ada upaya cepat kembali penataan ulang. Wilayah konservasi kembali digalakkan.

Dalam waktu dekat, saya kira jika kita ingin menyelamatkan DAM kita di Bili-bili – sebagai pasokan irigasi dan sumber air minum di Makassar. Kita harus buat Sabo DAM yang banyak di bagian atas. Harus melakukan penanaman ulang.

 

Caranya bagaimana?

Jadai kalau saya memang melihat, fungsi lingkungan ini harus jadi prioritas. Jangan lagi diproyekkan. Coba ada proyek reboisasi. Penghijauan. Nah, ini orientasi pada proyek dan pengelolaan bermasalah.

Orientasi proyek itu hanya memenuhi standar. Yang penting memenuhi standar, sudah selesai, ya sudah. Kan yang paling mudah itu nanam. Yang paling berat itu memelihara. Gali lubang, tanam, tutup, selesai, ya kan? Mereka coba nanam, foto, pasang plang nama. Selesai. Lalu ke persemaian foto. Ini pertanggungjawaban di kertas dan jadi laporan. Selesai.

Nah memeliharanya bagaimana? Jadi kelak, kita memang tak bisa sendiri. Kita harus mengajak, lembaga-lembaga donor. Untuk bersama-sama menyelesaikan soal lingkungan kita.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Anda mengunjungi wilayah Mantadulu di Kalaena, Kabupaten Luwu Timur pada masa kampanye. Apakah Anda mendengar konflik perkebunan sawit dengan masyarakat? 

Saya tak mendengarnya. Tapi ini informasi yang baik. Bagi saya, jika Sulawesi Selatan, bicara tentang perkebunan, sawit bukanlah yang tepat. Biarlah sawit itu daerah Sumatera. Ini kan sudah dibagi; Timur Indonesia ini jadi sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Itu jelaslah.

Nah, kita lihat sekarang, produksi sawit itu jauh lebih besar daripada kapasitas pengolahan. Akhirnya masyarakat yang pasti dirugikan. Iya kan! Mereka kalau gak jual ke perusahaan, mau jual kemana? Pasti soal harga, masyarakat di pihak lemah.

 

 

Dalam penelusuran kami (di Mongabay) Kabupaten Enrekang pun akan jadi lahan sawit. Bagaimana pendapat Anda?

Sawit itu tentu bukan tanaman konservasi. Menyerap banyak air, saya kira kajian sudah cukup banyak. Kalau Enrekang, hendak di jadikan sawit, itu keliru. Sama seperti di Luwu Utara, masa’ kakao ditebang. Ganti sawit. Harusnya kita konsisten di kakao. Itu kan karena penyakit. Oke mari kita cari solusi untuk menangkal penyakit. Malangke (Luwu Utara) pun, yang dulu penghasil jeruk bahkan sudah menjadi sawit. Sayang sekali.

Jadi kita itu di Sulawesi Selatan selama ini menyentuh sesuatu yang bukan keunggulan kita. Ini wilayah pertanian. Harusnya menjadi lumbung pertanian yang terkait.

Lumbung daging itu lebih baik dan masuk akal. Setiap Lebaran kita impor daging masuk dari India loh. Padahal potensi kita itu besar. Ada range kita di Maiwa (Enrekang), Sidrap, dan Seko (Luwu Utara). Itu bisa backup kebutuhan indonesia. Makanya harus kolaborasi, misal, New Zealand untuk menyiapkan benih hewan unggul.

 

Anda akan menjadikan Seko wilayah lumbung ternak, tetapi wilayah itu sudah dipenuhi konsesi pertambangan – Kalla Aribamma untuk bijih besi dan Citra Palu Mining untuk bijih emas di Seko-Rampi. Menurut Anda?

Bagi saya, lingkungan harus menjadi prioritas utama. Kita di Sulawesi Selatan,  sudah ditakdirkan untuk jadi wilayah agraris. Ini daerah pertanian, peternakan dan perikanan.

Kita juga sudah tahu, tambang itu merusak lingkungan. Maka tentu harus kita hitung dan lihat dari sisi ekonomi, sosial dan tentu saja sisi ekologis, yang mana sebenarnya paling baik. Jangan-jangan kita tambang, kita dapat Rp1 triliun, tetapi untuk mengembalikan fungsi lingkungan itu butuh Ro3 triliun. Kan minus. Iya kan?

Ke depan, Sulawesi Selatan,  tidak usah bikin macam-macam. Sektor pertanian jadi prioritas. Sektor peternakan jadi prioritas dan perikanan. Tidak usah kerja yang lain. Tiga sektor ini jadi lumbung kemiskinan. Kita harus memperbaiki itu.

 

Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Anda menolak tambang tetapi menggunakan helikopter Jhonlin milik Haji Isam selama kampanye?

{Haji Isam nama lengkapnya adalah Andi Syamsuddin Arsyad adalah seorang pengusaha batubara di Kalimantan Selatan, bermukim di wilayah Batu Licin. Dia adalah pria kelahiran Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selain pertambangan bisnisnya juga transportasi dengan nama PT Jhonlin Air Transport}.

Itu kan Jhonlin punya orang Sulawesi Selatan juga. Saya kira dia juga punya kepentingan untuk melihat dan membangun kampung halaman. Ingin melihat Sulawesi Selatan,  maju. Saya bayangkan jika semua perantau-perantau ini berpikiran sama seperti pemilik Jhonlin, kan enak. Pulang kampung membangun daerah.

 

 

Apakah helikopter Jhonlin, dipinjamkan atau disewa?

Oh, itu helikopternya kami sewa. Meskipun mahal (harga sewa helikopter per jam Rp35-Rp45 juta). Logikanya begini, kenapa tim ingin mengeluarkan uang lebih. Di Sulawesi Selatan,  ada 24 kabupaten dan kota. Untuk menjangkau lewat jalur darat, dalam rentang waktu empat bulan, itu tidak mungkin. Iya kan?

Kalau saya tidak menggunakan helikopter, mana saya tahu, keadaan wilayah yang terisolir. Di Luwu Utara, seperti Rampi, Limbong, dan Seko. Di Luwu saya pun menyambangi Bastem. Ini yang membuka semua mata saya.

 

Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel terpilih. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version