Mongabay.co.id

Catatan Kritis Divestasi Freeport

"Daratan' yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

 

Pemerintah Indonesia telah menandatangani head of agreement (HoA) dengan Freeport Mc MoRan soal divestasi saham. Beberapa pihak mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang berupaya menyelesaikan negosiasi alot dengan perusahaan Amerika Serikat ini. Pihak lain mengkritisi, seperti berbagai organisasi masyarakat sipil. Mereka memberikan catatan kritis terutama soal masalah lingkungan yang belum tuntas dan akuntabilitas dari proses transaksi divestasi.

Baca juga: Pemerintah Ambil Alih 51% Saham Freeport, Akankah jadi Kabar Baik bagi Lingkungan dan Orang Papua?

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi menilai,  persoalan Freeport harus juga dilihat dari aspek keadilan dan keberlanjutan. Bukan hanya bagi pemerintah Indonesia, tetapi orang Papua, terutama masyarakat adat dan lingkungan.

Bagi Walhi, katanya, persoalan Freeport di tanah Papua,  bukan soal perdagangan atau ekonomi semata. Ada begitu banyak fakta kejahatan Freeport seperti pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia orang Papua.

“Kerugian hilangnya kehidupan, kebudayaan, penghancuran bentang alam dan hutan Papua, pencemaran lingkungan selama ini tak jadi dasar penghitungan dalam cerita investasi, semua dianggap tak ada nilai,” kata Alin, panggilan akrabnya.

Maurits J Rumbekwan, Direktur Walhi Papua, dalam rilis menyatakan, Freeport adalah gambaran luka orang Papua.

“Bukan hanya kerugian ekonomi, bangsa Indonesia dan orang Papua selama ini telah mengalami kerugian atas nilai-nilai kehidupan, kebudayaan dan lingkungan hidup yang dihancurkan industri raksasa ini di tanah  ulayat Suku Amungme dan Kamoro,” katanya.

Baca juga: Kementerian Lingkungan Permasalahkan Penanganan Limbah B3 Freeport di Mimika

Menurut Alin, penandantanganan HoA, tak boleh jadi penghapusan atau pemaafan atas berbagai pelanggaran HAM.  Hingga kesepakatan ini ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Freeport, pemerintah Indonesia berkewajiban mengusut dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan sebelum kesepakatan ditandatangani.

“Juga mencegah keberulangan dengan menghentikan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Freeport juga harus tunduk pada ketentuan hukum dan regulasi di Indonesia. “Penegakan hukum juga harus tetap dilakukan.”

Sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan kerugian negara atas implementasi kontrak karya Freeport sekitar Rp185 triliun. Pelanggaran itu, kata BPK,  mulai penggunaan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, dan penambangan bawah tanah izin lingkungan. Juga, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, utang kewajiban dana pasca tambang dan penurunan permukaan akibat tambang bawah laut.

“Pemerintah Indonesia, khusus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus tetap memajukan penegakan hukum atas temuan BPK ini. Freeport juga harus tunduk pada UU Minerba, kewajiban perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan.”

Walhi mendesak, setelah lebih setengah abad Freeport menguasai Indonesia dengan investasi tambang, mereka harus phase out dari Indonesia.

Pemerintah Indonesia, katanya,  harus menyiapkan kebijakan transisi berkeadilan bagi orang Papua dan lingkungan. Dalam proses menuju ke arah phase out, katanya, kewajiban-kewajiban perusahaan ini harus dipenuhi, antara lain pemulihan lingkungan yang telah tercemar dan hancur, antara lain soal pembuangan tailing ke sungai.

Dalam masa transisi ini,  katanya, pemerintah harus menyiapkan ekonomi baru bagi orang Papua, terutama masyarakat adat. “Juga bagaimana menghentikan penggunaan kekerasan terhadap orang Papua.”

 

Kondisi di pertambangan Freeport di Papua. Foto: dari Youtube

 

Mengapa harus divestasi?  

Dosen energi dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi menilai,  masyarakat harus senang dan bangga bila pemerintah melalui BUMN (PT Inalum) memiliki saham 51% di Freeport.

“Perlu diapresiasi kerja baik. Katanya kerja dalam diam selama 3.5 tahun, hingga akhirnya pemerintah dan  Freeport sepakat transaksi jual-beli saham (divestasi saham).” Sebenarnya, negosiasi telah mulai sejak 2012.

