Mongabay.co.id

Hutan Sebagai Sumber Ketahanan Pangan, Bisa Diwujudkan?

 

Ketika era Orde Baru berkuasa, Kalimantan Tengah hendak dijadikan lumbung pangan nasional lewat proyek lahan gambut sejuta hektar. Melalui Keputusan Presiden Soeharto tanggal 26 Desember 1995, lahan gambut bakal ditanami padi demi cita-cita meraih kembali predikat swasembada beras.

Namun, proyek tersebut gagal, dihentikan pada 1999. Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman pemerintah saat itu akan sosial dan budaya masyarakat Kalimantan Tengah serta minimnya pengetahuan akan pengelolaan lahan gambut yang bijak.

Padahal, Pulau Kalimantan yang merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dan melintasi tiga negara ini, memiliki sumber kekayaan pangan lokal. Tak terkecuali, Kalimantan Tengah. “Banyak sekali makanan eksotik, bergizi tinggi, dan sehat di sekitar kita, tapi kini tidak ada lagi ketika ekosistem hutannya terganggu,” ungkap Marko Mohin, antropolog dari Universitas Palangkaraya yang juga peneliti pangan lokal di Kalimantan Tengah.

Marko Mahin hadir sebagai pembicara dialog mengenai Peluang dan Tantangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kota Palangkaraya, awal Juli 2018 lalu. Marko melakukan survei ketahanan pangan lokal sepanjang Oktober – November 2017 di tiga desa; Tewang Karangan, Dahian Tunggal, dan Tumbang Lawang di Kecamatan Pulau Malan, Kabupaten Katingan.

Hasilnya, untuk Desa Tewang Karangan ada 34 jenis padi yang bisa ditanam di sawah dan tempat kering atau tadah hujan. Sedangkan untuk jenis beras pulut atau ketan, ketersediaannya masih banyak, meskipun beberapa di antaranya jarang ditanam. “Ada lima jenis padi langka, lima jenis mulai langka, dan 24 jenis yang ketersediannya masih banyak,” ungkapnya.

Di Desa Dahian Tunggal, padi terdiri 62 jenis, yang ditanam di sawah atau atau tadah hujan. Ada satu jenis yang mulai langka yaitu padi gembulus, dan tiga jenis jarang ditanam. Sedangkan 58 jenis, ketersediannya masih banyak.

Di Desa Tumbang Lawangan, hasil survei mereka memperlihatkan ada 79 jenis padi yang ditanam di sawah dan tadah hujan. Sekitar sembilan jenis padi jarang ditanam dan 60 jenis ketersedianya banyak.

Baca: Begini, Cara Masyarakat Kalimantan Tengah Antisipasi Kebakaran Hutan

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Arif Rahman Hakim, pemerhati pangan lokal Kalimantan Tengah, menyebut kondisi di Pulau Borneo ini dengan istilah Kalimantan sistem. Menurutnya, ini adalah sistem unik hasil interaksi karakter sosial ekonomi dengan lingkungan dan alam Pulau Kalimantan. Proses dialektika antara manusia dengan lingkungannya.

“Karena perbedaan kondisi lingkungan dan karakter sosial, pasti berbeda dengan sistem di Sulawesi, Sumatera, Jawa dan lainnya,” katanya.

Arif menjelaskan, kondisi umum Kalimantan ini, tanahnya tidak subur yang memerlukan konservasi sangat luas. Sistem alam berkaitan, kualitas air sungai dan air tanah masam, pola permukiman dibentuk oleh aliran sungai, dan pantai berdekatan dengan rawa yang luas. Sementara kondisi sosial ekonominya, kepadatan penduduk relatif rendah dan terdiri multi etnis dengan mayoritas suku Dayak.

“Sistem produksi di Kalimantan bertumpu pada kekuatan alam, sehingga ada perladangan berpindah. Degradasi hutan telah mengundang kedatangan sistem lain, yaitu perkebunan sawit dan pabrik pulp. Selain itu, pembangunan yang bukan dari sistem Kalimantan adalah transmigrasi,” ujarnya.

Baca: Perhutanan Sosial, Akankah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?

 

Ketahanan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, masyarakat di Kalimantan Tengah kaya sumber pangan lokal yang semuanya diambil dari hutan. Sumber pangan bergizi. Namun yang jadi permasalahan saat ini, telah terjadi degradasi pengetahuan tentang pangan lokal yang dipengaruhi budaya luar.

“Sebelum industri kayu dimulai, pengetahuan masyarakat tentang pangan lokal masih kuat. Pada 1967 saat industri kayu masuk, terjadi degradasi pengetahuan yang menyebabkan sebagian besar masyarakat tidak mengenal lagi pangan lokalnya,” jelasnya.

Untuk pengembangan pangan lokal, Arif menyarankan dilakukan rekonstruksi. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun kebun atau hutan berbasis komunitas dengan kerja sama KPH dan pemerintah desa. Mengembangkan lumbung pangan berbasis rumah tangga juga cocok untuk permukiman dengan lahan terbatas.

Isu penting pengembangan sistem ini adalah, merubah sistem pembangunan yang sedang berjalan, yang didominasi pendekatan sektoral menuju sistem berorientasi komprehensif dan skala regional. Isu lainnya adalah memperkuat pemerintahan lokal dalam perencanaan dan implementasi pembangunan daerah. “Serta bagaimana membuat perencanaan tata ruang yang peka terhadap kepentingan-kepentingan daerah dan pengaturan tata guna lahan efektif,” tegas Arif.

Baca juga: Pak Taman, Petani Agroforestri yang Sukses Kembangkan Lahan Gambut Tanpa Bakar

 

 

Akhmad Tamaruddin atau biasa disebut pak Taman, merupakan petani agroforestri yang sukses kembangkan lahan gambut tanpa bakar di Kalimantan Tengah. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Manfaatkan hutan

Hal serupa dijelaskan Yusurum Jagau, dari Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, yang telah melakukan survei bagaimana masyarakat memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan.

Ia mengatakan masyarakat di Kalimantan umumnya adalah Dayak yang bergaul dekat dengan hutan dan sungai. Mereka yang berada di sekitar heart of borneo atau jantung Kalimantan, memenuhi kebutuhan pangannya secara tradisional, yaitu mengumpulkan pangan dari alam, dan mengimpor dari luar pada kondisi tertentu.

“Keanekaragaman hayati dan akses mereka pada berbagai sumber pangan penting dalam hal ketahanan pangan, termasuk kualitas. Namun demikian komposisinya secara umum belum berimbang.”

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia terjaga selalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Senada dengan Arif Rahman Hakim, Yusurum Jagau ikut menyarankan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan cara memperluas basis tanaman pangan. Yaitu, mengembangkan varietas lokal dan liar, melindungi kekayaan agrobiodiversity dan juga pengetahuan lokal. Serta, mendukung pengembangan women small business ventures berbasis kekayaan agrobiodiversity.

Ervizal AM Zuhud, Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB), menegaskan pentingnya dukungan perguruan tinggi mengkaji dan mengembangkan sumber pangan beserta obat herbal lokal. Sebab, pengembangan sumber daya lokal dan keanekaragamannya menjadi kunci untuk memenangi kompetisi pasar global.

“Pengetahuan lokal harus kita kembangkan. Libatkan dan jadikan semua perguruan tinggi di Kalimantan Tengah untuk menghasilkan sumber daya manusia handal dan menguasai teknologi sehingga bisa memperkuat KPH,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version