“Tentu kesenangan itu harganya tidak murah, tidak cuma-cuma,” kata Redi.

Mengapa? Pertama, pembelian 41,64% saham Freeport hingga kepemilikan saham pemerintah melalui Inalum jadi 51%, itu dibeli bukan gratis. Harganya, US$3.85 miliar atau Rp55 triliun. “Semoga harga ini dihitung berdasarkan replacement cost bukan fair market value.”

Kedua, lanjut mantan Kepala Subdivisi Regulasi Sumber Daya Alam Kementerian Sekretaris Negara ini, US$3.85 miliar ini jumlah besar. Inalum tak punya dana sebesar itu. Bahkan apabila dihitung total seluruh aset Holding BUMN Pertambangan (Inalum, Bukit Asam, Antam, dan Timah) baru Rp58 triliun.  Jadi, katanya, Inalum pasti mencari pembiayaan dengan berutang ke BUMN perbankan atau bank-bank swasta lain.

“Di saat kondisi keuangan negara sedang terbebani, pilihan pembiayaan melalui utang di perbankan ini jadi pilihan ngeri-ngeri sedap. Apalagi bila melalui pembiayaan asing. Ini tentu tidal sesuai filosofi divestasi saham yaitu guna pemanfataan potensi nasional untuk kemanfaatan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat Indonesi,” katanya.

Adakah opsi lain untuk mendapatkan saham tidak hanya 51% bahkan 100% secara cuma-cuma? “Jawabannya ada,” kata Redi.

Opsinya, selain pembelian saham divestasi, yaitu tak memperpanjang operasi Freeport pasca berakhirnya kontrak karya 2021 atau akan berakhir kurang tiga tahun lagi. Membeli saham divestasi atas suatu perusahaan yang akan habis kontrak karya, katanya, sama saja dengan membeli sesuatu yang sebentar lagi jadi milik pemerintah sendiri. Apabila operasi tambang Freeport tidak diperpanjang pasca 2021, eks wilayah dimiliki 100% oleh pemerintah tanpa embel-embel membeli saham divestasi.

Kala operasi Freeport tak ada perpanjangan pasca 2021, pemerintah, tak perlu lagi membeli saham divestasi hingga tak perlu membeli dengan harga fantastis.

Opsi berani dan berdaulat lain, katanya, jadikan cadangan mineral di wilayah usaha Freeport sebagai modal atau saham negara.

Tawarannya, pemerintah akan memperpanjang operasi Freeport pasca 2021, dengan jadikan cadangan mineral di wilayah kegiatan usaha Freeport sebagai modal atau saham negara sampai 51% modal.

“Artinya pemerintah tak perlu membeli saham itu.”

Untuk melaksanakan opsi berani dan berdaulat ini, Indonesia perlu pemerintah berani dan tak takut kepada Amerika Serikat dan Freeport.

Divestasi saham, kata Redi, bermanfaat bagi negara karena akan ada peralihan kontrol dan manfaat ekonomi (deviden) dari asing ke pemerintah.

 

Aksi protes terhadap Freeport di Jakarta, beberapa bulan lalu. Protes ini karena melihat pemerintah Indonesia dan negoisasi dengan Freeport hanya bahas bisnis, seakan lupakan persoalan lingkungan dan Orang Papua. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Akuntabilitas

Koalisi Masyarakat Sipil, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia pada satu sisi mengapresiasi niat baik dan upaya pemerintah selama 3,5 tahun belakangan menyelesaikan polemik kontrak Freeport menjelang masa kontrak berakhir 2021. Sisi lain,  PWYP mengingatkan, masih banyak pekerjaan harus diselesaikan dan didetailkan menyangkut kepastian pengelolaan sumber daya alam di Papua.

Prosesnya juga harus berjalan transparan dan akuntabel, perlu konsistensi para pihak dalam memegang kesepakatan, dan perlu pertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif termasuk soal lingkungan, sosial, dan kepentingan masyarakat lokal di Papua.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengatakan langkah penandatanganan Heads of Agreement ini masih menyisakan banyak pertanyaan untuk didalami secara kritis, agar benar-benar memberikan keuntungan bagi bangsa dan masyarakat.

“Bagaimana metode valuasi atau penentuan nilai kepemilikan saham Indonesia pada Freeport? Apakah telah tercapai final kesepahaman jumlah dan nilai perhitungan atau penafsirannya? Apakah penandatanganan kesepakatan final, hingga dapat disebut penguasaan 51% saham telah sah?”

Dengan HoA, tersirat pengelolaan tambang oleh Freeport akan berlanjut hingga 2041. Pertanyaannya, kata Maryati, apakah telah tercapai kesepahaman, komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaan, yang menurut UU bukan lagi berbentuk kontrak karya melainkan IUPK.

Dengan kata lain, Freeport bukan hanya harus melepaskan 51% saham juga menyepakati klausa kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah, bersepakat atas ketentuan fiskal dan perpajakan secara prevailing yang disyaratkan pemerintah. Juga serta bersedia mematuhi segala ketentuan standar lingkungan dan sosial di yurisdiksi Indonesia.

“Jika tidak, pemerintah dapat sewaktu-waktu memberi sanksi bahkan mengakhiri IUPK Freeport.”

Senada disampaikan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR).

Pada dasarnya, katanya, negosiasi Agustus 2017 dan  Juli 2018 tak banyak berubah walaupun nilai ambil alih kepemilikan disepakati US$3.85 miliar. Perlu diingat, katanya, angka ini pembayaran participating interest Rio Tinto pada operasi saat ini.

Dengan fakta ini pemerintah perlu memberikan klarifikasi atas klaim bahwa Indonesia menguasai 51% saham Freeport. Publik, katanya,  perlu mencermati tahapan perundingan berikutnya, termasuk tanggung jawab Freeport mengatasi kerusakan lingkungan dari operasi selama ini.

“Jangan sampai beban itu dialihkan kepada Inalum seiring penguasaan mayoritas saham Freeport.”

PWYP Indonesia juga mendesak pemerintah terlebih dahulu mengusut enam indikasi pelanggaran lingkungan Freeport, berdasarkan laporan BPK dalam 2013-2015.

“Sejauh ini , masalah-masalah itu belum menemui titik terang penyelesaian, padahal BPK telah menghitung potensi kerugian negara ditimbulkan Freeport.  Jumlahnya fantastis, Rp185,563 triliun,” kata Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia.

Persoalan lain,  yang masih pekerjaan rumah pemerintah yakni penyelesaian 47 ​pelanggaran lingkungan Freeport dari hasil temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) meliputi ketidaksesuaian operasi dengan rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL).

Menurut KLHK, Freeport juga tak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan, termasuk limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Sementara itu, Nurkholish Hidayat dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia – Lokataru mengingatkan, para pihak yang melakukan kesepakatan tak mengabaikan status dan kondisi para pekerja Freeport , terutama 8.400 pekerja mogok dan PHK sepihak oleh manajemen karena dianggap mangkir.

Nurcholish menyesalkan suara pemerintah (Menteri Tenaga Kerja) absen atas nasib para pekerja itu. “Perhatian atas pekerja seharusnya sama besar dengan perhatian terhadap ekonomi,” kata pria juga wakil masyarakat sipil di EITI Indonesia.

 

Konsesi tambng Freeport di Papua. Foto: Freeport

 

Transparansi dan akuntabilitas

Fabby juga Dewan Pembina PWYP Indonesia menambahkan,  pemerintah harus terbuka dan transparan kepada publik terkait penentuan nilai dan pelepasan saham Freeport yang memerlukan dana besar ini.

“Bagaimana rute dan mekanisme valuasi-nya, komponen apa saja yang yang dihitung? Termasuk juga darimana sumber pembiayaan divestasi? Jangan sampai over value, berujung merugikan keuangan negara.”

Transparansi, katanya, hal krusial agar publik dan segenap pihak mendapatkan informasi benar dan seimbang mengenai keadaan sesungguhnya dari proses yang berlangsung. Dengan begitu, tak terjadi informasi asimetris, yang dapat memicu kekeliruan bahkan polemik publik yang tidak sehat karena ketidaktahuan dan kurang informasi.

Dokumen dan informasi kesepakatan dan kesepahaman,  sejatinya ditunjukkan dan dibuka kepada publik agar tak salah tafsir.

“Misal, dari HoA kemarin, mengapa bukan isi HoA yang didetailkan justru yang beredar siaran pers dari masing-masing pihak, yang satu sama lain bisa saja berbeda sudut penekanan,” kata Maryati.

PWYP mengapresiasi upaya pemerintah melaporkan perkembangan setiap proses kepada publik, tetapi, katanya, tanpa transparansi, potensi penggiringan informasi menyesatkan ataupun politisasi opini sangatlah rawan.

Sebaliknya, dengan keterbukaan,  debat dan diskursus sehat akan berkembang dan kontruktif. Standar transparansi dan keterbukaan informasi publik, katanya,  menurut UU juga mensyaratkan pemerintah memberikan alasan kebijakan dan argumen sejelas-jelasnya kepada publik.

 

Freeport dan Inalum saat penandatanganan head of agreement disaksikan para menteri antara lain, Menteri BUMN, Rini Soewandi dan Menteri LHK, Siti Nurbaya (seperti dalam foto). Hadir juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati dan Menteri ESDM, Ignasius Jonan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Orang Papua?

Adolfina Kuum, tokoh perempuan Suku Amunghme juga memberikan komentar. Menurut dia, masyarakat di Amungme dan Kamoro, tak lagi peduli dengan pembicaraan terkait Freeport.

“Tidak ada satupun yang bicara kenyataan di sini seperti apa. Mereka (pemerintah) bicara divestasi saham tetapi tidak berbicara akibat yang ditimbulkan. Ada dua suku di sini. Suku Amungme di Pegunungan dan Kamoro di Dataran rendah.”

Pemerintah, kata Adolfina,  seharusnya memberi perhatian pada hasil audit lingkungan Freeport.  Dia menyebut,  sungai-sungai di wilayah pesisir rusak karena sudah tertimbun limbah tailing, antara lain Sungai Yamaima, Nifa, Samban, Wanowong, Jikwa, Kali Kopi, Amutuwau, dan Menarjawei.

“Sungai-sungai ini dinyatakan tercemar dan hilang. Di dalam sungai-sungai ini tersimpan sendi-sendi kehidupan masyarakat suku asli.  Sungai-sungai ini jadi tempat pencarian makan. Ini sudah hancur semua. Hilang.”

Kalau di pesisir,  ruang hidup masyarakat hancur karena limbah tambang (tailing), Suku Amungme di Pegunungan,  ruang hidup hancur dengan bom Freeport untuk mendapatkan emas dan mineral.

“Kami tidak mau bicara divestasi, ini kehancuran di depan mata. Kehancuran budaya, ketergantungan hidup tinggi ke Freeport dan kerusakan lingkungan.”

Fred Boray ,  Sekretaris Dinas Pertambangan Papua mengatakan, dari 51% divestasi saham Freeport, 10% untuk Pemerintah Papua. Di dalam itu termasuk untuk Pemerintah Timika dan masyarakat adat pemilik ulayat.

Dengan demikian, katanya, pemerintah daerah harus menanamkan modal 10%. Hingga kini,  belum ada kejelasan bagi pemerintah daerah dan belum ada arahan apakah modal 10% ditanggung pemerintah daerah atau Inalum.

“Yang jadi persoalan bagi kami, dari 10% itu kita dapat dalam bentuk bagaimana? Angka berapa? Itu bagian dari tanggungg jawab di dalam Freeport ke depan.”

Fred menyatakan, Pemerintah Papua menunggu keputusan pusat (Inalum).

Soal masalah lingkungan, katanya, dana pemulihan dikelola sendiri oleh Freeport. Dana itu,  masuk dalam program tanggunjawab sosial Freeport.

Mengenai pencemaran karena tailing, katanya, pemerintah daerah meminta kompensasi pembayaran air permukaan. Besar kompensasi Rp5,6 triliun. Sayangnya, permintaan itu sudah dibatalkan Makhkama Agung.

“Dari pesawat bisa kelihatan luas wilayah yang dipakai pengendapan. Jadi pemerintah daerah berpikir kalau sudah sampai menggunakan tanah yang seluas ini, tidak ada kontribusi untuk kami. Maka minta dari air. Mahkamah Agung sudah putuskan, dibatalkan seluruhnya. Ini yang jadi masalah.”

 

Keterangan foto utama: “Daratan’ yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

Aksi protes Freeport di Jayapura, tahun lalu. Foto: Front Persatuan Rakyat.

 

 

Exit mobile version